Sabtu, 07 Januari 2012

Pembelajaran Untuk Memaknai Secara Benar


Cinta, mengapa pesonanya tak mampu terhapus oleh apapun jua? Ia tak mengenal sasaran. Siapapun pernah dan berhak mengalaminya. Bahkan seorang Akhwat dan Ikhwan sekalipun. Hanya saja, tentu berbeda cara merespon cinta antara ia yang telah mengenyam tarbiyah dengan ia yang tidak.
“Bukan karena mencintai seseorang kita akan menderita. Namun, ketika kita mengartikan cinta itu pada sisi kehadiran dan kebersamaan, maka itu lah penderitaan yang tercipta. Aku telah memutuskan untuk mencintainya. Aku pun telah memutuskan untuk mengagumi sosoknya. Perlu waktu yang cukup lama untukku belajar, bahwa cintaku juga harus bahagia. Maka aku akan menciptakan atmosfir kebahagiaan itu seorang diri, tanpa membutuhkan kehadiran orang yang kucintai, juga tanpa membutuhkan  balasan perasaan yang sama darinya. Karena aku pun telah memutuskan untuk mencintainya dalam diam. Dan dalam diam itu akan kusampaikan secara perlahan tiap-tiap gejolak yang kurasakan melalui hempasan angin, kicauan beburung, canda ilalang, deburan ombak, butiran debu, laju awan, butiran hujan, sapaan senja, kerlingan ufuk, dan sentuhan embun [semua akan kukisahkan padanya lewat semesta dengan segala kepasrahan…].”
Ini kutipan yang saya ambil dari tulisan seseorang. Tulisan itu mungkin benar, menyentuh, dan romantis. Namun bisa juga menjadi sesuatu yang menyedihkan. Setiap kita punya cara dalam menanggapinya, dan diam juga tak selamanya adalah sesuatu hal yang baik.
Dalam sudut psikologis, setiap yang ditekan (direpress) tidak akan menghasilkan hasil yang positif. Ia akan tertimbun dalam alam bawah sadar, dan sering muncul dalam angan dan mimpi kala kita terlelap. Awal cinta kerap melanda dalam fase pubertas, dimana lawan jenis sudah menjadi sesuatu yang menjadi daya tarik dan dituntut perhatian. Ini merupakan bagian dari tugas perkembangan yang kata kebanyakan orang-orang, ‘normal’ untuk dijalani.
Sebagai umat muslim, kita tentu harus merujuk kembali pada agama yang kita anut. Kebanyakan teori psikologi yang berkembang adalah dari para ahli yang Atheis maupun Yahudi. Mengambil istilah kaizennya jepang (ambil yang baik, buang yang buruk, ciptakan sesuatu), atau teman-temn saya lebih bijak lagi mengubah kaizen itu dengan (ambil yang baik, perbaiki yang buruk, ciptakan sesuatu). Kita memang harus pandai memilah mana yang baik, sesuai syari’at, dan mana yang tidak.
Dalam islam muara yang indah untuk pasangan yang saling mencintai adalah pernikahan. Jika tak mampu, maka bersabarlah dengan berpuasa. Memang, islam tak secara nyata menuliskan pelarangan kata pacaran. Yang ada hanya, “janganlah berdua-duaan dengan orang yang bukan mahram dan janganlah mendekati zina.” Karena sesungguhnya dalam keadaan itu, ada lingkaran syaitan yang tengah tertawa. Dan kita tahu bahwa syaitan adalah musuh yang nyata bagi anak keturunan Adam.
Maka jika kau seorang muslim dan belum mampu untuk merangkai cintamu dalam pernikahan yang barakah, cobalah kau kikis cintamu pada ia yang belum tentu menjadi pasangan dunia akhiratmu. Janganlah kau ambil rasa yang belum tentu menjadi hakmu. Jangan kau coba untuk mencari pembenaran pada setiap peluang yang tercipta untuk kau dan dia tanpa berlandaskan syari’at. Karena jika kau percaya akan syurga, tentu kau juga akan percaya bahwa Allah tak akan menukar jodohmu dengan sesuatu yang buruk. Lauh mahfudznya telah tertulis. Yang kau lakukan adalah mempersiapkan diri dengan sebaik-baik persiapan agar jodohmu juga baik. Karena sepengetahuanku, dan yang pernah kubaca, jodoh itu berbanding lurus dengan diri.
Jika kau jatuh cinta pun, kau bias cerita pada Murabbimu, ia akan membantumu mencari solusi. Dan kau tak perlu takut untuk mengungkapnya. Karena sebenarnya, jatuh cinta bukanlah suatu dosa. Ia menjadi dosa jika kau salah memaknainya dan jatuh kelubang kemaksiatan.  Bukankah kesabaran itu buahnya manis? Jika kau tak memiliki Murabbi, cobalah bertanya pada guru agama, atau orang-orang yang mengerti akan agama.
Untuk yang telah mampu menikah, maka bersegeralah. Bukankah dalam pernikahan itu segala halnya menjadi ibadah? Berpegangan tangan saja sudah menjadi pahala. Jadi untuk apa kau berstatus pacaran penuh dosa, dan mengabaikan pernikahan yang penuh pahala?
Aku menulis ini juga sebagai pembelajaran bagiku. Bahwa aku harus tetap istiqomah dalam koridor yang kuyakini sejak aku hadir ke dunia. Aku masih jauh tertinggal. Tapi aku tak mau tertinggal di belakang maupun stuck di tempat. Aku ingin terus berlari dan meninggalkan setiap titik-titik kebodohan dan ketidaktahuanku. Semua ini pembelajaran untukku, untukmu dan untuk kita yang merasa memang harus masih banyak belajar dan memahami.

*Menata Hati 06012012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar