Kamis, 15 Desember 2011

Cerpen favorit Aisyah (Menyamuderakan Cinta Si Pecinta)


0diggsdigg

email
dakwatuna.com – Malam semakin larut, angin berbisik sayup-sayup terdengar di balik jendela yang sedikit terbuka. Menyelisik hati bersama hawa dingin yang diam-diam mengalir masuk. Dinginnya mampu menggigilkan tubuh perempuan yang mengintip rembulan dari sebalik gorden kamarnya. Ah, rembulan perak pun enggan memurnama. Padahal tinggal seselaput tipis untuk menjadikannya bulat seutuhnya. Laksana dekatnya bilangan hari yang akan menyampaikannya pada purnama agamanya.
Andaikan waktu itu benar-benar bisa dihentikan, ia berharap waktu itu terhenti saat sunyi ini. Menyendiri dalam ruang hampa waktu. Sejenak meninggalkan segala gundah galau yang selama ini membuat hatinya menceracau. Atau jika tidak, tak bisakah hari-hari itu mengurai dalam bilangan detik yang lebih panjang? Agar ia punya kesempatan bernafas lebih lepas. Membuang segala sesak yang telah lama menyeruak.
Malam ini tidak ada airmata yang menetes. Entah kenapa. Padahal ia ingin sekali membuang segala gundah bersama bulir-bulir permata indah itu. Biar jatuh. Biar luluh. Biar tidak selalu menggelayut dalam langit hatinya yang semakin rapuh. Atau mungkin airmata itu telah kering. Dalam bilangan bulan malam-malam yang telah berlalu. Entah berapa purnama yang telah ia lewati dengan isakan di setiap penghujung malamnya. Bukankah sangat wajar, jika airmata itu telah kering tanpa menyisa setitis embunnya?
Seorang perempuan biasa. Ia sedang terluka dalam sebuah episode bernama cinta. Yah, cinta yang tidak mempertemukannya dengan kekasihnya. Cinta yang mengajarinya tentang hakikat ‘menerima’. Cinta yang membuatnya sadar akan dirinya. Bahwa sungguh, hatinya ternyata tidak berada dalam genggamannya. Ia tidak bisa meminta hatinya untuk merasakan apa yang dipikirkan oleh akalnya. Sebanyak apapun doktrin dan pelegalan yang disusupkan oleh akalnya, ternyata begitu saja dimentahkan oleh hatinya.
‘Wahai hati, kenapa engkau tega membuatku terpuruk dalam derita luka ini?’ rintihnya malam ini bersama belaian mesra bayu segara, kering tanpa cinta.
Laksana perempuan lainnya, ia ingin mengabdikan diri dan hatinya seutuhnya untuk suaminya nanti. Tapi bayang-bayang lelaki dari masa lalu itu, selalu saja mengusik tidurnya. Kenapa ia yang selalu harus hadir dalam setiap mimpi dan lamunannya? Setiap kali ia hadir, setiap kali itu pula ia menghalaunya. Menggantinya dengan bayang lelaki yang dalam hitungan hari akan menjadi suaminya. Tapi sepersekian detik saja bayang itupun telah pudar. Wajah itu berganti dengan ia yang tak diingini.
Perempuan itu lelah. Sangat lelah. Hampir putus asa. Merasa dirinya benar-benar tidak berguna. Apakah surga masih diizinkan untuknya? Ia takut kelak akan mengkhianati suaminya. Karena rasa cinta yang tidak mampu ia berikan seutuhnya, separuhnya. Rasa khianat itu mulai menunas di hati dan jiwanya, perih.
Dalam sendu, perempuan itu bermunajat syahdu. Ada getar-getar pilu dalam sunyi kata merdu.
“Ya Rabb,, sungguh Engkau tahu betapa besar cintaku padaMu. Yang dengannya menjadikan aku begitu mencintai kedua ibu bapakku. Aku hanya ingin menjadi anak yang bisa berterimakasih kepada mereka. Dengan caraku. Yang tidak sehebat pengorbanan penghuni gua, yang mendahulukan orang tuanya di atas dirinya, istri, dan anak-anaknya. Tak seindah kisah Uwais Al Qarni yang baktinya kepada ibunya mampu membuat jenazahnya diperebutkan oleh malaikat untuk memandikan, mengafani, dan menguburkannya. Yang membuat doanya tidak akan pernah tertolak oleh RabbNya. Yang membuat namanya tidak terkemuka di bumi namun begitu dikenal di langitNya.
Lalu apakah aku akan lebih mementingkan rasa cintaku kepada manusia yang tidak seharusnya kulabuhkan cintaku kepadanya? Dan mencampakkan baktiku kepada kedua orang tuaku di bawah telapak kaki cinta? Bukankah jika begitu berarti aku juga telah mencampakkan surga yang berada di bawah telapak kakinya?”
Matanya mulai berembun. Tak kuasa ia menahan sesak dadanya, perih luka, dan pedih jiwa.
“Tidak, Ya Rabb.. Aku mencintaiMu.. Dan dengannya aku mencintai Bapak Ibuku.. Dan untuk mendapatkan Ridha keduanya. Ya Rahman, aku rela jika sepanjang usiaku aku harus hidup dalam kesakitan. Jalan inilah yang aku pilih untuk membuktikan besarnya cintaku padaMu. Aku tidak akan menyerahkan diriku untuk menghamba pada cinta yang selain atasMu. Ya Rabbiy Mudahkan.. Kuatkan.. Teguhkan.. Kokohkan.. Hati dan kaki ini untuk meretas cinta di atas jalanMu, sebagaimana para pejuang cinta terdahulu, yang tidak sedikit pun mengubah janjinya hingga datang kepastian itu.”
Membanjir juga air matanya, meleleh bersama dingin malam. Dalam dekapan gulita yang semakin mendekati akhirnya. Kesadaran itu menjalari hatinya. Dan membuka kait-kaitnya yang selama ini tertutup, terkunci atas pemasungan kesadaran yang diatasnamakan cinta. ia tau ia salah, memberi harapan akan sesuatu yang belum pasti dapat ia berikan. Lelaki itu salah, keegoisan cintanya membuatnya merasa benar atas semua tindakannya. Mereka berdualah yang salah. Dan tidak sepantasnya mengambinghitamkan pihak atau hal lain untuk mendapatkan pembenaran. Tidak pula cinta.
Karena cinta itu tidak salah. Tidak pernah salah! Dan tidak akan salah! Perasaan sayangnya itu adalah tetap sebuah anugerah, yang dititipkan Allah agar ia merasainya. Agar hatinya peka dengannya. Agar ia bisa melihat, mendengar, meraba tanpa mata, telinga, dan tangannya. Agar ia bisa melihat, mendengar, dan meraba dengan hatinya, dengan jiwanya.
Ya, cinta mereka tidaklah salah. Tapi ‘ekspektasi memiliki’ yang tanpa sengaja mereka tumbuhkan dan akhirnya mengakar dengan begitu kuatnya itulah yang salah. Bukanlah cinta yang menyebabkan mereka merasai sakit seperti saat ini. Tapi ekspektasi memiliki yang tidak sampai itulah yang dengan sebegitu dahsyatnya telah memporakporandakan hati. Karena bukankah cinta itu membebaskan, mencerahkan, dan menenangkan? Sedangkan ekspektasi memiliki itu membelenggu, meredupkan, dan meresahkan.
Tiba-tiba muncul pertanyaan dalam hatinya. Benarkah lelaki itu mencintainya dengan setulusnya? Bukankah mencintai itu berarti berjuang untuk memberikan kebahagiaan kepada kekasih yang dicintainya? Mencintai apa yang menjadi kecintaannya? Lalu mengapa selama ini lelaki itu masih tidak bisa terima dengan keputusannya? Keputusan yang ia ambil dengan sadar jaga. Keputusan yang menyakitkan. Namun, keputusan itulah yang paling menenangkan hatinya. Keputusan yang ia anggap paling baik untuk semuanya.
Tidak tahukah lelaki itu, selama ia masih menggugat keputusan itu dan mencari-cari pihak untuk disalahkan, sungguh sebenarnya ia telah menyakiti hati perempuan itu lebih dalam. Semakin lelaki itu tidak terima, semakin dalam dan sakit pulalah goresan yang ia ukirkan di hati perempuan yang katanya ia cintai dengan segenap jiwa. Atau apakah memang lelaki itu mengharapkan agar ia merasai sakit itu? Sakit yang mencerabut ketenangan dan kebahagiaan dalam hatinya. Sakit yang jauh lebih pedih dari goresan pisau yang diiriskan di jarinya. Perih. Pedih. Sakit. Sakit sekali..
Tanpa tambahan rasa sakit karena laku lelaki itu, sungguh ia pun telah merasakan kepedihan yang sangat. Kepedihan karena tidak bisa bersanding dengan seseorang yang dicintainya. Seseorang yang telah ia bayangkan dipertemukan dalam singgasana cinta. Seseorang yang dalam mimpinya akan menjadi ayah dari anak-anaknya dan imam dalam kehidupannya. Kesakitan itupun masih harus ditambah pula, ketika ia harus merelakan dirinya hidup bersama dengan seseorang yang hingga saat ini belum bisa ia berikan sedikit saja cintanya. Tidak cukupkah segala kepedihan yang ia rasakan sekarang sebagai penebus dosa masa lalunya?
“Wahai lelaki yang kucintai, tidak cukupkah rasa pedih yang kutanggung saat ini? Rasa pedih yang mungkin jauh.. jauh.. lebih pedih dari kepedihan yang kau tanggung karena janji yang tak terjawantah? Tapi jika kau memang merasa ini semua belum cukup, maka silakan lakukan apa yang kau anggap benar untuk dilakukan. Teruslah kau sayatkan luka-luka itu di hatiku. Sedalam-dalamnya. Aku ikhlas menerima. Jika itu membuatmu bahagia. Tancapkanlah terus. Hingga aku tak mampu merasai rasa sakit lagi. Hingga aku mati dari rasa sakit yang kau sayatkan bertubi-tubi.”
Andaikan lelaki itu mau sedikit saja menurunkan keegoisan dalam cintanya, maka itu akan sangat berarti untuknya. Itu akan menggugurkan separuh lebih beban berat dan rasa sakit yang selama berbulan-bulan ini ditanggungnya. Mereka akan bersama-sama belajar untuk menyamuderakan cinta yang ada di hatinya dan melepas rantai-rantai belenggu ketakutan yang bisa jadi merupakan tipu daya syaitan yang akan menjauhkan mereka dari surga, ridha, dan cintaNya.
Walaupun ia tahu itu sangatlah sulit, tapi ia yakin. Jika keimanannya benar, hal itu bukanlah hal yang mustahil untuk diwujudkan. Jika niat dan tujuannya hanya untukNya, maka ia yakin Allah pasti akan memudahkan jalannya sampai ke sana. Sebanyak apapun hambatannya.
Selama ini, mungkin cintanya baru sebesar dan sepanjang Nil, dan sudah begitu saja habis diberikan kepada lelaki yang dicintainya itu. Untuk mengurangi bagian cinta itu, ia tidak mampu. Lalu apa yang nanti akan diberikan untuk suaminya? Maka, sudah sewajarnya jika ia mulai belajar untuk menyamuderakan cintanya. Sehingga cinta itu tidak akan habis jika pun harus dibagi-bagikan kepada semua makhluk di penjuru mata dunia. Tanpa mengurangi porsi masing-masingnya. Tanpa zhalim kepada seorang di antaranya. Cintanya untuk lelaki itu dalam hatinya masih akan sebesar dan sepanjang sungai Nil atau bahkan bertambah lebih dari itu. Namun, ketika cintanya sudah menyamudera, maka ia tidak perlu bingung seberapa besar ia membagi cinta kepada suaminya. Karena ia bisa memberikan suaminya cinta seluas samudera segala segara. Cinta yang lebih besar dari cintanya kepada lelaki itu. Cinta yang sesuai dengan porsinya, tanpa harus mengurangi hak salah satunya. Lalu bisakah ia?
Menyamuderakan cinta. Tak hanya itu. Mereka berdua pun perlu belajar untuk melepaskan belenggu-belenggu ketakutan yang dibisikkan syaitan padanya. Menghindari prasangka-prasangka yang membuat mereka pesimis menghadapi masa depan. Syaitan telah menakut-nakuti mereka dengan ketakutan yang belum tentu akan mereka dapatkan. Menakuti mereka bahwa mereka akan mati jika tidak bisa saling membersamai. Mereka tidak akan pernah bahagia jika tidak bersanding di singgasana cinta. Tidak akan bisa mencintai suami atau istrinya kelak tanpa bayang-bayang cinta masa lalunya. Begitukah? Tidakkah itu hanya prasangka-prasangka yang dihembuskan syaitan untuk menghilangkan makna syukur, sabar, dan tawakal dalam hati mereka? Jika mereka punya niat yang benar, maka bisa saja dalam hitungan detik setelah melihat istri atau suaminya kelak, maka cinta yang begitu meluap dianugerahkan Allah untuknya? Sungguh, siapa yang tahu? Namun, Allah Maha Tahu..
Perempuan itu tersenyum. Bersama semburat merah fajar di kaki langit, pertanda hari telah berada dalam bilangan yang berbeda, ia tahu apa yang harus ia lakukan. Ia akan membuang semua ketakutan-ketakutan itu. Dan ia akan menjalani apa yang telah ia putuskan dengan rasa sabar, syukur, dan tawakal. Walaupun sekarang rasa cinta itu masih menjadi milik lelaki itu seutuhnya, namun ia akan membuka hatinya selebar-lebarnya untuk suaminya. Ia akan belajar mencintai lelaki itu. Bagaimanapun sulitnya. Ia yakin akan janji Allah, bahwa ia akan menunjukkan jalan bagi orang-orang yang berjalan menujuNya. Ia yakin itu. Ia pegang janji itu. Harapnya, lelaki itupun begitu…
“Dengan asma Allah, Ya Rabb, inilah atsar-atsar yang akan kuukirkan sebagai pembuktian cintaku padaMu.. Dan semoga aku tidak akan berbelok sedikit pun dari janjiku.. Sampai kaki ini menapak lelah di jannahMu…”

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2010/09/9087/menyamuderakan-cinta-si-pecinta/#ixzz1gZ8a2y5m

Artikel Aisyah 2 (Jika Hidup Terasa Sulit)


0diggsdigg
1

email
printdakwatuna.
Setiap nikmat yang terkecap
Sesungguhnya takkan pernah habis hingga bumi tutup usia
Sekalipun setiap insan selalu lalai
Nikmat-Nya takkan pernah berhenti mengalir
Karena kecintaan Allah pada hamba-hamba-Nya
Senantiasa mengabadi,
Selamanya…

Saudaraku….
Pernahkah kita merasakan energi sabar yang lahir dari penghambaan Nabi Ayyub as,
Energi harapan dan cinta yang dipupuk oleh Muhammad Al-Fatih dalam ibadah-ibadah kepada-Nya bahwa suatu saat, Konstantinopel akan diraihnya,
kebeningan hati Fatimah az-zahra kecil yang dengan tegas menentang kaum Quraisy yang mengotori Ayahnya dengan isi perut onta ketika shalat,
atau… merasakan bagaimana bersihnya hati Abubuakar As-Shiddiq yang dengan tenang menerima kabar kematian Rasulullah SAW, meski sebagian besar ummat islam saat itu menglami kegoncangan,
Sungguh… itu sedikit potret dari orang-orang shalih terdahulu yang menginspirasi.
Jangan ditanya kedekatan mereka dengan Allah,
Mereka adalah orang-orang yang senantiasa memberikan hukuman terhadap diri sendiri jika lalai dalam ibadah kepada-Nya… sekalipun hanya ketinggalan shalat berjama’ah… atau ibadah-ibadah lain yang kita anggap “sepele”
Mereka senantiasa memahami, bahwa jika kita mengingat-Nya, maka Allah akan ingat pula kepada kita…
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu….
Tidak hanya itu… rasa syukur atas semua nikmat Allah tak pernah lepas dari setiap dimensi kehidupan mereka…
…….. dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku” (Al-Baqarah: 152).
Saudaraku…
Pernahkah kita merasa bahwa takdir yang Allah berikan kepada kita tidak sesuai dengan kehendak kita?
Ketika usaha sudah kita coba, dan doa-doa senantiasa kita panjatkan, namun ternyata Allah berkata lain atas ketentuan yang ditetapkan-Nya…
Lalu…
Pernahkah kita berada pada situasi dimana merasa menjadi orang paling “tidak beruntung”, “paling sengsara”, tak mendapat nikmat apa-apa?
Manusiawi adanya jika ini kita rasakan…
Namun… selaku hamba yang mengaku seorang muslim…
yang mengaku memiliki iman kepada Allah swt di hati-hati kita… sesungguhnya, banyak sekali hikmah yang bisa kita petik dari orang-orang mulia yang senantiasa dekat kepada-Nya…
Bayangkan jika masa tersulit baginda Nabi selama diboikot oleh kau Quraisy dilewati tanpa rasa syukur kepada Allah swt,
Masihkah kita menikmati Islam saat ini?
Atau ketika para Mursyid ‘am Ikhwanul Muslimin, yang rela dipenjarakan dan menerima siksaan bertubi-tubi melewati semua ujian itu dengan menggadaikan idealisme dan menjual murah Jihad yang selama ini mereka kerjakan…
Bisakah kita mendapatkan pelajaran dan ruh perjuangan dari mereka?
Saudaraku…
Semua ujian dan cobaan itu mereka lalui dengan rasa syukur yang berlimpah kepada-Nya…
Al-Muhasibi, pernah berkata…
“Rasa syukur yang paling tinggi adalah bila engkau menganggap SETIAP MALAPETAKA sebagai suatu NIKMAT. Karena malapetaka yang menimpa manusia yang lain lebih dahsyat dan lebih besar dibandingkan dengan malapetaka yang menimpamu, di saat manusia merasa butuh SABAR, engkau malah bisa BERSYUKUR”…
Masya Allah…
Kalimat ini… jika kita renungkan secara mendalam… betapa menyimpan energi kecintaan pada Allah yang luar biasa,
Perasaan dimana semua batas emosi telah dilewatkan oleh IMAN kita, karena merasa bahwa apapun dari-Nya, sesungguhnya selalu yang terbaik buat kita.
Inilah yang menjadi alasan kenapa Rasulullah saw menjadi orang yang paling bersyukur atas nikmat-Nya.
Rasulullah memahami, bahwa kebesaran Allah senantiasa lahir dari penciptaan langit dan bumi.
Bahkan, ketika nikmat tidur bersama Aisyah RA sedang dikecapi olehnya, Rasulullah meminta izin kepada Aisyah untuk shalat dan menangis di hadapan-Nya.
Aisyah RA dengan keheranan bertanya kepada Beliau “Apakah yang menyebabkan Tuan menangis, sedangkan Allah telah mengampuni dosa-dosa Tuan baik yang dahulu maupun yang belakangan?”
Lalu apa jawaban Rasulullah…?
Sang Nabi yang Mulia (Semoga Allah mempertemukan kita dengan Beliau di Jannah-Nya) berkata…
“Tidakkah aku mesti menjadi hamba yang bersyukur? bagaimana aku tidak menangis sedangkan Allah menurunkan ayat ini kepadaku, “sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi……… adalah tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi kaum yang berfikir” (Al-Baqarah: 164 dan Ali Imran: 190)
Keindahan Akhlaq inilah… yang senantiasa membuat Aisyah RA senantiasa menangis ketika mengingat Beliau… tidak ada sesuatupun yang tidak mengagumkan dari pribadi Sang Nabi…
Saudaraku…
Semoga dalam sisa umur kita… kita mampu belajar untuk memaknai bahwa sesungguhnya Allah swt, senantiasa memberikan yang TERBAIK bagi kita…
Kita hanya butuh membersihkan nurani… mengasah IMAN… mempertebal kesyukuran… lalu memperbaharui Akhlaq…
Agar dengan KEBENINGAN JIWA yang kita miliki… semua kejadian yang kita alami… bisa kita “petik” hikmahnya… Insya Allah… dalam kondisi yang ridho… dan menjadikan kita pribadi-pribadi yang qana’ah…

Allahu’alam Bishwab…

“Jadikan kami hamba-hamba-Mu yang senantiasa memperbaharui niat dan rasa syukur kepada-Mu… agar cinta dihati kami… terisi penuh oleh-MU… kemudian melahirkan ucapan yang membeningkan… serta perbuatan yang men-cahayakan…” Amin ya Rabbal alamin….

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2011/12/16670/jika-hidup-terasa-sulit-3/#ixzz1gZ6SYaFB

Artikel Aisyah (Cukup Allah Sebagai saksi)


0diggsdigg
0

email


dakwatuna.com -
Bila ingin hidup ini tenang, tak usah hiraukan ada atau tidak ada orang yang melihat atau menilai amal-amal kita. Wakafaa billahi syahidaa. Cukup Allah yang menjadi saksi.” (QS. Annisa: 79).
Itulah isi SMS taushiyah yang kirimkan oleh Aa Gym. Sangat menyentuh. Untuk kita yang selama ini masih terpaku pada penilaian manusia terhadap segala perbuatan yang kita lakukan. Penilaian manusia tak bisa di jadikan sebagai tolak ukur baik atau tidaknya perbuatan kita. Bisa jadi di mata orang ini kita mendapat pujian tapi di mata yang lain kita di nilai hanya mencari sensasi semata.
Cukuplah Allah menjadi barometer setiap gerak kita. Ke mana kaki hendak melangkah. Ke mana mata hendak memandang. Apa yang ingin telinga dengar. Terlalu melelahkan bila memikirkan apa yang orang lain katakan sedangkan berbeda orang sudah tentu berbeda pendapat. Jika apa yang kita lakukan sudah sesuai syariat, maka abaikan saja penilaian orang lain. Jika memang penilaian itu mengandung sebuah nasihat kebajikan, bukalah lebar-lebar telinga dan mata hati kita. Tapi tulikan telinga kita untuk cacian dan gunjingan mereka. Bukan berarti kita harus tinggi hati jika pujian mengarah pada kita. Hanya kepada Allah, sepatutnya pujian di haturkan. Kita bisa karena Allah. Allah yang menggerakkan hati kita, meringankan langkah dalam berbuat kebaikan.
Cukup Allah menjadi saksi. Karena Allah yang Maha Tahu isi hati kita. Sedihkah atau bahagiakah.
Sebagai contoh dari beberapa berita yang saya baca. Negara Korea menjadi negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi di dunia. Menurut Organization of Economic Cooperation and Developmemt, sebanyak 21 orang dari 100 ribu orang Korea melakukan bunuh diri.
Seorang Psikologi dari universitas Yonsei-korea, Hwang Sangmin, mencoba menganalisis fenomena bunuh diri ini. Menurutnya, orang Korea memiliki konsep Yan, dimana setiap orang berusaha bersikap diam dan tabah walaupun dalam keadaan marah. Terutama untuk kaum selebritis, pencitraan melalui konsep Yan amat besar dilaksanakan. Jika sudah di ambang batas, mereka cenderung putus asa dan akhirnya mengambil pilihan drastis untuk bunuh diri.
Itu karena di sana penilaian orang banyak menjadi tolak ukur yang utama. Image mereka ada di tangan orang banyak. Image mereka adalah kehendak orang banyak. Meskipun hal tersebut tak sesuai dengan hati nurani mereka. Terlebih bagi selebritas yang memiliki banyak penggemar. Mereka di tuntut menjadi seorang yang perfeksionis.
Faktor lain, karakter orang korea tergolong tertutup, sehingga para artis akan merasa malu jika ketahuan pergi ke konseling atau sedang depresi. Faktor agama juga tak kalah pentingnya. Hampir setengah warga Korea tidak memiliki agama, sehingga ketika mengalami depresi, penghargaan mereka terhadap kehidupan jadi rendah. Kepercayaan terhadap konsep reinkarnasi juga mendorong orang Korea mengakhiri hidupnya, dengan harapan kehidupan barunya akan lebih baik.
Akhirnya bunuh diri di anggap sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan masalahnya. Untuk selebritas, segala perilakunya akan di contoh oleh penggemarnya. Fanatik yang berlebihan dalam mengidolakan seseorang, membuat masyarakat Korea akan mengikuti tiap perilaku yang di lakukan idolanya bahkan jika idolanya bunuh diri maka mereka akan mengikutinya. Para fans seolah terinspirasi, untuk mengakhiri suatu masalah adalah dengan jalan bunuh diri. Melihat permasalahan tersebut pemerintah Korea kini sedang menggalakkan adanya konseling untuk mengurangi populasi bunuh diri. Di harapkan dengan seperti itu masyarakat Korea mau membuka diri guna menceritakan masalahnya.
Bagi kita yang memiliki Allah sebagai penawar hati di kala kesedihan datang, melalui ayat-ayatnya yang berisi kabar gembira bagi orang yang sabar dan selalu menyerahkan segalanya kepada Allah maka tak patut kita berputus asa. Karena sesungguhnya hanya Allah tempat segala curahan rasa. Hanya Allah sebaik-baik tempat mengadu. Hanya Allah sebaik-baik saksi dari perilaku kita.
Fenomena yang terjadi Korea bisa di ambil hikmahnya, membuka diri kepada seseorang yang di percaya untuk bertukar pikiran. Bukan berarti membuka aib atau mengabaikan Allah sebagai tempat mengadu. Tentu jika hal itu di lakukan dengan pertimbangan, bahwa kita melakukan ikhtiar dengan mencari perantara Allah untuk mencarikan jalan keluar dan tanpa berlebihan.
Semoga kita menjadi hamba yang selalu mengandalkan Allah dalam tiap gerak kita. MenjadikanNya sebagai saksi utama. KarenaNya kita berlaku bukan karena yang lainnya. Merasakan Allah selalu hadir lebih dekat dari urat nadi. Aamiin.
Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. (QS. Fathiir: 10)
Mencari kemuliaan dan kebahagiaan dengan harta benda dan penilaian manusia pasti tak akan pernah di dapat, hanya melelahkan batin dan semu belaka. Carilah kemuliaan di sisi Allah, di jamin bahagia, mulia yang asli dan kekal. (Aa Gym)
Allahua’lam.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2011/12/16683/cukup-allah-sebagai-saksi/#ixzz1gZ4zbOBP

Senin, 12 Desember 2011

Qalb Aisyah 4 (Tangisku Oleh Katamu)


Allah hari ini aku mengadu padaMu. Aku mengadu dalam tangisku oleh kata-katanya. Kata-kata yang begitu menyentuh dan meresap dalam batas kemampuanku untuk memaknainya. Apakah ia memang begitu? Apakah semua ini sama? Atau ini suatu ayat yang salah kutafsirkan?
Allah, tumbuhkan keyakinan padanya, bahwa aku juga menanti yang sama. Aku juga tak punya apa-apa. Aku juga seorang yang hina. Aku bukanlah Zulaikha yang mengharapkannya setampan Yusuf, walau aku mengharapkan seperti ibunda Aisyah, tapi aku tidaklah secerdas Aisyah yang mendampingi Nabi Muhmmad, aku juga tidaklah sekaya Balqis yang sederajat dampingi Sulaiman. Aku hanyalah wanita akhir zaman berharap menjadi wanita sholehah mendampinginya dalam menggapai keridhoanMu. Benar, aku pun tak punya apa-apa. Aku masih terus belajar menata diri hingga pantas mendampinginya dan layak Engkau anugrahkan hambaMu yang taat.
Sesungguhnya setiap wanita yang baik pasti merindukan pernikahan, dimana dalam pernikahanlah dia bisa terjaga dari fitnah cinta, dia bisa terhormat dan sempurna sebagai wanita, yakni menjadi istri dan ibu bagi suami dan anak-anaknya. Seorang suami baginya adalah kehormatan, apapun status sosialnya. Aku memang mendamba pernikahan, tapi aku belum siap dalam waktu sekarang. Masih ada yang harus kutunaikan. Insya Allah hingga waktunya tiba nanti, kita mulai semuanya bersama-sama. Jadi, bukan kau sendiri…
Tetaplah jaga kemuliaanmu, tundukkan rasa dan gerak yang bisa merendahkan nilai dirimu, pertahankan agar senantiasa ‘malu’ menjadi penghiasmu dan penghiasku. Bukankah engkau menginginkan yang terbaik? Meski kadangkala yang terbaik tidak selalu seperti yang kita inginkan. Tapi yakinlah akan janjiNya, bahwa wanita baik-baik hanya untuk laki-laki baik-baik, begitupun sebaliknya. Bersabar dan tetap bersahaja dalam penantian. Meski ikhtiar tak boleh diabaikan. Jalani sesuai ketentuan sang Pemilik kehidupan.
Bila telah sampai waktunya, detik demi detik masa ta’aruf itu akan begitu mendebarkan. Saat-saat menuju pernikahan agung itu akan begitu mengharukan. Kau tahu mengapa?? karena itulah waktu yang tepat untuk pertama kalinya cinta mekar dari kuncupnya. Akan menjadi sebuah keharuan, karena luapan cinta yang merekah telah tertuju pada satu orang yang tepat, pada dia yang halal. Akan menjadi suatu kemuliaan, karena semua keindahan itu bernilai ibadah dan menuai pahala. Subhanallah, Dirimu adalah yang terpilih bagi dia yang telah dipilihkan olehNya. Begitulah seharusnya merekahkan cintaku, cintamu, Cinta yang terpilih.
Jika memang tak ada takdirNya untuk ini semua, masing-masing dari kita harus tetap berhuznuzhon. Sejatinya, hanya Ia lah yang tahu yang terbaik untuk kita. Tapi tolong, jangan sekali-kali kau rendahkan dirimu di hadapanku! Aku tak sanggup, karena andai kau halal untukku, akan kukatakan kau adalah yang terbaik sejauh ini yang menyentuh sukmaku. Kau banyak mengajarkanku beberapa hal secara tersirat. Aku mengagumimu. Aku menyukaimu dengan caraku. Dengan hatiku. Aku tahu, masih banyak permata lain di luar sana yang menawan, namun perkara hati, siapa yang dapat mengatur kemana ia tertambat?
Masing-masing dari kita hanya mampu berdo’a. Tetap jalani ini semua seperti biasa. Aku pun terkadang tak mampu menolak dirimu yang melintas dalam pikiranku. Tapi semua sudah cukup! Kita tak boleh terlena terlalu jauh. Saling memaklumi keadaan ini, walaupun rindu kebersamaan terlalu mengikat, namun apalah daya selain kesabaran yang dapat dibentangkan.
Semua ini, suatu saat nanti terjawab. Aku minta maaf padamu kalau kiranya aku telah menggangu kenormalan hidupmu. Sungguh aku tak ingin membuat hidupmu celaka karenaku! Pada Allah aku mohon ampun atas rasa yang datang belum pada saatnya. Aku mencemaskanmu, mencemaskan rasa ini karena takut Allah marah. Sungguh tak ada yang bisa kulakukan.. :’(
Afwan jiddan…
Afwan…