Jumat, 02 Desember 2011

Qalb Aisyah 2 (Surat Cinta Dari Tuhan yang Kau Ikatkan)

Aku duduk di sofa ruang tamu rumahku. Sedikit-sedikit aku mencoba membenarkan letak jilbabku, merapikan gamis yang kukenakan dan beberapa menit berikutnya pergi ke arah dapur untuk menemui Bunda yang tengah mempersiapkan jamuan makan malam bersama adik dan kakak iparku.
“Tenanglah, apa yang Ananda risaukan, Nak?” Aku tak bisa menjawab pertanyaan Bunda, karena aku sendiri sebenarnya tak tahu apa yang aku cemaskan.
“Kembalilah ke ruang tengah. Temani Ayah dan Abangmu. Sebentar lagi, mungkin mereka akan datang.” Aku menuruti perkataan Bunda. Ayah tampak tenang dengan buku bacaannya, dan abangku menyibukkan diri di depan laptop, untuk menyelesaikan pekerjaan kantornya. Aku duduk di samping Ayah. Bersandar di bahunya.
“Tak ada sesuatu yang perlu dicemaskan.” Ayah mengalihkan perhatiannya padaku. Ia mengelus-elus kepalaku dengan lembut.
“Ayah, apakah Ananda sudah pantas menjalani ini semua? Jujur, Ananda sedikit merasa tak pantas.”
“Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi pada diri kita setiap harinya. Semenit ke depan, kita pun tak kan mampu menebak apa yang akan terjadi. Kita hanya mencoba untuk berbuat sebaik mungkin setiap harinya dalam hidup, dan atas kebaikan-kebaikan itu, kita harus percaya bahwa Allah akan menyelipkan kejutan-kejutan kebahagiaan untuk kita, bahkan untuk hal yang kita anggap mustahil sekalipun.” Kini Ayah menutup bukunya, ia memandang wajahku dengan lekat, membetulkan sedikit letak kacamatanya, dan kembali melanjutkan kata-katanya.
“Jadi, tak ada yang tak pantas jika Allah telah menghendakinya Anakku. Jika keraguan masih menyelimutimu, tanyakanlah padanya. Bukankah ia yang mengajukan diri?” Ayah benar. Aku masih bisa menanyakan banyak hal sebelum membuat suatu keputusan untuk hidupku.
***
Pukul 20.05 WIB, dua buah mobil terdengar memasuki pekarangan rumah. Ayah, Bunda, dan abangku berjalan keluar untuk menyambut tamu yang datang. Aku masukke kamar ditemani adik dan kakak iparku. Beberapa menit berselang, samar-samar kudengar percakapan mereka yang kini telah berkumpul di ruang tamu.
“Kedatangan kami ke sini, tentu sudah Anda ketahui maksud dan tujuannya. Saya mewakili anak saya, ingin menyampaikan maksud hatinya yang ingin menyempurnakan separuh agama dengan mempersunting anak Anda.”
“Ini semua memang berkah untuk keluarga kami, keluarga biasa yang mungkin sebelumnya tak pernah membayangkan akan menjamu tamu dari keraton. Namun apa pun itu namanya, saya tetap yakin hanya takwa yang menjadi pembeda kita di hadapan Tuhan. Untuk urusan hati ini pun, saya tak ingin mengambil keputusan tersendiri. Saya bebaskan putriku untuk menentukan apa yang terbaik bagi hidupnya.”
“Tentu saja. Saya sangat setuju dengan pemikiran Anda. Langsung saja kita pertemukan keduanya, dan memutuskan yang terbaik diantara keduanya.”
Bunda, masuk ke kamarku. Menuntunku keluar menuju ruang tamu yang telah berubah menjadi ruang musyawarah. Adik dan kakak iparku tetap mengiringiku.
“Nah, kini orang yang ingin mempersuntingmu dan keluarganya telah hadir di rumah kita, Nak. Sampaikanlah apa yang ingin Ananda sampaikan. Kami tak akan memperdebatkan.”
“Saya hanyalah orang yang biasa, mengenalmu pun hanya sebagai orang yang dihormati dibeberapa kalangan. Saya mungkin tahu banyak tentangmu, namun apakah kamu benar-benar telah mengenal baik saya?” Aku mulai bertanya. Wajahku tertunduk tak mampu mengangkatnya untuk melihat orang-orang di sekelilingku.
“Saya memang tak mengenalmu dengan waktu yang lama. Bahkan saya tak lebih dari lima kali bertemu denganmu. Namun, pada setiap kesempatan dimana saya bertemu denganmu, saya mencoba mengenalmu dengan baik. Dalam waktu yang singakat itu pula, saya kenali dirimu sebagai seorang perempuan yang sederhana, penyuka kegiatan sosial, periang, kecerdasanmu mampu membawamu meraih beasiswa keluar negeri, namun yang terpenting dari semua itu, saya menilai dirimu sebagai seorang yang menjalankan agamamu dengan baik,”
“Dan apa yang tak terlihat langsung oleh saya tentangmu, sudah saya ketahui dari orang-orang terdekatmu. Termasuk sifat manjamu terhadap Ayah Bundamu.”
“Lalu apa yang kamu harapkan dengan menikahi saya? Apa yang membuatmu mengajukan diri untuk menjadi imam dikehidupan saya? Dan saya ingin memberitahukan bahwa didiri saya terbesit rasa ketidakpantasan untuk mendampingimu.” Tanyaku lagi dalam keadaan wajah yang masih tertunduk.
“Saya tak memandangmu sebagai orang yang tak sebanding dengan saya. Apa yang tak pantas di pandangan manusia, belum tentu tak pantas di hadapan Illahi. Apa yang saya nilai darimu adalah sesuatu yang saya lihat dengan hati, bukan dari apa yang ada di luarnya. Yang saya harapkan dengan menikahimu adalah meraih ridhonya Allah. Saya memilihmu atas agamamu. Atas kecintaanmu pada Rabbmu dan kekasihnya, dan saya ingin mendapat perhiasan dunia akhirat dengan menikahi wanita solihah. Lalu dimana letak ketidakpantasanmu jika yang saya lihat adalah seorang wanita dari segi agamanya?” Aku tak tahu bagaimana mimik wajahmu ketika menguraikan semua kata-kata itu. Namun yang harus kuakui, ada getaran kecil yang terjadi di sukmaku.
“Sekiranya saya menerima lamaranmu, apa yang dapat kamu berikan sebagai mahar dipernikahan nanti?”
“Sebenarnya, saya adalah orang yang tak punya apa-apa. Kebanyakan apa yang saya miliki adalah warisan turun temurun dari keluarga keraton. Saya tidak ingin memberikanmu mahar dari sesuatu yang tidak saya perjuangkan untuk mendapatkannya. Maka jika kamu ikhlas, saya hanya mampu memberimu surat cinta dari Tuhan. Saya ingin mengikatmu dengan surah Ar-Rahman dan Al-Kahf yang telah sedari lama saya hafal.”
Tanpa kupinta, ia melantunkannya untukku. Ada sesuatu yang kurasakan mengalir dingin di pipi. Cairan cinta atas rasa haru yang kudapatkan melalui perkataan seorang laki-laki. Satu-satu kini cairan cinta itu jatuh membasahi telapak tanganku yang kuletakkan di atas pangkuanku. Aku mulai sedikit memberanikan diri mengangkat wajahku, untuk melihat calon suamiku.
Subhanallah, aku pun melihatnya tertunduk dengan parit di pipi yang membekas dari tangisnya. Perlahan kulihat ia mulai mengangkat wajahnya juga, memandang ke arahku dengan sekali pandang. Namun sepersekian detik mata kami bertemu. Deg! Hatiku kurasakan bergetar kembali. Ada hawa sejuk yang masuk melalui celah-celah dinding hatiku, begitu lembut dan menenangkan.
“Apa yang bisa saya sanggah lagi ketika seseorang lelaki yang solih mendatangi saya untuk menunaikan sunah nabi? Apa yang saya pandang kini, tak lagi melihat statusmu, tapi apa yang saya lihat dari agamamu. Dengan mengucap basmalah, bismillahhirrahmannirrahim, saya bersedia menyempurnakan dien bersamamu.” Kataku dengan mantap.
Bunda menciumiku, begitu pula kulihat yang Ibumu lakukan terhadapmu. Ayah kita saling berpelukan, senyum bahagia menghiasi wajah keduanya. Beberapa kerabatmu dan saudaraku turut mengembangkan senyum bahagia pula. Pada setiap kehidupan hambanya yang beriman, selalu ada campur tangan Tuhan yang menjadikan skenarionya lebih indah. Medan, 24 November 2011