Senin, 17 Juni 2013

Cerpen Media Pilar Aisyah di Dakwatuna "Sejak Kuyakini Ketaqwaanmu"


Sejak Kuyakini Ketakwaanmu

“Assalamu’alaikum,?”
“Wa’alaikumsalam warohmatullah…”
“Kenapa kelihatan tak bersemangat, Kan? Sedang ada masalah ya?”
Pemuda itu terdiam. Ia menundukkan pandangannya. “Aku ingin menikah.” Ucapnya.
“Alhamdulillah… memang sudah saatnya kamu menikah. Sudah punya calonnya?” Tanya sahabatnya itu dengan penuh kebahagiaan.
Mendengar pertanyaan sahabatnya, pemuda itu terdiam. Wajahnya yang tadi tertunduk, kini semakin dalam tertunduk. Lebih dari itu, tubuhnya berguncang. Senarai isak tangis mulai terdengar, disambut derai air mata yang tercurah.
“Mengapa antum menangis?” Tanya sahabatnya yang terlihat bingung. Pemuda itu tak menjawab.
“Jika pertanyaan ku membuatmu sedih, maafkanlah,”
“Bukan pertanyaan antum yang membuat kumenangis, tapi aku sendiri yang membuat keadaan ku seperti ini. Aku telah menghadirkan dua orang muslimah dalam hati ini. Tak ada maksud untuk membuat hati ini hitam. Hanya apa yang kurasakan ini, terjadi tanpa kupinta. Kesalahannya, mungkin karena aku telah membuka celah dimana terjadi interaksi yang membuatku menjadi terperdaya pada pesona keduanya.”
“Kalau begitu, kamu ambillah keduanya untuk menjadi istri…”
“Aku tak sanggup jika harus mempoligami bidadariku. Sekalipun aku tahu kebolehan berpoligami.”
“Jika tak sanggup, pilihlah yang terbaik dari keduanya.”
“Aku tak mampu memilih satu dari keduanya, Fiz.”
“Kalau begitu, aku pun berlepas dari kataku. Tunggulah takdir Allah untukmu. Semoga yang terbaik dari yang terbaik menjadi bidadarimu.”
***
Assalamu’alaikum, Akh… saya ingin menyampaikan bahwa teman-teman merasa senang dengan ceramah yang akhi sampaikan mengenai pernikahan. Alhamdulillah, banyak dari mereka yang kini sedang berproses untuk menyegerakannya. Bahkan saya sudah mendapat dua undangan. Semoga akhi juga segera mendapat yang terbaik…
-Nayla-
***
“Abang, tidak datang seminar di Aula kampus? Yang Ilham dengar, salah satu pembicaranya adalah Aulia.”
“Haruskah abang datang?”
“Ya tak adalah hak Ilham untuk mengharuskan. Ilham hanya membaca hati yang terlihat, Bang.”
“Membaca atau menerka?”
“Mana abang suka lah!” Ucap adiknya agak kesal seraya berlalu.
Hari ini, ia sebenarnya mendapat undangan khusus untuk datang ke acara seminar itu dari panitia penyelenggara. Hanya saja, ia ingin mencoba menenangkan hatinya dengan menjauhi kesempatan yang mungkin akan membuat hatinya semakin berat untuk mampu memilih.
***
“Arkan, aku datang kepadamu pagi ini dalam urusan yang mulia.”
“Apa gerangan urusan itu, Fiz?”
“Mungkin, ini jawaban dari takdirmu yang beberapa minggu lalu kita perbincangkan. Aku datang mewakili orang tua dari seorang wanita yang soliha untuk memintamu berta’aruf. Bacalah proposalnya. Lalu berilah keputusanmu besok.”
Sepulang dari kedatangan sahabatnya itu, ia hanya mampu meletakkan proposal itu di meja kamarnya. Pagi ini, ia ingin menjalankan aktivitas tanpa memikirkan urusan yang belakangan ini mengusiknya.
Sesampainya di masjid kampus, ia tak sengaja bertemu dengan Aulia kala menunaikan shalat Dhuha. Ia melihat Aulia tersenyum ke arahnya. Lalu berlalu bersama teman-temannya.
“Mungkinkah ia? Astaghfirullah…”
***
Selepas tahajud, Arkan teringat dengan proposal yang diberikan sahabatnya tadi pagi. Tangannya bergetar memegang lembaran-lembaran itu. Sekuat tenaga, ia mencoba membuka lembaran pertama. Namun sedetik kemudian, ia mengurungkan niatnya. Ia letakkan kembali proposal itu di atas meja. Namun ada selembar foto yang terjatuh di lantai. Ia memungut foto itu, dan yang terlihat di matanya adalah seorang wanita berbalut jilbab putih yang begitu anggun dengan senyum khas yang ia kenali. Senyum itu, kepunyaan Aulia…
“Allah, apakah ini takdirku?...” Arkan menyungkurkan diri dalam sujud malam yang tengah.
***
Arkan datang menemui sahabatnya Hafiz, untuk memenuhi janji keputusan atas kedatangan sahabatnya itu kemarin.
“Baiknya sekarang kita langsung ke rumahnya untuk menyegerakan ta’arufmu.”
Mereka pun menuju rumah Aulia. Ketika sampai di sana, mereka disambut dengan hangat oleh orang tua Aulia.
“Mengapa Nak Arkan tidak datang beserta orang tua?”
“Sebelumnya saya minta maaf, Pak. Bagi saya sendiri, ta’aruf pertama ini ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan sebelum saya memutuskan untuk melanjutkan ke taraf pernikahan. Jika saya merasakan kemantapan hati, baru saya akan datang kembali beserta keluarga untuk segera melamar.”
“Baiklah jika begitu pertimbangan, Nak Arkan.”
Aulia pun dihadirkan. Wanita itu hadir bagaikan cermin dari foto diri yang tengah malam tadi Arkan lihat.
“Silahkan bertanyalah, Nak…”
“Assalamu’alaikum Aulia… bolehkah kuketahui sebab hingga sampainya proposalmu padaku?”
“Wa’alaikumsalam mas…, jika hal itu yang kamu tanyakan, maka aku akan menyanjung seorang wanita soliha yang kudapati kebijaksanaannya. Aku mengadu mengenai hatiku. Lalu ia berkata, menikahlah! Lalu aku bertanya pada siapa? Pada seorang pemuda yang kau yakini dirinya mampu menjadi pendampingmu dunia akhirat, dan yang saling solih mensolihkan, ujarnya. Aku tak tahu siapa! Tapi aku teringat sosokmu saat menyampaikan ceramah mengenai pernikahan. Lalu aku memutuskan untuk memilih berta’aruf denganmu.”
“Boleh aku tahu wanita itu?”
“Ia orang yang mengundangku untuk menghadiri ceramahmu untuk pertama kalinya saat kita belum berkenalan. Ia orang yang kau kenal. Wanita itu adalah Nayla.”
Arkan tertunduk mendengar nama Nayla yang tersebut oleh Aulia. Lalu ia mencoba untuk bertanya kembali, “Apa Nayla tahu akan ta’aruf ini?”
“Ya, bahkan air matanya sesaat berlinang ketika aku mengatakan bahwa aku ingin berta’aruf denganmu. Ia katakan ia bahagia atas pilihanku. Ia juga yang membantu mengantarkan proposalku kepada Hafiz, untuk disampaikan kepadamu.”
“Terimakasih atas keteranganmu. Aku senang mendengarnya. Aku juga mendapatimu sebagai wanita yang baik. Namun bolehkah aku meminta sesuatu hal kepadamu?”
“Silahkan…”
“Aku tak dapat memberikan keputusan saat ini, besok pukul 10.00 datanglah ke masjid kampus beserta orang tuamu, undanglah juga Nayla untuk datang. Insya allah besok akan kuputuskan apakah ta’aruf ini dilanjutkan atau tidak.”
“Baiklah…”
“Apakah Bapak dan Ibu mengizinkan permintaan saya?”
“Kami tak keberatan jika Nak Arkan maunya begitu.”
***
Malamnya Arkan memulai istikharah. Rasa bingung coba ia tepis dengan menguatkan azamnya. Setelah istikharah, ia terus melanjutkan tahajud dan melebur diri dalam do’a-do’a yang panjang dan khusyuk.
“…. Ya Allah, diantara tanda-tanda kekuasaanMu, telah Engkau ciptakan bagi kami isteri-isteri dari jenis kami sendiri, supaya kami cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Engkau jadikan di antara kami rasa kasih dan sayang. Aku percayakan urusanku ini kepadaMu Rabb, karena Engkaulah hakikatnya yang paling mengetahui mana yang terbaik bagiku. Aku tak ingin melukai hati siapapun, jikalau memang diriku tak pantas untuk bersanding dengan salah satu hambaMu yang soliha itu, aku ikhlas Rabb. Karena mereka adalah sebaik-baik perhiasan dunia. Berikanlah petunjukMu Rabb….”
***
Masjid kampus pagi ini masih tampak lengang. Hanya ada beberapa orang yang tengah shalat Dhuha. Arkan duduk bersama Hafiz. Lima menit berselang, datanglah Aulia beserta orang tuanya. Kini mereka hanya tinggal menunggu Nayla.
“Nayla minta maaf, ia tidak bias datang. Ia ada rapat di kantornya pagi ini.” Terang Aulia setelah menelpon sahabatnya yang tak kunjung datang itu.
“Bagaimana Nak Arkan?”
“Baiklah, dengan mengucap Basmalah saya putuskan ..….”
***
“Kenapa kamu nggak datang, Nay? Kamu merasa ndak siap?”
“Sesungguhnya ada satu hal yang membuat para nabi dapat bergembira ketika menerima penderitaan, Mbak. Yaitu, mereka telah memutuskan berlari menuju Allah. Mereka terus-menerus percaya dan meyakini bahwa Allah sangat-sangat adil dan penyayang. Jika ada satu dua penderitaan, itu hanya jalan menuju kebahagiaan. Lalu kenapa saya harus merasa ndak siap jika saya akan menuju kebahagiaan, Mbak? Dan saya tak berhak untuk menghalau kebahagiaan orang lain, apalagi sahabat saya. Lagian, rapat ini kan juga penting untuk saya hadiri.”
“Kamu memang layak bahagia, Nay...”
“Setiap orang berhak bahagia, Mbak…”
***
“Nay, jangan lupa ya datang ke pernikahanku besok. Untuk walimahannya akan diadakan pekan depan, Nay.”
“Alhamdulillah, ana turut senang. Insya Allah ana akan datang.”
***
Hari ini kediaman Aulia penuh berkah dengan hari istimewanya. Wajahnya bersinar penuh kebahagiaan.
“Nay, kamu dampingi aku ya?” Pinta Aulia pada Nayla.
Pihak pengantin wanita berada di lantai atas. Ijab Kabul dilakukan di lantai bawah. Suara ijab kabul itu begitu terdengar tegas dan khidmat. Namun Nayla merasa bahwa suara itu bukan suara Arkan. Ia mencoba melihat ke arah pengantin pria, dan yang ada di sana adalah Hafiz. Apa yang terjadi? Tanya benaknya.
“Iya, Nay. Aku menikah dengan Hafiz, bukan Arkan! Aku sudah menikah. Aku ingin, kau juga menikah.” Nayla memeluk sahabatnya itu. Dari sudut-sudut mata bening mereka menetes tangis bahagia.
***
Sebulan berlalu. Pada suatu pagi yang cerah, Nayla kedatangan tamu istimewa.
“Kedatangan saya ke sini, tak lain adalah untuk melamar anak bapak menjadi bidadari saya.”
“Subhanallah, sebuah niat yang baik. Namun sesenang apapun kami orang tuanya, keputusan tetap ada pada Nayla.”
“Tak ada alasan bagiku untuk menolak lamaran dari seorang lelaki yang solih. Maka dengan mengucap Bismillahirrahmannirrahim aku menerima lamaranmu.” Ucapnya dengan wajah yang tertunduk.
“Alhamdulillah…” Senyum tertebar pada setiap yang hadir dalam lamaran itu.
***
Lusanya, walimatul ursy diadakan. Setelah walimahan usai, Nayla bertanya suatu hal pada suaminya, “Suamiku, sebenarnya ada yang ingin kutanyakan kepadamu. Bukan aku ingin mengungkit masa lalu, namun aku hanya ingin mengobati rasa penasaranku. Sebenarnya, apa yang terjadi di masjid kampus dalam ta’aruf kedua itu?”
Dengan menatap istrinya lembut, Arkan berkata, “Yang terjadi adalah takdir Allah. Dengan mengucap basmalah kala itu, kuputuskan untuk menolak melanjutkan ta’aruf ke arah pernikahan. Ketidak hadiranmu yang membuatku harus memutuskan hal demikian. Karena sebenarnya, kamulah wanita pertama yang membuatku merasakan cinta. Hafiz lalu maju setelah penolakanku. Ia melamar Aulia menjadi bidadarinya. Dan apa yang terjadi selanjutnya, tentu telah kamu ketahui istriku…”
“Maha suci Allah yang mengikat hati kedua insan yang mencinta karenaNya. Aku pun mencintaimu sejak kuyakini ketakwaanmu…” Ucap Nayla sembari mencium tangan suaminya.
***

Seleret, 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar