Sabtu, 10 Maret 2012

Perempuan Solehah


Jangan tertipu oleh angka statistic yang mengatakan, perbandingan lelaki dan perempuan melebihi 1:4. Ada banyak kaum hawa di luar sana, tetapi percayalah, yang solehah hanya terbatas jumlahnya. Kalau kau bertanya-tanya seperti apakah perempuan solehah, silakan renungkan kata-kata di bawah ini... 
Perempuan solehah dan Ikhwan
            Antara Perempuan solehah dan Ikhwan dibatasi oleh rasa malu dan cinta.
            Perempuan soleha mencintai Robbnya melebihi segalanya, setingkat di bawahnya adalah lelaki paling mulia bernama Muhammad ibn Abdillah Saw. Setingkat di bawahnya adalah para shahabat, para salafus sholih. Setingkat di bawahnya ada kedua orang tua yang mengasihi, setingkat di bawahnya lagi adalah para ulama dan ustadz di zaman ini yang selalu menyiangi taman hati dengan nasihat mereka. Layer terbawahnya adalah dirimu.           
            Jangan khawatir, perempuan soleha selalu menyisihkan waktu untuk mendoakanmu menjadi pemimpin sejati, meski porsimu hanya kecil di hatinya.
            Cinta perempuan soleha padamu, meski tak mutlak, tetap utuh dan sempurna. Sebab ia disempurnakan oleh rasa malu. Malu pada Robb jika masih meminta sesuatu selain kepadaNya. Malu pada Nabi yang dalam pikirannya hanya terpikir ummat, ummat, ummat; tak tersedia secuil hasrat cinta picisan yang mungkin, sesekali masih menghampirinya.
 Perempuan soleha dan Ilmu
            Untuk lebih memahami dunia dengan segala permasalahannya, kapal besar yang akan membawa menuju negeri abadi, perempuan soleha membutuhkan ilmu pengetahuan. Karenanya jangan heran, bila sebagian besar waktunya selain terisi oleh ibadah mahdhoh dan nawafil; ia pergunakan untuk menimba ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang berada di majelis para sholihin atau di bangku akademis.
            Jika, kemudian perempuan soleha tak menemukanmu, pada akhirnya ilmu pengetahuan ia kejar demi mempersiapkan sumbangsihnya yang lebih besar bagi umat. Jangan salah berpikir mengapa perempuan soleha sibuk mengejar ilmu, strata satu, dua, tiga hingga ke negeri seberang. Sebab perempuan soleha tak mau terlalu resah, sibuk memikirkanmu. Waktunya terlalu berharga untuk menangisimu. Ummat masih menanti muslimah sepertinya, berkiprah menyelesaikan masalah-masalah yang semakin berkembang dan kompleks dari waktu ke waktu. 
Perempuan soleha dan Dakwah
            Aku masih belum selevel  bunda Aisyah ra yang menghafal ribuan hadits. Belum selevel  Jahanara, putri Shah Jahan yang menelusuri jalan tasawuf usai bertikai dengan Aurangzeb, penguasa dinasti Mughal. Belum setara dengan Tawakkul Karman, peraih nobel perdamaian. Belum setara dengan Zaynab Al Ghazali atau Lathifah as Shuli, perempuan terhormat dalam pergerakan di Mesir.
            Tapi benakku dipenuhi bagaimana mengentaskan muslimah kampus agar lebih memahami Islam secara utuh, bagaimana mengentaskan ibu-ibu dari keterpurukan ekonomi, bagaimana agar anak dan remaja tidak tumbuh di jalanan. Bagaimana agar kita punya kontribusi pada kehidupan bangsa dan negara.
            Dirimu, berada pada layer terakhir di benakku. Tentu, terselip keinginan untuk meraih tanganmu, bersama menapaki jalan yang penuh onak duri tetapi juga dipenuhi harapan dan kesempatan luas terbentang.
 Perempuan soleha dan Waktu
            Perempuan soleha tahu, hidup dibatasi waktu.
            Setiap tahapan usia memiliki tugasnya masing-masing.
            Tapi perempuan soleha tak mau dibatasi oleh budaya yang mengatakan bahwa usia lah yang memastikan perempuan harus memasuki usia pernikahan. Tak ada yang mampu memaksakan usia. Siapa dapat memastikan perempuan soleha memilikimu di usia 20, 23, 25, 30 atau 38 bahkan 40 nanti?
            Perempuan soleha tak memusuhi waktu, sebab, ia adalah salah satu sumpah Tuhan dalam al Ashr. Perempuan soleha, bersahabat dengan waktu. Tak akan ia hitung tahun, bulan, pekan, hari apalagi detik hanya untuk memuja namamu dan menantimu mengetuk pintu rumah orang tuanya.
            Kau ada di sini, dalam hatinya, tetapi ia simpan rapi dan ia lipat baik-baik dengan lapisan cinta dan malu. Perempuan soleha tak akan memaksakan waktunya padamu, atau pada siapapun, sebab setiap kejadian memiliki dimensinya sendiri-sendiri. Waktu yang ia miliki akan ia isi dengan sebaik-baik bekal, bagai backpacker yang mempersiapkan isi ranselnya dengan perkakas yang penting dan tepat. Lebih baik isi waktu dengan menghafal Quran, membaca buku-buku, mengkaji ulang catatan pengajian, berburu ladang dakwah baru, berbakti pada orang tua, mengasuh adik-adik dan bersilaturrahmi dengan karib kerabat; dan tentu saja, mengisi dahaga akan ilmu.
 I am and Somewhere Out There
            Perempuan soleha, tak sama dengan perempuan yang kau temui di jalan-jalan. Yang menghabiskan waktu di depan cermin dengan mematut diri, berhitung, klinik kecantikan mana lagi yang bisa dikunjungi. Perempuan soleha, tak sama dengan perempuan yang sibuk berhitung, kelak suaminya berpenghasilan berapa sehingga mengajaknya keliling Eropa?
            Perempuan soleha tak ada di cafe, when night is still young.
            Perempuan soleha tak ada di mall ketika di akhir pekan, berburu tas Hermes dan sepatu atau discount baju.
            Perempuan soleha tak selalu ada di dunia maya, memandangi wajah kharismatikmu  di foto profil , yang sering melempar nasehat berharga dan banyak gadis terhenyak dibuatnya.
            Kalau kau mau mencarinya, jasadnya berada di belantara ladang-ladang dakwah. Di masjid, di perpustakaan, di kampus, atau menghabiskan waktu bersama teman-teman kampus; bersama kaum perempuan dan anak-anak, berbagi ilmu. Kalau kau mencarinya, ruhnya berada di outer space, ketika sepertiga malam. Mungkin kau bisa menemuinya di sana, saat tengah bermunajat bersama – meski tempat berbeda. Ketika gelombang elektromagentik cinta beradu dalam aura makrokosmos yang sama.
            Perempuan soleha, berbeda dengan perempuan yang biasa kau temui. Maharnya mungkin murah. Tetapi nilainya, tak setara dengan emas yang kau bayarkan, insyaAllah. Jadi, kuharap kau mengerti. Kalau perempuan soleha tak akan berkeliaran mencarimu, mengejar-ngejarmu. Semakin lama kau menunda waktu, memperpanjang list yang kau gunakan untuk meminang bidadarimu: yang cantik, yang mapan, berkarir, lulus dengan pendidikan strata tertentu, dari kalangan terhormat. Perempuan soleha, biasa-biasa saja. Kecantikan istimewa perempuan soleha pada busana rapi dan kerudung yang ia kenakan; pada lisan yang  ia usahakan bertutur dengan isi yang bernaas. Kedua orang tua perempuan soleha hanya orang biasa, dan perempuan soleha adalah tonggak keluarga. Perempuan soleha mungkin tak akan membuat heartbeat mu berdetak ribuan kali lebih cepat.
            Perempuan soleha, mungkin hanya menawarkan sedikit. Untuk menghidupkan malammu. Untuk menjaga kehormatan, dunia dan akhiratmu. Pemikiran dan senyumnya, semoga kelak bisa menaungi hatimu yang resah dan kelelahan. Jika, kau masih memimpikan daftar penantian akan bidadarimu, silakan. Mungkin nama perempuan soleha tak masuk disitu.
Meski waktu bersanding kegelisahan dan lelah; semakin perempuan soleha tangguh dan kuat dalam penantian serta munajat kepadaNya.
Perempuan soleha yakin, Ia akan memilihkan seseorang yang tepat dan baik untuknya, mungkin itu bukan dirimu. Perempuan soleha justru mengkhawatirkan dirimu, yang terlalu lama menunda dan menanti, membuat daftar yang semakin panjang; maka kau tak akan mendapatkan perempuan sepertinya. Sebab semakin lama, bukan diin atau dakwah yang menjadi pertimbanganmu. Dunia dan kecantikan, yang kau sebut-sebut diperbolehkan oleh baginda Rasul Saw, membuatmu semakin pemilih.
Perempuan soleha punya sebuah kisah yang mungkin layak disimak untuk pemuda sepertimu.
**************

Ahmad bin Aiman, sekretaris Ibn Thulun datang ke Bashrah. Ia disambut oleh Muslim bin Umran, saudagar terkaya. Muslim bin Umran, bukan hanya kayaraya tetapi juga tampan dan kharismatik.  Dalam jamuan makan kebesaran, datanglah kedua anak Muslim bin Umran. Mereka berdua sangat sopan santun, ingin berbicara dengan ayahnya dan menunggu kesempatan sang ayah datang. Ketampanan kedua anak itu mencengangkan para tamu, bukan itu saja, sikap yang sangat serasi antara akhlaq, pakaian dan rupanya membuat para tamu berbisik.
“Subhanallah,” decak Ibn Aiman. “Ibu anak ini pasti melebihi bidadari kecantikannya!”
Muslim bin Umran hanya tersenyum mendengar pujian para tamu dan berkata,” perempuan soleha hanya ingin mengharapkan anda memintakan perlindungan Allah untuk mereka.”
Seluruh tamu penasaran dengaa kehidupan pribadi Muslim bin Umran, apalagi dengan kebahagiaan yang terlimpah demikian sempurna. Mereka memuji, megatakan kepandaian Ibn Umran memilih istri yagn tentunya cantik jelita dan dari keluarga terpandang. tentu hal yang masuk akal bila Ibn Umran yag kaya da tampan mengambil gadis bangsawan. Siapa yang dapat menolaknya?
 Maka Muslim bin Umran berkisah mengenai masa mudanya.
Ia adalah pemuda petualang, suka berkelana, menimba ilmu. Hingga suatu hari tibalah di Balakh, ibukota Khurasan. Seorang Imam sholih bernama Abu Abdullah al Balakhi tengah membicarakan sebuah hadits dalam majelis,
“….seorang wanita yang hitam lebih baik dari wanita cantik yang mandul.”
Muslim bin Umran , yang muda dan penuh gairah, merasa belum pernah mendengar hadits tersebut. Apalagi penjelasan al Balakhi demikian mengesankan. Al Balakhi mengatakan bahwa, bahasa Arab sangat tinggi muatan sastranya. Rasulullah Saw senantiasa menghindarkan kata-kata celaan yang menyakitkan.
Al Balakhi mengatakan, bahwa makna “hitam” adalah salah satu istilah tersendiri, bukan makna hitam sesungguhnya. Hitam yang dimaksud adalah apa yang dibenci kaum lelaki dari wanita dalam hal bentuk dan rupa; menunjukan wanita yang tubuh dan auratnya tidak memenuhi selera. Ini dipakai Rasulullah Saw untuk mengangkat derajat & harkat wanita.
Al Balakhi melanjutkan, seorang perempuan yang cacat dan tidak cantik di mata orang lain, akan tampak menarik di mata anak-anaknya; bahkan lebih cantik dari ratu singgasana. Itulah penglihatan batin yang merasuk ke kedalaman makna. Jika menukik ke kedalaman jiwa, akan tampak kecantikan & keindahannya. Kehormatan perempuan terletak pada fitrah keibuannya. Meski perempuan itu jelek rupanya, jika ia memiliki fitrah keibuan maka ia jauh lebih cantik dari perempuan yang idnah raut wajahnya tetapi tidak menunjukkan fitrah sejatinya.
Hati dan akal harus diutamakan sebab mereka adalah dua pertiganya, bukan justru  sepertiga yang  harusdiutamakan.
Sembari menceritakan ulang ksiah perjalanan masa mudanya bertemu Al Balakhi, Muslim bin Umran menambahkan ayat,”…sekiranya engkau membenci sesuatu sedang di sana Allah SWT memberikan banyak kelebihan dan kebaikan padanya…           
Ibn Aiman melompat gembira.
“Ini adalah kata-kata malaikat yang kudengar dari lisanmu kawan, ya Umran!”
“Apalagi jika kau dengar sendiri dari Abdullah Al Balakhi,” jawab Muslim. “Dialah yang membuatku suka pada yang jelek, cacat dan hitam. Setelah perempuan soleha melihat diriku secara jujur, perempuan soleha menginginkan istri yang berinsan kamil, berakhlaq mulia. Perempuan soleha tak peduli apakah ia cantik, manis ataupun jelek dan buruk rupa. Jika kewanitaan yang dicari itu ada pada setiap wanita, tetapi untuk akal belum tentu ada pada setiap wanita.”
Maka kemudian, Muslim bin Umran meminang seorang gadis.
Siapa oraagntua si gadis, tidak terlalu disebut. Sebut saja namanya syaikh Ahmad. Syaikh Ahmad menolak puluhan pelamar, menjaga putrinya dengan ketat dan menerima Muslim bin Umran. Ketika malam pertama Muslim melihat sang perempuan, seketika teringatlah ucapan Al Balakhi.
Di hadapannya berdiri seorang yang jelek dan cacat. Tetapi gadis itu, dengan rendah hati memegang tangannya,
“Tuanku, perempuan solehalah rahasia yang dijaga ayahku demikian ketat. Ia menerimamu sebab percaya padamu. “
Gadis itu mengambil kotak perhiasan.
“Ini adalah hartperempuan soleha. Allah SWT menghalalkan Tuan mengambil istri lagi. Pakaialah harta ini jika Tuan mengiginkan kecantikan.”
Muslim bin Umran, demikian teringat akan nasehat Al Balakhi. Dengan lemah lembut ia berkata,
”Demi Allah, percayalah....kau akan kujadikan sebagian dari duniperempuan soleha, dari segi apa yang yang dibutuhka pria dari wanita. Perempuan soleha hanya akan menempatkan kau sebagai satu-satunya dalam hatiku. Kaulah wanita satu-satunya, akan akan menutup rapat matperempuan soleha untuk wanita lain dan tak akan berpaling.”
Gadis itu, ternyata seorang yang cerdas dan baik hati. Semakin lama terlihat segar dan menyenangkan. Perlahan menghilang kejelekannya, yang tampak hanyalah akal dan kecerdasannya. Ia menjadi istri kesayangan saudagar terkaya Bashra, Muslim bin Umran.
Para tamu di jamuan itu ternganga, terhenyak. tak menyangka seseorang seperti Muslim bin Umran memiliki istri yang jauh dari perkiraan mereka! Mereka merasa sangat malu di hadapan Muslim bin Umran yang memiliki keluhuran budi tak terduga
Ibn Aiman terharu.
Muslim memandangnya tersenyum,
”…lihatlah kedua anakku yang elok, Saudara perempuan soleha. Kurnia Allah, mukjizat keimanan.....”
*************                                              
You are
The real diamond among the strong stones
The real pearl in the dark sea
The shining star in night sky
You are ~Rose~
Among the beautiful flowers
All of my beloved muslimah sisters
Who still waiting for the real knight
*Adaptasi artikel Izinkan Perempuan soleha Meminangmu dari Sinta Yudisia Facebook

Kamis, 08 Maret 2012

Cerpen Media Aisyah 2 (Gadis Beraroma Kasturi)

Lihatlah gadis itu! Wajahnya kian tirus dimakan waktu. Menyelam dikesunyian diri menunggu mati. Entah apa dosa yang ia lakukan, hingga akhir usianya ia sendiri yang mengharap kematian untuk datang.
“Aku sakit melihatmu seperti ini. Jika saja kamu izinkan aku untuk…”
“Kita sudah membicarakan ini kemarin, aku tidak ingin membahasnya lagi. Tolong, Lia.”
Kau menatapku dengan mata kacamu, merendamkan amarahku yang kurasa kian liar menguasai hati ini. Aku tak pernah bisa merelakan hatimu terus teriris oleh mereka yang tak mengenal kasih. Mereka selalu mengganggapmu duri di kehidupan mereka, padahal kau adalah permata yang tak pernah mereka sadari. Tapi tak apa, suatu saat nanti aku yakin mereka akan menderu sesal, kecuali hati mereka memang telah mati. Dan kau, kau akan bahagia teman.
***
Pagi ini aku kembali ke ruanganmu. Kudapati kau tengah menyisir rambutmu. Di ruangan itu tiada siapa-siapa kecuali kau dan aku. Kau melirik kursi roda yang terletak di ujung pintu. Aku pun paham kau ingin berjalan-jalan ke luar. Segera kau kenakan jilbab dan kita mulai menyusur lorong-lorong bangunan ini menuju taman.
“Ada kabar apa hari ini, Lia?”
“Kamu tau, laki-laki sialan itu tak urung juga mendekam di tempat paling pantas untuknya. Ah, orang yang mempunyai kekuasaan itu nasibnya memang selalu mujur!” Geramku.
“Bukan tentang dia! Ibuku, Lia.”
“Beliau ada di rumahku. Aku menculiknya ketika kujumpai ia belanja di pasar.” Kau tersenyum padaku. Sepertinya kau senang mendengar kata-kata culik itu. Aku tak peduli orang-orang di rumahmu pusing tujuh keliling tanpa Ibumu. Kau tersenyum lagi. Ah, betapa senyummu menyegarkan hatiku.
“Kamu tahu, Lia, Allah teramat baik padaku karena menghadirkan kamu di hidupku. Lukaku selalu mampu untuk kamu balut dengan kehangatan persahabatan yang kau sajikan. Terimakasih, terimakasih, Lia.”
Jangan begitu. Jangan kau buat aku bak peri dalam dongeng, aku hanya sahabatmu. Apa yang kulakukan, karena memang aku sahabatmu. Jika kau menangis, aku juga. Jika kau bahagia, aku juga. Karena cinta kita atas cintaNya, bukan dunia.
***
            Suatu hari Ibumu bertanya padaku tentang keberadaanmu, aku hanya bisa berbohong atas janji kita.
            “Lia, apa Nia masih lama di Jakarta?”
            “Ehm, masih, Bu.”
            “Kenapa lama sekali? Memangnya seberapa banyak urusannya di sana?”
            “Anak Ibu itu kan orang yang pintar, ia begitu berdedikasi pada organisasinya, jadi pengembangan organisasi di Jakarta dia yang ambil alih. Ibu tenang saja ya.” Aku mencoba menenagkan Ibumu, padahal aku pun tak sanggup untuk berbohong. Walau sebenarnya aku tak berbohong sepenuhnya. Andai penyakitmu tak kambuh, mungkin saat ini kau memang benar berada di Jakarta.
            “Ya sudah, sekarang Lia pergi ke kampus dulu ya, Bu.”
            Aku keluar meninggalkannya, kulajukan mobil memasuki jalan raya yang penuh sesak mobil lain. Di persimpangan jalan, aku melihat seorang bocah penjual koran. Kau tahu, senyumku begitu mengembang melihat sampul depan koran yang ia jajakkan. Aku membeli satu koran itu, oh tidak! Ternyata tidak hanya satu koran itu saja yang memasang wajahnya, tetapi beberapa koran lainnya Nia.
            “Akhirnya, tamat sudah riwayatmu!” Ceracauku pada gambar yang ada di sampul depan koran.
            Mobilku semakin laju saja membelah jalan ini. Tak berapa lama aku sudah sampai di kampus. Kau tahu, semua mahasiswa telah memegang koran yang tadi kubeli. Mereka tengah sibuk membacanya. Di sudut lain, tepat di depan kantor laki-laki itu, sudah ada ratusan mahasiswa yang berdesak-desakan memaksa masuk. Ketua senat kita juga telah berkoar-koar dengan toanya, memaksa Dekan kita turun dari jabatannya. Tak lama kulihat tiga orang berseragam coklat datang dan memborgol tangannya. Kau tahu, dia meronta dalam ketidak berdayaannya. Aku ingin segera menemuimu untuk menceritakan peristiwa pagi ini, tapi hari ini aku akan ada kelas sampai sore. Kusimpan saja ceritaku sampai nanti kita bertemu.
***
            Aku tertawa-tawa menceritakan peristiwa tadi pagi, tapi kau malah sedikit pun tak tertawa. Kau malah asyik membaca koran yang kubeli.
            “Hentikan tawamu, Lia,”
            “Kenapa? Kau tak senang dia di penjarakan?”
            “Itu sudah sepantasnya dia di sana, hanya saja aku tak ingin kita terlalu senang atas ini. Kau tahu, bagaimana pun juga kesenangan ini kita rasakan, pasti ada pihak yang terluka dan sedih, keluarganya Lia. Mungkin kini anak dan istrinya sedang meraung meratapi kepergian suaminya untuk mendekam di jeruji besi. Dan kita tak layak senang di atas penderitaan orang lain.”
            Kau selalu saja begitu, tak ingin berlaku tak baik terhadap orang lain. Meskipun Dekan itu sudah mengeluarkanmu dari kampus gara-gara kau menulis tentang dirinya yang korupsi uang pembangunan fakultas dan menerima suap dari beberap orang tua mahasiswa. Kebaikanmu, terkadang membuatku merasa kau lebih dari seorang manusia.
            “O, ya, aku lupa memberimu ini. Pak Sofyan plt Dekan menitipkan surat ini kepadaku. Kamu diterima kembali di kampus.”
            “Alhamdulillah,” Kau tersenyum penuh bahagia lalu memelukku.
            Perlahan-lahan, aku mulai merasakan kebahagiaan menepi padamu. Memang sudah sepantasnya orang baik sepertimu bahagia.
            Uhuk..uhuk..
            Uhuk..uhuk..
            Kau terus batuk, dan telapak tanganmu penuh darah ketika kau lepaskan ia dari mulutmu. Aku segera memanggil dokter. Ketika aku beranjak keluar, kau menarik tanganku,
            “Lia, sudah saatnya Ibuku tahu. Tolong bawa ia ke sini.” Aku mengangguk.
***
            Setibanya di rumah, aku melihat Ibumu tengah tidur di kamarnya. Aku tak sanggup membangunkannya dan mengabarkan perihal keadaanmu. Oh,, mengapa harus aku yang menyampaikan berita buruk ini? Perlahan-lahan aku dekati Ibumu, aku bangunkan ia selembut mungkin, aku takut tanganku mengenai sekujur tubuhnya yang penuh memar akibat hantaman Ayahmu dan Ibu tirimu. Namun perlahan kulihat ia tersadar juga.
            “Ada apa, Lia?”
            “Kita ke rumah sakit sekarang yuk, Bu.” Aku tak tahu harus bagaimana memulainya.
            “Siapa yang sakit?”
            “Ehm, sebelumnya Lia mau minta maaf sama Ibu karena Lia sudah berbohong.”
            “Bohong apa?”
            “Nia tidak ada di Jakarta, tapi dia berada di rumah sakit. Nia didiagnosa kena kanker, Bu,”
            Ibumu hanya mampu menyebut nama Allah seraya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
            “Nia tidak ingin membebankan Ibu atas penyakitnya, jadi dia merahasiakan ini. Tidak ada orang lain yang tahu kecuali saya. Maaf kan saya, Bu. Tapi sekarang Nia meminta saya untuk memberitahu Ibu dan mengajak Ibu untuk menemuinya.”
            “Ayo, Nak, Ayo sekarang kita ke sana!”
***
            Saat aku kembali ke rumah sakit dengan membawa serta Ibumu, kau sudah terbaring lemas di tempat tidur. Dokter mengisyaratkan harapanmu yang semakin tipis dengan menggelengkan berulang-ulang kepalanya ke arahku. Benarkah takdirmu akan berhenti Nia?
            “Nia ini Ibu, bagian mana yang sakit, Nak?” Aku lihat ibumu berusaha menegarkan dirinya meskipun air matanya bercucuran.
            “Ibu, maafkan Nia yang menyembunyikan ini semua dari Ibu. Nia sangat sayang pada Ibu.” Kau pun berusaha tersenyum, sementara malaikat Izrail mungkin tengah mengitarimu.
            “Ibu, apapun yang terjadi pada Nia, Ibu harus mengikhlaskannya, Nia bahagia, Bu. Nia juga ingin agar Ibu tidak lagi tinggal di rumah Ayah, tak ada lagi cinta yang bisa dipertahankan di sana, Bu. Jika sewaktu-waktu terjadi sesuatu pada Nia, Nia sudah minta tolong pada Lia untuk mengizinkan Ibu tinggal di rumahnya. Ibu pahamkan maksud Nia?”
            Tak ada lagi kata yang keluar dari bibir Ibumu, yang ada hanya isak tangisnya yang tak berhenti, sampai lafaz syahadat kau ucapkan. Ia terus terpakur di sampingmu Nia. Aku sendiri tak kuat melepas kepergianmu. Mengapa orang baik, selalu cepat perginya?
            Mayatmu pun di bawa ke rumahku, dimandikan, dikafani dan disholati. Kau tahu, tak ada seorang pun dari keluarga Ayahmu yang datang untuk melayatmu, aku rasa kau pun tak mengharap ke datangan mereka.
            Di perjalanan menuju tempat peristirahatan terakhirmu, ada aroma kasturi yang begitu harum menyinggahi ujung hidung kami. Semua mencari asal aroma itu, namun tak perlu berlama-lama menyadarinya, karena itu keluar dari tubuhmu, di mana sang pemiliknya adalah orang yang sangat mulia akan lakunya di dunia. Selamat jalan sahabatku, kebahagiaan hakiki akan segera menyambutmu.

                                                                                                Medan, 5 September 2011