Kutemui dan Kunikahi Engkau di Masjid
(Masjid, ich bin verliebt)
Siang itu, cuaca tidak terlalu baik.
Musim dingin di Berlin mencapai -0,5̊ C. Jalanan kota tampak lengang, bisa di
tebak separuh penduduk kota ini sedang berada di depan perapian masing-masing,
menghangatkan diri. Aku tiba di Masjid Umar Bin Khatabb jam dua belas. Masih
ada waktu kosong dua jam sebelum jadwal mengajar Al-Quranku di Masjid ini.
Untung saja masjid ini memiliki restoran ditingkat atas, sehingga aku tidak
perlu keluar lagi untuk mencari makan siang.
Masjid yang di resmikan pada 21 Mei
2010 ini terdiri dari tujuh lantai. Dua lantai untuk tempat sholat dengan daya
tampung seribu jamaah. Di setiap lantainya, terdapat fasilitas umum seperti
kantor jasa perjalanan, sekolah Alquran dan Bahasa Arab bagi anak-anak, toko
buku, cafe, restoran, jasa pelayanan kematian bagi umat muslim, hingga toko
daging halal pun ada.
“Assalamu’alaikum, Mas Faris,”
“Wa’alaikum salam. Hafiz? Lama tidak
bertemu. Kamu di German juga? Habis dari mana?”
“Habis dari toko buku, Mas. Senang
sekali bisa bertemu dengan Mas Faris di sini. Bertemu dengan saudara setanah
air itu ibarat bertemu telaga surga. Sejuk.” Ia sumringah sekali.
“Sudah lama di German, Fiz? Study di sini?”
“Lah, mas ini tinggal di German kok
bahasanya Inggris? Ia mas, baru tahun kedua. Kedokteran. Do’a kan ya biar
lancar.”
“Udah tahun kedua kok ketemunya baru
sekarang ya?”
“Kalau itu, jawabannya bisa ada
beberapa kemungkinan mas. Kalau ndak saya atau mas yang sibuk, berarti memang
baru ini takdirnya untuk ketemu. Hehehe..”
“Kamu kenapa nggak ngabarin mas? O
ya, kamu sudah pesan makanan? ayo pesan, biar mas yang traktir. Biasanya kan
kantong anak kuliahan terbatas bulanan.” Candaku.
“Ah, sampean ini mas. Pengertiannya menusuk hati sekali. Hehe..”
Benar yang Hafiz katakan, bertemu
saudara sendiri seperti menemui telaga surga. Sejuk. Dinginnya cuaca pun
berganti hangat tawa. Hafiz, adik sepupuku dari Malang Surabaya ini bercerita
banyak tentang pengalaman tahun pertamanya di kampus dan tinggal di German.
Setelah sholat zuhur, aku pun mengajak Hafiz turut serta bersamaku mengajar
anak-anak mengaji Al-Qur’an. Dua jam berlalu. Setelah sholat ashar berjamaah, murid-muridku
pun pamit pulang. Aku senang dengan semangat mereka belajar mengaji. Meskipun
cuaca dingin, mereka tetap hadir untuk mempelajari kalam Qur’an. Aku pun
berjanji mengajak mereka liburan setelah musim dingin berlalu, sebagai reward atas semangat mereka.
“Kalau begitu, saya pamit pulang ke
asrama ya, Mas.”
“Kalau kamu mau, kamu bisa tinggal
sama mas. Mas kan tinggal sendiri di sini.”
“Makanya Mas Faris harus menikah
biar tidak tinggal sendiri lagi. Sudah 25 tahun kan? Ganteng, soleh, mapan
pula. Tunggu apa lagi?”
“Tunggu jodohnya, hehe..”
***
Turun
ke lantai satu ruang sholat, aku dan Hafiz berpapasan dengan Sarah yang tengah
memeluk seorang wanita. Wanita itu menangis sesengkuan di bahunya.
“Ru..qaya?”
Panggil Hafiz sedikit ragu. Wanita yang berada dalam pelukan Sarah berpaling
melihat ke arah Hafiz.
“Kamu
kenapa menangis?”
Wanita
yang bernama Ruqaya itu menghapus air mata dengan jemarinya. Ia tersenyum ke
arah Hafiz dan aku, “Insya Allah, Alles Gute.”
“Katakanlah,
bukankah kita teman?”
Sarah
mengajak kami untuk berbincang di kafe. Di sana Ruqaya menceritakan sebab
tangisannya kepadaku dan Hafiz. Ruqaya yang bernama asli Natalia Anne Muller,
berasal dari keluarga nasrani yang taat. Setengah tahun yang lalu ia menjadi
mualaf di Masjid Umar Bin Khatabb karena tersentuh oleh bacaan Al-Qur’an seorang
pemuda yang ia dengar. Padahal saat itu, ia datang ke Masjid Umar hanya untuk
melihat interior dan kemegahan masjid baru ini.
Setelah
itu, ia pun kerap datang ke masjid ini, dan disitulah ia berjumpa dengan Sarah.
Karena sering mengobrol dan bertanya ini itu tentang islam, mereka pun akhirnya
menjadi teman akrab. Sarah yang tiga tahun lebih tua dari Ruqaya, sudah
menganggap Ruqaya seperti adiknya sendiri. Lima bulan perjalanannya sebagai
mualaf, Ruqaya sudah hafal juz amma. Ia dibantu Ustadzah Yasmin, salah satu
staf konsultasi masjid Umar. Namun di tengah proses belajarnya sebagai muslim, sebulan yang lalu rahasia
kemuslimannya pun diketahui oleh keluarganya.
Ketika
itu, Ruqaya sedang sholat maghrib di kamarnya. Di tengah sholat, ayahnya
memanggil dan mengetuk pintu kamar. Karena Ruqaya tidak menjawab, ayahnya pun
membuka pintu kamarnya.
“Natalia!”
Teriak ayahnya, murka. Namun Ruqaya tak menjawab, ia tetap tenang dalam
tasyahud akhirnya. Ia tak merespon teriakan ayahnya sampai sholatnya selesai.
“Sudah
kuduga ada yang lain dari dirimu. Mengapa tadi kau tak ikut makanan siang
bersama. Beberapa minggu yang lalu temanku juga menelepon mengatakan bahwa ia
melihatmu memasuki Masjid. Aku pikir ia hanya salah orang, tetapi sekarang aku
melihat dengan mata kepalaku sendiri! Kamu akan mendapatkan hukuman atas ini,
Nat! Ayo ikut Ayah!”
“Ayah,
setiap orang bebas memeluk agama yang ia yakini kebenarannya.”
“Mungkin
untuk orang lain bisa, tapi kau anakku! aku yang mengatur hidupmu!”
Saat
itu juga, ayahnya memukuli, menarik paksa dan menyeret Ruqaya ke gudang. Ia
dibiarkan tinggal di sana. Bahkan, tak ada yang memberinya makan malam.
Keadaannya cukup lemas karena saat berbuka puasa sunah tadi, ia hanya meminum
seteguk teh. Di hari ketiga, ibunya diam-diam memberinya selimut, beberapa
potong roti dan segelas susu. Ia tidak tega melihat Ruqaya tidur di lantai
tanpa beralas apapun di musim dingin ini. Ruqaya merasa lega, karena ibunya
tidak membenci dirinya atas pilihan hidup yang ia ambil.
“Bila
menurutmu ini yang terbaik untuk kau jalani, maka laluilah dengan keimananmu,
Nak. Semoga Tuhan menjagamu.”
Hari
berikutnya, ayahnya memperlakukan Ruqaya seperti budak. Ia disuruh kerja ini
itu, tanpa memberinya waktu istirahat dan makan yang cukup. Melihat keadaan
Ruqaya yang semakin mengenaskan, tadi malam ibunya menyuruh Ruqaya untuk pergi
dari rumah. Ia tidak ingin Ruqaya diperlakukan terus-terusan seperti itu. Kalau
Ayahnya nekat, bisa saja sewaktu – waktu ia menjual Ruqaya. Aku dan Hafiz terdiam
mendengar penuturannya. Aku pandang Ruqaya sekilas, ada memar di pelipisnya.
Hafiz, tiba-tiba menarikku sedikit menjauh dari Sarah dan Ruqaya.
“Ada
apa, Fiz?”
“Mas,
saya pikir kamu sudah menemukan jodohmu,”
“Maksudmu
Ruqaya?”
“Mas,
saya berani menjamin bahwa ia wanita yang baik, bahkan jauh sebelum ia menjadi
mualaf. Apalagi setelah sedemikiannya cobaan yang dia hadapi demi hijrahnya.”
Aku
tersenyum, “Tidak usah khawatir, sebelum kamu minta, tadi juga sudah terlintas
dipikiran mas. Bagaimanapun juga, menyelamatkan jiwa seorang muslim itu wajib.”
“Alhamdulillah,
saya memang tidak salah mengagumi orang.”
Aku
dan Hafiz kembali ke meja kami. Dengan Bismillah kuutarakan niatku, “Saya tidak
tahu, apa hal yang saya sampaikan ini cukup membantu atau tidak, tetapi bila
diizinkan, saya bermaksud menawarkan diri saya untuk menikahimu, Ruqaya.”
Sarah
tampak kaget, namun sedetik kemudian tersenyum, Hafiz tampak bersemangat
sekali, dan Ruqaya malah menangis memeluk Sarah. Apa ia tidak suka?
“Kalau
kamu tidak setuju juga tidak apa, tapi kumohon jangan menangis,” Ucapku merasa
bersalah.
“Ia
terharu. Ini tangis bahagia, bukan bersedih Faris.” Jelas Sarah. Aku hanya ber
‘O’ saja sementara Hafiz menertawaiku. Alhamdulillah.
Saat
itu juga aku mengabari staf Masjid Umar bin Khatabb untuk proses akad besok.
Ruqaya ingin menikah di masjid ini. Karena aku juga mengajar di masjid ini,
jadi banyak pihak yang turut membantu dengan suka rela pernikahan kami.
***
“Wah,
cakep sekali sampean, Mas. Makin
keluar nih aura kebahagiaan calon pengantin.” Goda Hafiz saat melihatku keluar
kamar dengan pakaian pengantin.
“Dari
dulu mas memang sudah cakep. Hehehe..” Karena kejadian semalam, Hafiz tidak
jadi pulang ke asrama. Ia menginap di rumahku untuk membantu proses acara hari
ini. Ruqaya sendiri menginap di apartemen Sarah. Jam sembilan kami tiba di
masjid dan langsung proses akad dilaksanakan.
“Saya
terima nikah dan kawinnya Ruqaya binti Jhon Muller dengan mas kawin seperangkat
alat sholat, sebuah Al-Quran, dan uang sebesar 15.000 Euro dibayar tunai.”
“Sah?
Barakallahulaka..,”
***
“Mas,
kita ngaji bareng yuk?” Ajakmu setelah kita sholat subuh bersama. Aku tersenyum
mendengarnya. Istriku tercinta langsung mengambil dua Al-Quran yang terletak di
atas meja kerjaku.
“Mas
yang baca terlebih dahulu, setelah itu baru saya.”
Aku
memulai dengan ta'awudz
dan basmalah. Kubaca surah Ar-Rahman. Hingga pada kalimat, “Maka nikmat Tuhanmu
yang mana lagi yang kau dustakan” Ruqaya menangis. Terus menangis sesengkuan.
Aku
memberhentikan bacaanku, “Kamu tidak apa-apa Dinda?”
“Saya
merasa bersyukur sekali dengan nikmat yang Allah berikan. Kamu tahu mas, kamu
adalah jembatan cahaya dari cahaya yang kudapatkan.”
“Maksud
Dinda?
“Kamu
tahu kan saya mendapat hidayah untuk memeluk islam karena mendengar bacaan
Al-Quran di masjid Umar? dan orang yang membaca Al-Quran itu adalah kamu mas. Dan
saya tidak menyangka karena pada akhirnya kamu juga yang menyelamatkan hidup
saya dari keterasingan keluarga sendiri. Kamu memuliakan saya dengan menjadikan
saya pendamping hidupmu. Maka nikmat Allah yang mana lagi yang saya dustakan?
Allah sangat menyayangi saya.” Ucapnya masih dengan tangis sesengkuan.
“Allah
menyayangi kita, Dinda. Mas juga sangat bersyukur memiliki istri soleha seperti
Dinda yang terus giat mempelajari islam. Menyukai semua hal tentang islam.
Begitu sami’na wa atho’na terhadap seruan Allah. Kamu yang mas pinta untuk menjadi
bidadari surga mas kelak.” Aku mencium dahinya. Ia tenang, diam dalam pelukku.