Sejak
Kuyakini Ketakwaanmu
“Assalamu’alaikum,?”
“Wa’alaikumsalam
warohmatullah…”
“Kenapa
kelihatan tak bersemangat, Kan? Sedang ada masalah ya?”
Pemuda
itu terdiam. Ia menundukkan pandangannya. “Aku ingin menikah.” Ucapnya.
“Alhamdulillah…
memang sudah saatnya kamu menikah. Sudah punya calonnya?” Tanya sahabatnya itu
dengan penuh kebahagiaan.
Mendengar
pertanyaan sahabatnya, pemuda itu terdiam. Wajahnya yang tadi tertunduk, kini
semakin dalam tertunduk. Lebih dari itu, tubuhnya berguncang. Senarai isak
tangis mulai terdengar, disambut derai air mata yang tercurah.
“Mengapa
antum menangis?” Tanya sahabatnya yang terlihat bingung. Pemuda itu tak
menjawab.
“Jika
pertanyaan ku membuatmu sedih, maafkanlah,”
“Bukan
pertanyaan antum yang membuat kumenangis, tapi aku sendiri yang membuat keadaan
ku seperti ini. Aku telah menghadirkan dua orang muslimah dalam hati ini. Tak
ada maksud untuk membuat hati ini hitam. Hanya apa yang kurasakan ini, terjadi
tanpa kupinta. Kesalahannya, mungkin karena aku telah membuka celah dimana terjadi
interaksi yang membuatku menjadi terperdaya pada pesona keduanya.”
“Kalau
begitu, kamu ambillah keduanya untuk menjadi istri…”
“Aku
tak sanggup jika harus mempoligami bidadariku. Sekalipun aku tahu kebolehan
berpoligami.”
“Jika
tak sanggup, pilihlah yang terbaik dari keduanya.”
“Aku
tak mampu memilih satu dari keduanya, Fiz.”
“Kalau
begitu, aku pun berlepas dari kataku. Tunggulah takdir Allah untukmu. Semoga
yang terbaik dari yang terbaik menjadi bidadarimu.”
***
Assalamu’alaikum, Akh… saya ingin
menyampaikan bahwa teman-teman merasa senang dengan ceramah yang akhi sampaikan
mengenai pernikahan. Alhamdulillah, banyak dari mereka yang kini sedang
berproses untuk menyegerakannya. Bahkan saya sudah mendapat dua undangan.
Semoga akhi juga segera mendapat yang terbaik…
-Nayla-
***
“Abang,
tidak datang seminar di Aula kampus? Yang Ilham dengar, salah satu pembicaranya
adalah Aulia.”
“Haruskah
abang datang?”
“Ya
tak adalah hak Ilham untuk mengharuskan. Ilham hanya membaca hati yang terlihat,
Bang.”
“Membaca
atau menerka?”
“Mana
abang suka lah!” Ucap adiknya agak kesal seraya berlalu.
Hari
ini, ia sebenarnya mendapat undangan khusus untuk datang ke acara seminar itu
dari panitia penyelenggara. Hanya saja, ia ingin mencoba menenangkan hatinya
dengan menjauhi kesempatan yang mungkin akan membuat hatinya semakin berat
untuk mampu memilih.
***
“Arkan,
aku datang kepadamu pagi ini dalam urusan yang mulia.”
“Apa
gerangan urusan itu, Fiz?”
“Mungkin,
ini jawaban dari takdirmu yang beberapa minggu lalu kita perbincangkan. Aku
datang mewakili orang tua dari seorang wanita yang soliha untuk memintamu
berta’aruf. Bacalah proposalnya. Lalu berilah keputusanmu besok.”
Sepulang
dari kedatangan sahabatnya itu, ia hanya mampu meletakkan proposal itu di meja
kamarnya. Pagi ini, ia ingin menjalankan aktivitas tanpa memikirkan urusan yang
belakangan ini mengusiknya.
Sesampainya
di masjid kampus, ia tak sengaja bertemu dengan Aulia kala menunaikan shalat Dhuha.
Ia melihat Aulia tersenyum ke arahnya. Lalu berlalu bersama teman-temannya.
“Mungkinkah
ia? Astaghfirullah…”
***
Selepas
tahajud, Arkan teringat dengan proposal yang diberikan sahabatnya tadi pagi.
Tangannya bergetar memegang lembaran-lembaran itu. Sekuat tenaga, ia mencoba
membuka lembaran pertama. Namun sedetik kemudian, ia mengurungkan niatnya. Ia
letakkan kembali proposal itu di atas meja. Namun ada selembar foto yang
terjatuh di lantai. Ia memungut foto itu, dan yang terlihat di matanya adalah seorang
wanita berbalut jilbab putih yang begitu anggun dengan senyum khas yang ia
kenali. Senyum itu, kepunyaan Aulia…
“Allah,
apakah ini takdirku?...” Arkan menyungkurkan diri dalam sujud malam yang
tengah.
***
Arkan
datang menemui sahabatnya Hafiz, untuk memenuhi janji keputusan atas kedatangan
sahabatnya itu kemarin.
“Baiknya
sekarang kita langsung ke rumahnya untuk menyegerakan ta’arufmu.”
Mereka
pun menuju rumah Aulia. Ketika sampai di sana, mereka disambut dengan hangat
oleh orang tua Aulia.
“Mengapa
Nak Arkan tidak datang beserta orang tua?”
“Sebelumnya
saya minta maaf, Pak. Bagi saya sendiri, ta’aruf pertama ini ada beberapa hal
yang ingin saya tanyakan sebelum saya memutuskan untuk melanjutkan ke taraf
pernikahan. Jika saya merasakan kemantapan hati, baru saya akan datang kembali
beserta keluarga untuk segera melamar.”
“Baiklah
jika begitu pertimbangan, Nak Arkan.”
Aulia
pun dihadirkan. Wanita itu hadir bagaikan cermin dari foto diri yang tengah
malam tadi Arkan lihat.
“Silahkan
bertanyalah, Nak…”
“Assalamu’alaikum
Aulia… bolehkah kuketahui sebab hingga sampainya proposalmu padaku?”
“Wa’alaikumsalam
mas…, jika hal itu yang kamu tanyakan, maka aku akan menyanjung seorang wanita
soliha yang kudapati kebijaksanaannya. Aku mengadu mengenai hatiku. Lalu ia berkata,
menikahlah! Lalu aku bertanya pada siapa? Pada seorang pemuda yang kau yakini
dirinya mampu menjadi pendampingmu dunia akhirat, dan yang saling solih
mensolihkan, ujarnya. Aku tak tahu siapa! Tapi aku teringat sosokmu saat
menyampaikan ceramah mengenai pernikahan. Lalu aku memutuskan untuk memilih
berta’aruf denganmu.”
“Boleh
aku tahu wanita itu?”
“Ia
orang yang mengundangku untuk menghadiri ceramahmu untuk pertama kalinya saat
kita belum berkenalan. Ia orang yang kau kenal. Wanita itu adalah Nayla.”
Arkan
tertunduk mendengar nama Nayla yang tersebut oleh Aulia. Lalu ia mencoba untuk
bertanya kembali, “Apa Nayla tahu akan ta’aruf ini?”
“Ya,
bahkan air matanya sesaat berlinang ketika aku mengatakan bahwa aku ingin
berta’aruf denganmu. Ia katakan ia bahagia atas pilihanku. Ia juga yang
membantu mengantarkan proposalku kepada Hafiz, untuk disampaikan kepadamu.”
“Terimakasih
atas keteranganmu. Aku senang mendengarnya. Aku juga mendapatimu sebagai wanita
yang baik. Namun bolehkah aku meminta sesuatu hal kepadamu?”
“Silahkan…”
“Aku
tak dapat memberikan keputusan saat ini, besok pukul 10.00 datanglah ke masjid
kampus beserta orang tuamu, undanglah juga Nayla untuk datang. Insya allah
besok akan kuputuskan apakah ta’aruf ini dilanjutkan atau tidak.”
“Baiklah…”
“Apakah
Bapak dan Ibu mengizinkan permintaan saya?”
“Kami
tak keberatan jika Nak Arkan maunya begitu.”
***
Malamnya
Arkan memulai istikharah. Rasa bingung coba ia tepis dengan menguatkan azamnya.
Setelah istikharah, ia terus melanjutkan tahajud dan melebur diri dalam
do’a-do’a yang panjang dan khusyuk.
“…. Ya Allah, diantara tanda-tanda kekuasaanMu, telah Engkau ciptakan
bagi kami isteri-isteri dari jenis kami sendiri, supaya kami cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan
Engkau jadikan di antara kami rasa kasih dan sayang. Aku percayakan urusanku
ini kepadaMu Rabb, karena Engkaulah hakikatnya yang paling mengetahui mana yang
terbaik bagiku. Aku tak ingin melukai hati siapapun, jikalau memang diriku tak
pantas untuk bersanding dengan salah satu hambaMu yang soliha itu, aku ikhlas
Rabb. Karena mereka adalah sebaik-baik perhiasan dunia. Berikanlah petunjukMu
Rabb….”
***
Masjid
kampus pagi ini masih tampak lengang. Hanya ada beberapa orang yang tengah
shalat Dhuha. Arkan duduk bersama Hafiz. Lima menit berselang, datanglah Aulia
beserta orang tuanya. Kini mereka hanya tinggal menunggu Nayla.
“Nayla
minta maaf, ia tidak bias datang. Ia ada rapat di kantornya pagi ini.” Terang
Aulia setelah menelpon sahabatnya yang tak kunjung datang itu.
“Bagaimana
Nak Arkan?”
“Baiklah,
dengan mengucap Basmalah saya putuskan ..….”
***
“Kenapa
kamu nggak datang, Nay? Kamu merasa ndak
siap?”
“Sesungguhnya
ada satu hal yang membuat para nabi dapat bergembira ketika menerima
penderitaan, Mbak. Yaitu, mereka telah memutuskan berlari menuju Allah. Mereka
terus-menerus percaya dan meyakini bahwa Allah sangat-sangat adil dan
penyayang. Jika ada satu dua penderitaan, itu hanya jalan menuju kebahagiaan. Lalu
kenapa saya harus merasa ndak siap
jika saya akan menuju kebahagiaan, Mbak? Dan saya tak berhak untuk menghalau
kebahagiaan orang lain, apalagi sahabat saya. Lagian, rapat ini kan juga
penting untuk saya hadiri.”
“Kamu
memang layak bahagia, Nay...”
“Setiap
orang berhak bahagia, Mbak…”
***
“Nay,
jangan lupa ya datang ke pernikahanku besok. Untuk walimahannya akan diadakan
pekan depan, Nay.”
“Alhamdulillah,
ana turut senang. Insya Allah ana akan datang.”
***
Hari ini kediaman Aulia penuh berkah
dengan hari istimewanya. Wajahnya bersinar penuh kebahagiaan.
“Nay, kamu dampingi aku ya?” Pinta
Aulia pada Nayla.
Pihak pengantin wanita berada di
lantai atas. Ijab Kabul dilakukan di lantai bawah. Suara ijab kabul itu begitu
terdengar tegas dan khidmat. Namun Nayla merasa bahwa suara itu bukan suara
Arkan. Ia mencoba melihat ke arah pengantin pria, dan yang ada di sana adalah
Hafiz. Apa yang terjadi? Tanya benaknya.
“Iya, Nay. Aku menikah dengan Hafiz,
bukan Arkan! Aku sudah menikah. Aku ingin, kau juga menikah.” Nayla memeluk
sahabatnya itu. Dari sudut-sudut mata bening mereka menetes tangis bahagia.
***
Sebulan berlalu. Pada suatu pagi
yang cerah, Nayla kedatangan tamu istimewa.
“Kedatangan saya ke sini, tak lain
adalah untuk melamar anak bapak menjadi bidadari saya.”
“Subhanallah, sebuah niat yang baik.
Namun sesenang apapun kami orang tuanya, keputusan tetap ada pada Nayla.”
“Tak ada alasan bagiku untuk menolak
lamaran dari seorang lelaki yang solih. Maka dengan mengucap
Bismillahirrahmannirrahim aku menerima lamaranmu.” Ucapnya dengan wajah yang
tertunduk.
“Alhamdulillah…” Senyum tertebar
pada setiap yang hadir dalam lamaran itu.
***
Lusanya, walimatul ursy diadakan.
Setelah walimahan usai, Nayla bertanya suatu hal pada suaminya, “Suamiku,
sebenarnya ada yang ingin kutanyakan kepadamu. Bukan aku ingin mengungkit masa
lalu, namun aku hanya ingin mengobati rasa penasaranku. Sebenarnya, apa yang
terjadi di masjid kampus dalam ta’aruf kedua itu?”
Dengan menatap istrinya lembut,
Arkan berkata, “Yang terjadi adalah takdir Allah. Dengan mengucap
basmalah kala itu, kuputuskan untuk menolak melanjutkan ta’aruf ke arah
pernikahan. Ketidak hadiranmu yang membuatku harus memutuskan hal demikian.
Karena sebenarnya, kamulah wanita pertama yang membuatku merasakan cinta. Hafiz
lalu maju setelah penolakanku. Ia melamar Aulia menjadi bidadarinya. Dan apa yang
terjadi selanjutnya, tentu telah kamu ketahui istriku…”
“Maha
suci Allah yang mengikat hati kedua insan yang mencinta karenaNya. Aku pun
mencintaimu sejak kuyakini ketakwaanmu…” Ucap Nayla sembari mencium tangan
suaminya.
***
Seleret,
2013