Senin, 17 Juni 2013

Puisi Pilar Aisyah di Dakwatuna "Kesatria 2020"


Kesatria 2020
Apa makna dari zaman milenia?
Jika yang kau dapat hanya kehedonisan semata.
Dimana ia prajurit Khandaq?
yang siap menahan lilitan lapar demi terbit sang fajar.
Di negeriku, pemuda-pemudi diarak.
Disuguhi teori-teori purbakala penipu dunia.
Mengagungkan logika di atas ketauhidannya.
Menampar empati dan simpati untuk eksistensi diri tak berarti.
Tidakkah kau cemburu pada serdadu badar?
Tidak mampukah kau petik arti perang uhud?
Tidakkah kau malu pada pemuda sejati bernama Muhammad?
Yang masih menyebutmu meski ruh telah sampai di kerongkongan.
Nun, jikalah cermin masih kau punya,
Tentu retak diri yang kau dapat.
Negeri tentu rindu sosok Al-Fatih.
Tak pelak, bersabarlah negeriku,
Aku yakin masih ada jiwa yang tak membatu.
Aku masih mendengar nurani berseru!
Meski parau terindikasi di telingaku,
Pemuda kesatria menakbirkan Indonesia emas 2020…
Riska H Akmal

Cerpen ke-2 Pilar Aisyah di Dakwatuna "Surat Cinta Dari Tuhan Yang Kau Ikatkan"


Surat Cinta Dari Tuhan Yang Kau Ikatkan
Aku duduk di sofa ruang tamu rumahku. Sedikit-sedikit aku mencoba membenarkan letak jilbabku, merapikan gamis yang kukenakan dan beberapa menit berikutnya pergi ke arah dapur untuk menemui Bunda yang tengah mempersiapkan jamuan makan malam bersama adik dan kakak iparku.
“Tenanglah, apa yang Ananda risaukan, Nak?” Aku tak bisa menjawab pertanyaan Bunda, karena aku sendiri sebenarnya tak tahu apa yang aku cemaskan. “Kembalilah ke ruang tengah. Temani Ayah dan Mas mu. Sebentar lagi, mungkin mereka akan datang.” Aku menuruti perkataan Bunda. Ayah tampak tenang dengan buku bacaannya, dan Mas Adit menyibukkan diri di depan laptop, untuk menyelesaikan pekerjaan kantornya. Aku duduk di samping Ayah. Bersandar di bahunya.
“Tak ada sesuatu yang perlu dicemaskan.” Ayah mengalihkan perhatiannya padaku. Ia mengelus-elus kepalaku dengan lembut.
“Ayah, apakah Ananda sudah pantas menjalani ini semua? Jujur, Ananda sedikit merasa tak pantas.”
“Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi pada diri kita setiap harinya. Semenit ke depan, kita pun tak kan mampu menebak apa yang akan terjadi. Kita hanya mencoba untuk berbuat sebaik mungkin setiap harinya dalam hidup, dan atas kebaikan-kebaikan itu, kita harus percaya bahwa Allah akan menyelipkan kejutan-kejutan kebahagiaan untuk kita, bahkan untuk hal yang kita anggap mustahil sekalipun, Nak.” Kini Ayah menutup bukunya, ia memandang wajahku dengan lekat, membetulkan sedikit letak kacamatanya, dan kembali melanjutkan kata-katanya.
“Jadi, tak ada yang tak pantas jika Allah telah menghendakinya Anakku. Jika keraguan masih menyelimutimu, tanyakanlah padanya. Bukankah ia yang mengajukan diri?” Ayah benar. Aku masih bisa menanyakan banyak hal sebelum membuat suatu keputusan besar dalam hidupku.
***
Pukul 20.05 WIB, deru suara mobil terdengar memasuki pekarangan rumah. Ayah, Bunda, dan Masku berjalan keluar untuk menyambut tamu yang datang. Aku masuk ke kamar ditemani adik dan kakak iparku. Beberapa menit berselang, samar-samar kudengar percakapan mereka yang kini telah berkumpul di ruang tamu.
“Kedatangan kami ke sini, tentu sudah Anda ketahui maksud dan tujuannya. Saya mewakili anak saya, ingin menyampaikan maksud hatinya yang ingin menyempurnakan separuh agama dengan mempersunting anak Anda.”
“Ini semua memang berkah untuk keluarga kami, keluarga biasa yang mungkin sebelumnya tak pernah membayangkan akan menjamu tamu dari keraton. Namun apa pun itu namanya, saya tetap yakin hanya taqwa yang menjadi pembeda kita di hadapan Tuhan. Untuk urusan hati ini pun, saya tak ingin mengambil keputusan secara sepihak. Saya bebaskan putriku untuk menentukan apa yang terbaik bagi hidupnya.”
“Tentu saja. Saya sangat setuju dengan pemikiran Anda. Langsung saja kita pertemukan keduanya, dan memutuskan yang terbaik diantara keduanya.”
Bunda masuk ke kamarku. Menuntunku keluar menuju ruang tamu yang telah berubah menjadi ruang musyawarah. Adik dan kakak iparku tetap mengiringiku.
“Nah, kini orang yang ingin mempersuntingmu dan keluarganya telah hadir di rumah kita, Nak. Sampaikanlah apa yang ingin Ananda sampaikan. Kami tak akan memperdebatkan.”
“Saya hanyalah orang yang biasa, saya mengenalmu sebagai orang yang dihormati dikalangan masyarakat. Saya mungkin tahu tentangmu, namun apakah kamu benar-benar telah mengenal baik saya?” Aku mulai bertanya. Wajahku tertunduk tak mampu mengangkatnya untuk melihat orang-orang di sekelilingku.
“Saya memang tak mengenalmu dengan waktu yang lama. Bahkan, saya bisa menyatakan bahwa saya tak lebih dari lima kali bertemu denganmu. Namun, pada setiap kesempatan di mana saya bertemu denganmu, saya mencoba mengenalmu dengan baik. Dalam waktu yang singakat itu pula, saya kenali dirimu sebagai seorang perempuan yang sederhana, penyuka kegiatan sosial, periang, kecerdasanmu mampu membawamu meraih beasiswa keluar negeri, namun yang terpenting dari semua itu, saya menilai dirimu sebagai seseorang yang menjalankan agamamu dengan baik,”
“Dan apa yang tak terlihat langsung oleh saya tentangmu, sudah saya ketahui dari orang-orang terdekatmu. Termasuk sifat manjamu terhadap Ayah Bundamu.”
“Lalu apa yang kamu harapkan dengan menikahi saya? Apa yang membuatmu mengajukan diri untuk menjadi imam di kehidupan saya? Dan saya ingin memberitahukan bahwa didiri saya, terbesit rasa ketidakpantasan untuk mendampingimu.” Tanyaku lagi dalam keadaan wajah yang masih tertunduk.
“Saya tak memandangmu sebagai orang yang tak sebanding dengan saya. Apa yang tak pantas di pandangan manusia, belum tentu tak pantas di hadapan Illahi. Apa yang saya nilai darimu adalah sesuatu yang saya lihat dengan hati, bukan dari apa yang ada di luarnya. Yang saya harapkan dengan menikahimu adalah meraih ridhonya Allah,”
“Saya memilihmu atas agamamu. Atas kecintaanmu pada Rabbmu dan kekasihNya, dan saya ingin mendapat perhiasan dunia akhirat dengan menikahi wanita solihah. Lalu di mana letak ketidakpantasanmu jika yang saya lihat adalah seorang wanita dari segi agamanya?” Aku tak tahu bagaimana mimik wajahmu ketika menguraikan semua kata-kata itu. Namun yang harus kuakui, ada getaran kecil yang terjadi di sukmaku.
“Sekiranya saya menerima lamaranmu, apa yang dapat kamu berikan kepada saya sebagai mahar dipernikahan nanti?”
“Sebenarnya, saya adalah orang yang tak punya apa-apa. Kebanyakan apa yang saya miliki adalah warisan turun temurun dari keluarga keraton. Saya tidak ingin memberikanmu mahar dari sesuatu yang tidak saya perjuangkan untuk mendapatkannya. Maka jika kamu ikhlas, saya hanya mampu memberimu surat cinta dari Tuhan. Saya ingin mengikatmu dengan surah Ar-Rahman dan Al-Kahf yang saya cintai.”
Tanpa kupinta, ia melantunkannya untukku. Ada sesuatu yang kurasakan mengalir dingin di pipi. Cairan cinta atas rasa haru yang kudapatkan melalui perkataan seorang laki-laki. Satu-satu kini cairan cinta itu jatuh membasahi telapak tanganku yang kuletakkan di atas pangkuanku. Aku mulai sedikit memberanikan diri mengangkat wajahku, untuk melihat calon suamiku. Melalui setiap kata yang ia ucapkan, aku mulai memahami perangai dari calon suamiku ini.
Subhanallah, aku pun melihatnya tertunduk dengan parit di pipi yang membekas dari tangisnya. Perlahan, kulihat ia mulai mengangkat wajahnya juga, memandang ke arahku dengan sekali pandang. Namun sepersekian detik, mata kami bertemu. Deg! Hatiku kurasakan bergetar. Ada hawa sejuk yang masuk melalui celah-celah dinding hatiku, begitu lembut dan menenangkan. Aku menundukkan kembali pandanganku.
“Apa yang bisa saya sanggah lagi, ketika seorang lelaki yang solih mendatangi saya untuk menunaikan sunah Nabi? Apa yang saya pandang kini, tak lagi melihat statusmu, tapi apa yang saya lihat dari agamamu. Dengan mengucap basmalah, bismillah hirrahman nirrahim, saya bersedia menyempurnakan separuh dien bersamamu.” Kataku dengan mantap!
Bunda menciumiku, begitu pula kulihat yang Ibumu lakukan terhadapmu. Ayah kita saling berpelukan, senyum bahagia menghiasi wajah keduanya. Beberapa kerabatmu dan saudaraku turut mengembangkan senyum bahagia pula. Kamu tersenyum padaku, seraya mengucapkan rasa terimakasihmu padaku. Pernikahan kita pun ditetapkan seminggu setelah hari ini. Pada setiap kehidupan hambanya yang beriman, selalu ada campur tangan Tuhan yang menjadikan skenarionya lebih indah.
Sayup Rindu, 2013

Cerpen Media Pilar Aisyah di Dakwatuna "Sejak Kuyakini Ketaqwaanmu"


Sejak Kuyakini Ketakwaanmu

“Assalamu’alaikum,?”
“Wa’alaikumsalam warohmatullah…”
“Kenapa kelihatan tak bersemangat, Kan? Sedang ada masalah ya?”
Pemuda itu terdiam. Ia menundukkan pandangannya. “Aku ingin menikah.” Ucapnya.
“Alhamdulillah… memang sudah saatnya kamu menikah. Sudah punya calonnya?” Tanya sahabatnya itu dengan penuh kebahagiaan.
Mendengar pertanyaan sahabatnya, pemuda itu terdiam. Wajahnya yang tadi tertunduk, kini semakin dalam tertunduk. Lebih dari itu, tubuhnya berguncang. Senarai isak tangis mulai terdengar, disambut derai air mata yang tercurah.
“Mengapa antum menangis?” Tanya sahabatnya yang terlihat bingung. Pemuda itu tak menjawab.
“Jika pertanyaan ku membuatmu sedih, maafkanlah,”
“Bukan pertanyaan antum yang membuat kumenangis, tapi aku sendiri yang membuat keadaan ku seperti ini. Aku telah menghadirkan dua orang muslimah dalam hati ini. Tak ada maksud untuk membuat hati ini hitam. Hanya apa yang kurasakan ini, terjadi tanpa kupinta. Kesalahannya, mungkin karena aku telah membuka celah dimana terjadi interaksi yang membuatku menjadi terperdaya pada pesona keduanya.”
“Kalau begitu, kamu ambillah keduanya untuk menjadi istri…”
“Aku tak sanggup jika harus mempoligami bidadariku. Sekalipun aku tahu kebolehan berpoligami.”
“Jika tak sanggup, pilihlah yang terbaik dari keduanya.”
“Aku tak mampu memilih satu dari keduanya, Fiz.”
“Kalau begitu, aku pun berlepas dari kataku. Tunggulah takdir Allah untukmu. Semoga yang terbaik dari yang terbaik menjadi bidadarimu.”
***
Assalamu’alaikum, Akh… saya ingin menyampaikan bahwa teman-teman merasa senang dengan ceramah yang akhi sampaikan mengenai pernikahan. Alhamdulillah, banyak dari mereka yang kini sedang berproses untuk menyegerakannya. Bahkan saya sudah mendapat dua undangan. Semoga akhi juga segera mendapat yang terbaik…
-Nayla-
***
“Abang, tidak datang seminar di Aula kampus? Yang Ilham dengar, salah satu pembicaranya adalah Aulia.”
“Haruskah abang datang?”
“Ya tak adalah hak Ilham untuk mengharuskan. Ilham hanya membaca hati yang terlihat, Bang.”
“Membaca atau menerka?”
“Mana abang suka lah!” Ucap adiknya agak kesal seraya berlalu.
Hari ini, ia sebenarnya mendapat undangan khusus untuk datang ke acara seminar itu dari panitia penyelenggara. Hanya saja, ia ingin mencoba menenangkan hatinya dengan menjauhi kesempatan yang mungkin akan membuat hatinya semakin berat untuk mampu memilih.
***
“Arkan, aku datang kepadamu pagi ini dalam urusan yang mulia.”
“Apa gerangan urusan itu, Fiz?”
“Mungkin, ini jawaban dari takdirmu yang beberapa minggu lalu kita perbincangkan. Aku datang mewakili orang tua dari seorang wanita yang soliha untuk memintamu berta’aruf. Bacalah proposalnya. Lalu berilah keputusanmu besok.”
Sepulang dari kedatangan sahabatnya itu, ia hanya mampu meletakkan proposal itu di meja kamarnya. Pagi ini, ia ingin menjalankan aktivitas tanpa memikirkan urusan yang belakangan ini mengusiknya.
Sesampainya di masjid kampus, ia tak sengaja bertemu dengan Aulia kala menunaikan shalat Dhuha. Ia melihat Aulia tersenyum ke arahnya. Lalu berlalu bersama teman-temannya.
“Mungkinkah ia? Astaghfirullah…”
***
Selepas tahajud, Arkan teringat dengan proposal yang diberikan sahabatnya tadi pagi. Tangannya bergetar memegang lembaran-lembaran itu. Sekuat tenaga, ia mencoba membuka lembaran pertama. Namun sedetik kemudian, ia mengurungkan niatnya. Ia letakkan kembali proposal itu di atas meja. Namun ada selembar foto yang terjatuh di lantai. Ia memungut foto itu, dan yang terlihat di matanya adalah seorang wanita berbalut jilbab putih yang begitu anggun dengan senyum khas yang ia kenali. Senyum itu, kepunyaan Aulia…
“Allah, apakah ini takdirku?...” Arkan menyungkurkan diri dalam sujud malam yang tengah.
***
Arkan datang menemui sahabatnya Hafiz, untuk memenuhi janji keputusan atas kedatangan sahabatnya itu kemarin.
“Baiknya sekarang kita langsung ke rumahnya untuk menyegerakan ta’arufmu.”
Mereka pun menuju rumah Aulia. Ketika sampai di sana, mereka disambut dengan hangat oleh orang tua Aulia.
“Mengapa Nak Arkan tidak datang beserta orang tua?”
“Sebelumnya saya minta maaf, Pak. Bagi saya sendiri, ta’aruf pertama ini ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan sebelum saya memutuskan untuk melanjutkan ke taraf pernikahan. Jika saya merasakan kemantapan hati, baru saya akan datang kembali beserta keluarga untuk segera melamar.”
“Baiklah jika begitu pertimbangan, Nak Arkan.”
Aulia pun dihadirkan. Wanita itu hadir bagaikan cermin dari foto diri yang tengah malam tadi Arkan lihat.
“Silahkan bertanyalah, Nak…”
“Assalamu’alaikum Aulia… bolehkah kuketahui sebab hingga sampainya proposalmu padaku?”
“Wa’alaikumsalam mas…, jika hal itu yang kamu tanyakan, maka aku akan menyanjung seorang wanita soliha yang kudapati kebijaksanaannya. Aku mengadu mengenai hatiku. Lalu ia berkata, menikahlah! Lalu aku bertanya pada siapa? Pada seorang pemuda yang kau yakini dirinya mampu menjadi pendampingmu dunia akhirat, dan yang saling solih mensolihkan, ujarnya. Aku tak tahu siapa! Tapi aku teringat sosokmu saat menyampaikan ceramah mengenai pernikahan. Lalu aku memutuskan untuk memilih berta’aruf denganmu.”
“Boleh aku tahu wanita itu?”
“Ia orang yang mengundangku untuk menghadiri ceramahmu untuk pertama kalinya saat kita belum berkenalan. Ia orang yang kau kenal. Wanita itu adalah Nayla.”
Arkan tertunduk mendengar nama Nayla yang tersebut oleh Aulia. Lalu ia mencoba untuk bertanya kembali, “Apa Nayla tahu akan ta’aruf ini?”
“Ya, bahkan air matanya sesaat berlinang ketika aku mengatakan bahwa aku ingin berta’aruf denganmu. Ia katakan ia bahagia atas pilihanku. Ia juga yang membantu mengantarkan proposalku kepada Hafiz, untuk disampaikan kepadamu.”
“Terimakasih atas keteranganmu. Aku senang mendengarnya. Aku juga mendapatimu sebagai wanita yang baik. Namun bolehkah aku meminta sesuatu hal kepadamu?”
“Silahkan…”
“Aku tak dapat memberikan keputusan saat ini, besok pukul 10.00 datanglah ke masjid kampus beserta orang tuamu, undanglah juga Nayla untuk datang. Insya allah besok akan kuputuskan apakah ta’aruf ini dilanjutkan atau tidak.”
“Baiklah…”
“Apakah Bapak dan Ibu mengizinkan permintaan saya?”
“Kami tak keberatan jika Nak Arkan maunya begitu.”
***
Malamnya Arkan memulai istikharah. Rasa bingung coba ia tepis dengan menguatkan azamnya. Setelah istikharah, ia terus melanjutkan tahajud dan melebur diri dalam do’a-do’a yang panjang dan khusyuk.
“…. Ya Allah, diantara tanda-tanda kekuasaanMu, telah Engkau ciptakan bagi kami isteri-isteri dari jenis kami sendiri, supaya kami cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Engkau jadikan di antara kami rasa kasih dan sayang. Aku percayakan urusanku ini kepadaMu Rabb, karena Engkaulah hakikatnya yang paling mengetahui mana yang terbaik bagiku. Aku tak ingin melukai hati siapapun, jikalau memang diriku tak pantas untuk bersanding dengan salah satu hambaMu yang soliha itu, aku ikhlas Rabb. Karena mereka adalah sebaik-baik perhiasan dunia. Berikanlah petunjukMu Rabb….”
***
Masjid kampus pagi ini masih tampak lengang. Hanya ada beberapa orang yang tengah shalat Dhuha. Arkan duduk bersama Hafiz. Lima menit berselang, datanglah Aulia beserta orang tuanya. Kini mereka hanya tinggal menunggu Nayla.
“Nayla minta maaf, ia tidak bias datang. Ia ada rapat di kantornya pagi ini.” Terang Aulia setelah menelpon sahabatnya yang tak kunjung datang itu.
“Bagaimana Nak Arkan?”
“Baiklah, dengan mengucap Basmalah saya putuskan ..….”
***
“Kenapa kamu nggak datang, Nay? Kamu merasa ndak siap?”
“Sesungguhnya ada satu hal yang membuat para nabi dapat bergembira ketika menerima penderitaan, Mbak. Yaitu, mereka telah memutuskan berlari menuju Allah. Mereka terus-menerus percaya dan meyakini bahwa Allah sangat-sangat adil dan penyayang. Jika ada satu dua penderitaan, itu hanya jalan menuju kebahagiaan. Lalu kenapa saya harus merasa ndak siap jika saya akan menuju kebahagiaan, Mbak? Dan saya tak berhak untuk menghalau kebahagiaan orang lain, apalagi sahabat saya. Lagian, rapat ini kan juga penting untuk saya hadiri.”
“Kamu memang layak bahagia, Nay...”
“Setiap orang berhak bahagia, Mbak…”
***
“Nay, jangan lupa ya datang ke pernikahanku besok. Untuk walimahannya akan diadakan pekan depan, Nay.”
“Alhamdulillah, ana turut senang. Insya Allah ana akan datang.”
***
Hari ini kediaman Aulia penuh berkah dengan hari istimewanya. Wajahnya bersinar penuh kebahagiaan.
“Nay, kamu dampingi aku ya?” Pinta Aulia pada Nayla.
Pihak pengantin wanita berada di lantai atas. Ijab Kabul dilakukan di lantai bawah. Suara ijab kabul itu begitu terdengar tegas dan khidmat. Namun Nayla merasa bahwa suara itu bukan suara Arkan. Ia mencoba melihat ke arah pengantin pria, dan yang ada di sana adalah Hafiz. Apa yang terjadi? Tanya benaknya.
“Iya, Nay. Aku menikah dengan Hafiz, bukan Arkan! Aku sudah menikah. Aku ingin, kau juga menikah.” Nayla memeluk sahabatnya itu. Dari sudut-sudut mata bening mereka menetes tangis bahagia.
***
Sebulan berlalu. Pada suatu pagi yang cerah, Nayla kedatangan tamu istimewa.
“Kedatangan saya ke sini, tak lain adalah untuk melamar anak bapak menjadi bidadari saya.”
“Subhanallah, sebuah niat yang baik. Namun sesenang apapun kami orang tuanya, keputusan tetap ada pada Nayla.”
“Tak ada alasan bagiku untuk menolak lamaran dari seorang lelaki yang solih. Maka dengan mengucap Bismillahirrahmannirrahim aku menerima lamaranmu.” Ucapnya dengan wajah yang tertunduk.
“Alhamdulillah…” Senyum tertebar pada setiap yang hadir dalam lamaran itu.
***
Lusanya, walimatul ursy diadakan. Setelah walimahan usai, Nayla bertanya suatu hal pada suaminya, “Suamiku, sebenarnya ada yang ingin kutanyakan kepadamu. Bukan aku ingin mengungkit masa lalu, namun aku hanya ingin mengobati rasa penasaranku. Sebenarnya, apa yang terjadi di masjid kampus dalam ta’aruf kedua itu?”
Dengan menatap istrinya lembut, Arkan berkata, “Yang terjadi adalah takdir Allah. Dengan mengucap basmalah kala itu, kuputuskan untuk menolak melanjutkan ta’aruf ke arah pernikahan. Ketidak hadiranmu yang membuatku harus memutuskan hal demikian. Karena sebenarnya, kamulah wanita pertama yang membuatku merasakan cinta. Hafiz lalu maju setelah penolakanku. Ia melamar Aulia menjadi bidadarinya. Dan apa yang terjadi selanjutnya, tentu telah kamu ketahui istriku…”
“Maha suci Allah yang mengikat hati kedua insan yang mencinta karenaNya. Aku pun mencintaimu sejak kuyakini ketakwaanmu…” Ucap Nayla sembari mencium tangan suaminya.
***

Seleret, 2013