Kamis, 07 Juni 2012

Aku dan Malaikat Dunia (Cerpen Media Pilar Aisyah)


Aku berhenti di sungai yang telah menjadi saksi betapa tak berharganya aku ketika dilahirkan, betapa berharganya aku ketika dipungngut seseorang yang tak tahu bagaimana merawat bayi. Betapa kerasnya hidup yang kulewati demi sesuap nasi. Masaku, asa dan mimpiku yang terkubur seiring dengan kukuburnya sosok orang tua dari hatiku yang terdalam.

Kota ini kelam, tak ada yang namanya pelita untukku. Senyum semanis bidadari maupun wajah keteduhan yang menenteramkan jiwa, tak pernah tertangkap lensa mataku. Aku sendiri tak tahu mengapa rasa ini masih terus membatin. Kejam.

Ia telah menjadikan hidupku terseok-seok di jalan. Berdebu, kumuh dan tak normal. Berdebu, karena hampir separuh masaku kuhabiskan di jalan. Kumuh, karena tempatku di pinggiran yang terbuang dari kota besar ini. Tak normal, karena aku tak menunaikan tugas perkembanganku sebagaimana mestinya. Untuk semua itu, bagaimana mungkin ia bisa berpikir bahwa aku mampu menghabiskan batang usiaku seperti ini?

“Ngapain kau?” tanya Bang Rendy ketika mendapatiku tengah berleha di karpet tipis tempatku tidur.

“Nggak ngapa-ngapain, Bang!”

“Kerja kau sana! Tak mau makan rupanya kau hari ini?” Aku terdiam sesaat. Kutarik napas dalam dan kuhembuskan perlahan. Aku beranjak dari tempat tidurku, kudekati Bang Rendy yang tengah duduk di meja makan.

“Bang, kau masih ingat cerita kecilku dulu?”

“Maksud, kau?”

“Waktu kau menemukanku!” Ia membetulkan posisi duduknya, lalu memandangku dengan lekat. Wajah sangarnya kian terlihat jelas, namun ia tersenyum.

“Kenapa kau tanyakan hal itu?” Aku tak menjawab pertanyaannya, namun terus memandang ke arahnya dengan tatap penuh harap agar ia menguraikan kisahku.

“Waktu itu, aku dan Bang Akay habis main kartu. Perut lapar dan kami hendak membeli nasi goreng di perempatan jalan. Waktu pulang, kami mendengar suara tangisan bayi. Aku berusaha mengacuhkan hal itu, tapi Akay mencari-cari asal suara itu. Lalu ditemukanlah kau dalam keranjang kecil bayi. Mirip Nabi Musa kau pikirku waktu itu. Si Akay membawamu pulang ke tempat kami. Aku tak setuju! Siapa pula yang pandai merawat anak bayi? Ia tak mempedulikan omonganku. Ia yang merawatmu sampai usiamu dua tahun. Namun setelah ia meninggal karena tertabrak mobil, mau tak mau, aku yang merawatmu. Kau kan tahu, aku bukan orang mampu, aku hanya tamatan SMP. Aku tak bisa mengurusmu dengan layak. Makanya kau harus fight dengan keadaan!”

“Aku tahu, Bang. Aku tak keberatan. Bagiku, Abang lebih baik daripada ia yang mencampakkanku!” sinis ucapanku, namun memang begitulah yang ada di hatiku.

***
KURASAKAN mentari begitu menyengat. Satu persatu peluhku menetes di sekujur tubuhku. Tepat lima menit sebelum azan zuhur berkumandang, aku telah selesai memungut beberapa barang bekas dari satu rumah ke rumah lain, dari satu tempat sampah ke tempat sampah lain. Aku menghentikan langkah di masjid terdekat. Kutaruh segoni barang bekas hasil pencarianku di pojokan luar masjid, kulirik seseorang yang sedari tadi bersamaku, lalu kuisyaratkan agar ia masuk ke masjid.

“Kau saja!” ujarnya. Ia duduk di pojokan parkir sepeda motor. Aku bergegas berwudhlu dan masuk barisan shalat sebagai makmum. Ah, aku tahu ketenangan akan selalu kudapatkan kala kuhadapkan wajahku pada-Mu Tuhan.

“Kenapa kau tak shalat?” aku bertanya pada Boby, teman karibku yang senasib sepenanggungan denganku itu saat kami berjalan pulang.

“Bagaimana orang seperti kita mau shalat?” tanyanya pula.
Aku mengernyitkan dahi, mencoba memahami pertannyaannya. Lantas kujawab, “Ya, kalau mau shalat, shalat saja! Tak ada larangan wong gembel seperti kita ini untuk shalat.”

“Kau bilang kita gembel, terus kenapa mesti pula shalat? Kaupikir bisa mengubah nasib? Kalau gembel, ya gembel saja!”

“Aku bukan kiai, tapi aku tahu shalat itu kewajiban, juga kebutuhan. Nasib itu tak perlu kita bicarakan sekarang. Kalau kau baik, hidupmu pun akan baik! Sudah gembel, tak dekat pula kau pada Tuhan, mau jadi apa kau?”

“Ya, jadi akulah! Masa jadi kau! Ah, belum masuk ke otakku perihal begituan. Nanti sajalah!”

“Ternyata benar apa yang pernah kudengar dari seorang ustaz, hidayah itu memang tak bisa didapatkan setiap orang. Maha Besar Allah yang mampu membolak-balikkan hati manusia. Hmm, biar kita gembel, tapi kita harus menjadi gembel santun dan beriman,” ucapku beriring helaan napas panjang sembari menatap sahabat malangku itu.

“Makin aneh kau kulihat!” gerutunya. Aku tertawa kecil mendengar ucapannya itu.

***
“KORAN... koran... koran...”

“Koran, Pak, Bu? Banyak topik hangat nih mengenai para koruptor dan teroris.”

“Dek, korannya satu. Kembaliannya ambil untukmu saja,” kata seorang ibu-ibu bertunggangkan Alphard warna hitam yang memberikan uang lima puluh ribuan kepadaku. Lumayan, pikirku. Perutku sudah lapar, istirahat sebentar sambil makan di warung nasi Bi Suparni akan melepaskan sedikit letihku.

“Nasi pakai ikan satu ya, Bu. Eh, dua deh, Bu.”

“Untuk si Boby, Do?”

“Iya, tuh udah kelihatan muka kusutnya.”

“Udah siang begini, baru seribu perak yang kudapatkan!” keluhnya yang tak mujur menjadi tukang semir sepatu hari ini.

“Alhamdulillah Bob, Alhamdulillah. Ehehehe...” Wajahnya tambah masam melihat komentarku.

“Makan dulu, nih! Aku yang bayar. Oya Bu, satu lagi dibungkus, ya.” Untuk Bang Rendy, pikirku.
“Rezeki nomplok ya, Do? Koranmu tak habisnya kulihat,” katanya sambil menghitung sisa koranku.

“Ada rezeki yang tak terduga, Bob. Makan sajalah! Halal kok.”
“Untuk orang seperti kita, aku susah membedakan mana yang halal dan haram,” lirihnya. Aku hanya tersenyum.

“Telah ditemukan seorang bayi perempuan di lokasi pembuangan sampah pada pukul 09.00 tadi pagi. Bayi yang masih hidup tersebut, ditemukan oleh seorang pekerja, yang tengah memilih sampah-sampah untuk didaur ulang. Saat ini, belum diketahui secara pasti, apa motif dari pembuangan anak ini. Sementara, data statistik menunjukkan, hamil di luar nikah dan faktor ekonomi yang rendah merupakan motif terbesar dari pembungan bayi.”

Aku begitu terperangah mendengar siaran berita TV yang kulihat di kedai Bu Suparni. Hatiku panas, mendidih, menyeruak hingga ke ubun-ubun. Kejam! Kejam! Kurang ajar! Tak berperikemanusiaan! Aku terus memaki-maki.

Belum selesai aku mengontrol emosiku, Boby memanggil-manggilku untuk kembali melihat ke layar TV. Ia tak peduli dengan makianku.

“Do, Do, kau lihat dulu itu! Itu seperti foto kecilmu dan keranjang bayimu, kan?”
Aku melihat kembali ke TV.

“Sementara itu, seorang ibu telah kehilangan seorang anak laki-lakinya, dengan ciri-ciri seperti foto yang tertera di samping ini. Anak ini sudah hilang sejak 15 tahun silam di sekitaran Sungai Sikambing. Bagi warga yang menemukan atau merawat anak ini, bisa langsung datang ke polresta untuk konfirmasi lebih lanjut.”

Aku bagai tersengat petir di siang bolong. Aku masuk di daftar pencarian orang hilang? Aku hilang? Hei, aku bukan hilang, tapi aku dibuang!

“Ayo, Do, kita ke polres, mana tahu orang tuamu sudah menunggu di sana. Kalau boleh, nanti aku ikut tinggal di rumah kau ya, Do? Sepertinya kau anak orang berada.” Boby menarik-narik tanganku. Bodohnya aku, mengapa aku mau menyeretkan langkahku ke polres mengikuti apa maunya si Boby.

Atau, mungkin juga ada sedikit rasa penasaran yang menyusup di hati ini untuk mengetahui manusia kejam yang mencampakkanku. Kini aku berada di depan kantor polres dengan alamat yang dikatakan pembawa berita di TV yang kutonton tadi.

Deg! Kulihat sebuah mobil Alphard berwarna hitam terparkir di depan polres. Kuintip sesaat ke dalam ruangan kantor. Mataku menagkap sesosok wanita yang tengah membaca koran yang beberapa jam lalu kujajakan di tengah lalu lalang kendaraan.

“Berita hilangnya anak ibu sudah tersebar di stasiun-stasiun TV. Tinggal kita tunggu saja kehadirannya di sini,” ujar seorang polisi kepada wanita yang membaca koran tadi.

“Ayo, masuk, Do! Mengapa kau mengintip seperti itu?” Boby tak memahami perasaanku kini.

Spontan aku lari sekuat tenaga yang kumiliki. Aku terus berlari tanpa arah pasti. Air mataku terus mengucur membasahi pipi. Kakiku semakin lemah untuk berlari. Seperti takdir yang tak bisa kubawa lari bersamaku dan kuubah semauku. Ini tentang ketentuan-Nya.

Aku berhenti di sungai yang telah menjadi saksi betapa tak berharganya aku ketika dilahirkan, betapa berharganya aku ketika dipungngut seseorang yang tak tahu bagaimana merawat bayi.

Betapa kerasnya hidup yang kulewati demi sesuap nasi. Masaku, asa dan mimpiku yang terkubur seiring dengan kukuburnya sosok orang tua dari hatiku yang terdalam.

“Lantas, mengapa kini kau mencariku???” teriakku. Tak seorang pun mendengar terkecuali alam yang menjadi saksi bisu.

Tuhan, maafkan aku! Aku hanya hamba yang lemah. Izinkan aku melanjutkan apa yang sedari awal telah menjadi garisku. Biar aku hidup di jalan, berpijak pada kakiku, walaupun keras tantangan yang harus kuhadapi, aku ikhlas. Aku tak ingin hidup dengan mereka yang pernah mencampakkanku, membuatku tak berarti. Tapi aku ikhlas Tuhan, jika kau marah padaku, maka selesailah hidupku.

***

HUJAN turun begitu derasnya. Aku yang sedari siang tadi tak bisa menerima berita yang kudengar, masih berada di sekitaran sungai. Berteduh di bawah pohon. Karena tak kunjung berhenti, aku memutuskan menerobos hujan dengan berlari. Aku tak memperhatikan apa pun dengan baik, ketika di perempatan jalan ada sebuah mobil melintas. Seketika tubuhku melayang. Perih yang kurasakan di kepalaku. Dalam pandangan kaburku, kulihat seorang ibu keluar dari sebuah mobil berwarna hitam. Ia mendekatiku, memegang kepalaku yang mungkin telah berdarah. Kutarik tanggannya, kucium perlahan. Tenagaku hilang, dan semua gelap...

(Riska H Akmal)
Medan, Oktober 2011

*Diterbitkan Medan Bisnis-Rentak pada Januari