Surat
Cinta Dari Tuhan Yang Kau Ikatkan
Aku
duduk di sofa ruang tamu rumahku. Sedikit-sedikit aku mencoba membenarkan letak
jilbabku, merapikan gamis yang kukenakan dan beberapa menit berikutnya pergi ke
arah dapur untuk menemui Bunda yang tengah mempersiapkan jamuan makan malam
bersama adik dan kakak iparku.
“Tenanglah,
apa yang Ananda risaukan, Nak?” Aku tak bisa menjawab pertanyaan Bunda, karena
aku sendiri sebenarnya tak tahu apa yang aku cemaskan. “Kembalilah ke ruang
tengah. Temani Ayah dan Mas mu. Sebentar lagi, mungkin mereka akan datang.” Aku
menuruti perkataan Bunda. Ayah tampak tenang dengan buku bacaannya, dan Mas
Adit menyibukkan diri di depan laptop, untuk menyelesaikan pekerjaan kantornya.
Aku duduk di samping Ayah. Bersandar di bahunya.
“Tak
ada sesuatu yang perlu dicemaskan.” Ayah mengalihkan perhatiannya padaku. Ia
mengelus-elus kepalaku dengan lembut.
“Ayah,
apakah Ananda sudah pantas menjalani ini semua? Jujur, Ananda sedikit merasa
tak pantas.”
“Kita
tak pernah tahu apa yang akan terjadi pada diri kita setiap harinya. Semenit ke
depan, kita pun tak kan mampu menebak apa yang akan terjadi. Kita hanya mencoba
untuk berbuat sebaik mungkin setiap harinya dalam hidup, dan atas
kebaikan-kebaikan itu, kita harus percaya bahwa Allah akan menyelipkan
kejutan-kejutan kebahagiaan untuk kita, bahkan untuk hal yang kita anggap
mustahil sekalipun, Nak.” Kini Ayah menutup bukunya, ia memandang wajahku
dengan lekat, membetulkan sedikit letak kacamatanya, dan kembali melanjutkan
kata-katanya.
“Jadi,
tak ada yang tak pantas jika Allah telah menghendakinya Anakku. Jika keraguan
masih menyelimutimu, tanyakanlah padanya. Bukankah ia yang mengajukan diri?”
Ayah benar. Aku masih bisa menanyakan banyak hal sebelum membuat suatu
keputusan besar dalam hidupku.
***
Pukul
20.05 WIB, deru suara mobil terdengar memasuki pekarangan rumah. Ayah, Bunda,
dan Masku berjalan keluar untuk menyambut tamu yang datang. Aku masuk ke kamar
ditemani adik dan kakak iparku. Beberapa menit berselang, samar-samar kudengar
percakapan mereka yang kini telah berkumpul di ruang tamu.
“Kedatangan
kami ke sini, tentu sudah Anda ketahui maksud dan tujuannya. Saya mewakili anak
saya, ingin menyampaikan maksud hatinya yang ingin menyempurnakan separuh agama
dengan mempersunting anak Anda.”
“Ini
semua memang berkah untuk keluarga kami, keluarga biasa yang mungkin sebelumnya
tak pernah membayangkan akan menjamu tamu dari keraton. Namun apa pun itu namanya,
saya tetap yakin hanya taqwa yang menjadi pembeda kita di hadapan Tuhan. Untuk
urusan hati ini pun, saya tak ingin mengambil keputusan secara sepihak. Saya
bebaskan putriku untuk menentukan apa yang terbaik bagi hidupnya.”
“Tentu
saja. Saya sangat setuju dengan pemikiran Anda. Langsung saja kita pertemukan
keduanya, dan memutuskan yang terbaik diantara keduanya.”
Bunda
masuk ke kamarku. Menuntunku keluar menuju ruang tamu yang telah berubah
menjadi ruang musyawarah. Adik dan kakak iparku tetap mengiringiku.
“Nah,
kini orang yang ingin mempersuntingmu dan keluarganya telah hadir di rumah
kita, Nak. Sampaikanlah apa yang ingin Ananda sampaikan. Kami tak akan
memperdebatkan.”
“Saya
hanyalah orang yang biasa, saya mengenalmu sebagai orang yang dihormati
dikalangan masyarakat. Saya mungkin tahu tentangmu, namun apakah kamu
benar-benar telah mengenal baik saya?” Aku mulai bertanya. Wajahku tertunduk
tak mampu mengangkatnya untuk melihat orang-orang di sekelilingku.
“Saya
memang tak mengenalmu dengan waktu yang lama. Bahkan, saya bisa menyatakan
bahwa saya tak lebih dari lima kali bertemu denganmu. Namun, pada setiap
kesempatan di mana saya bertemu denganmu, saya mencoba mengenalmu dengan baik.
Dalam waktu yang singakat itu pula, saya kenali dirimu sebagai seorang
perempuan yang sederhana, penyuka kegiatan sosial, periang, kecerdasanmu mampu
membawamu meraih beasiswa keluar negeri, namun yang terpenting dari semua itu,
saya menilai dirimu sebagai seseorang yang menjalankan agamamu dengan baik,”
“Dan
apa yang tak terlihat langsung oleh saya tentangmu, sudah saya ketahui dari
orang-orang terdekatmu. Termasuk sifat manjamu terhadap Ayah Bundamu.”
“Lalu
apa yang kamu harapkan dengan menikahi saya? Apa yang membuatmu mengajukan diri
untuk menjadi imam di kehidupan saya? Dan saya ingin memberitahukan bahwa
didiri saya, terbesit rasa ketidakpantasan untuk mendampingimu.” Tanyaku lagi
dalam keadaan wajah yang masih tertunduk.
“Saya
tak memandangmu sebagai orang yang tak sebanding dengan saya. Apa yang tak
pantas di pandangan manusia, belum tentu tak pantas di hadapan Illahi. Apa yang
saya nilai darimu adalah sesuatu yang saya lihat dengan hati, bukan dari apa
yang ada di luarnya. Yang saya harapkan dengan menikahimu adalah meraih
ridhonya Allah,”
“Saya
memilihmu atas agamamu. Atas kecintaanmu pada Rabbmu dan kekasihNya, dan saya
ingin mendapat perhiasan dunia akhirat dengan menikahi wanita solihah. Lalu di mana
letak ketidakpantasanmu jika yang saya lihat adalah seorang wanita dari segi
agamanya?” Aku tak tahu bagaimana mimik wajahmu ketika menguraikan semua
kata-kata itu. Namun yang harus kuakui, ada getaran kecil yang terjadi di
sukmaku.
“Sekiranya
saya menerima lamaranmu, apa yang dapat kamu berikan kepada saya sebagai mahar
dipernikahan nanti?”
“Sebenarnya,
saya adalah orang yang tak punya apa-apa. Kebanyakan apa yang saya miliki
adalah warisan turun temurun dari keluarga keraton. Saya tidak ingin
memberikanmu mahar dari sesuatu yang tidak saya perjuangkan untuk
mendapatkannya. Maka jika kamu ikhlas, saya hanya mampu memberimu surat cinta
dari Tuhan. Saya ingin mengikatmu dengan surah Ar-Rahman dan Al-Kahf yang saya
cintai.”
Tanpa
kupinta, ia melantunkannya untukku. Ada sesuatu yang kurasakan mengalir dingin
di pipi. Cairan cinta atas rasa haru yang kudapatkan melalui perkataan seorang
laki-laki. Satu-satu kini cairan cinta itu jatuh membasahi telapak tanganku
yang kuletakkan di atas pangkuanku. Aku mulai sedikit memberanikan diri
mengangkat wajahku, untuk melihat calon suamiku. Melalui setiap kata yang ia
ucapkan, aku mulai memahami perangai dari calon suamiku ini.
Subhanallah,
aku pun melihatnya tertunduk dengan parit di pipi yang membekas dari tangisnya.
Perlahan, kulihat ia mulai mengangkat wajahnya juga, memandang ke arahku dengan
sekali pandang. Namun sepersekian detik, mata kami bertemu. Deg! Hatiku
kurasakan bergetar. Ada hawa sejuk yang masuk melalui celah-celah dinding
hatiku, begitu lembut dan menenangkan. Aku menundukkan kembali pandanganku.
“Apa
yang bisa saya sanggah lagi, ketika seorang lelaki yang solih mendatangi saya
untuk menunaikan sunah Nabi? Apa yang saya pandang kini, tak lagi melihat
statusmu, tapi apa yang saya lihat dari agamamu. Dengan mengucap basmalah, bismillah hirrahman nirrahim, saya
bersedia menyempurnakan separuh dien bersamamu.” Kataku dengan mantap!
Bunda
menciumiku, begitu pula kulihat yang Ibumu lakukan terhadapmu. Ayah kita saling
berpelukan, senyum bahagia menghiasi wajah keduanya. Beberapa kerabatmu dan
saudaraku turut mengembangkan senyum bahagia pula. Kamu tersenyum padaku,
seraya mengucapkan rasa terimakasihmu padaku. Pernikahan kita pun ditetapkan
seminggu setelah hari ini. Pada setiap kehidupan hambanya yang beriman, selalu
ada campur tangan Tuhan yang menjadikan skenarionya lebih indah.
Sayup
Rindu, 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar