Aku dan Si
Mbah
Entahlah!
Rasanya tidak masuk akal bagiku ketika kudengar cerita Uwakku tentang Mbah
Saif. Sosok yang belakangan ini kerap kudengar namanya dari mulut-mulut
keluargaku, ah tidak! Sudah merembet pula rupanya pada tetangga kiri kanan rumahku.
Pasalnya, cerita ini dimulai ketika seminggu yang lalu Uwak Tiur diminta untuk
menemani salah seorang temannya di pabrik, pergi berobat.
Sudah
sebulan belakangan ini, temannya itu merasakan sakit di kepala. Bermacam-macam
obat sakit kepala yang dibelinya di kedai dekat rumah maupun pabrik, tak ada
yang berhasil menyembuhkannya. Ke dokter, ia tak mau. Biaya mahal, diagnosa
penyakit pun tak jelas menurutnya. Jadilah mereka pergi ke rumah Mbah Saif atas
saran dari penjual obat dekat pabrik. Berdua dengan kereta, mereka melewati
jalanan yang penuh dengan pohon-pohon tua. Hingga di ujung belokan jalan,
tampak rumah panggung sesuai alamat yang diberikan penjual obat siang tadi.
“Ada
paku-paku yang keluar dari kepala temenku itu. Berkarat, namun ada juga yang
masih baru. Banyak! Ada 12 paku.”
“Seharusnya
Wak ambil. Lumayan buat persediaan paku di rumah.”
“Asal
kau tau, pakunya harus dibuang ke sungai atau ditanam. Bukan buat dipakai lagi.
Nanti bisa kau pula yang kena santet!” Repet Wak Tiur padaku.
Uwak
Tiur mempercayai kehebatan Mbah Saif, sebab mujurnya, esok tak ada lagi keluhan
sakit di kepala yang keluar dari mulut temannya itu.
Cerita
yang hebat itu mempengaruhi Bu Rustam. Mertuanya yang lumpuh, hendak ia bawa ke
Mbah Saif agar sembuh dan bisa berjalan kembali. Hanya saja proses itu belum
sempat ia lakukan, mengingat harus keluar kota selama tiga hari dalam tugas
dinas. Tapi tak sama dengan Mpok Niluh. Ia begitu semangat membawa anak
gadisnya bertemu Mbah Saif agar segera mendapat jodoh. Usia anak perawannya
yang hampir kepala tiga itu ternyata membuat Mpok Niluh kalut tak dapat mantu.
Dari
Mbah Saif mereka mendapat “oleh-oleh” bunga-bunga cantik untuk dimandikan, jamu
untuk diminum, dan dibukakan aura. Aura apa coba? Bentuknya pun tak jelas! Aura
yang kutahu, ya Aura Kasih penyanyi di TV. Namun lagi-lagi komentarku di
pandang sinis.
“Bau
kencur mana ngerti!”
Hebatnya
lagi, penjual kedai nasi di depan kompleks rumahku jadi laris manis setelah
mengunjungi Mbah Saif. Padahal dulunya sepi. Aku jadi penasaran bagaimana ia
melakukan semua ini?
“Jadi
bertambah rezekinya Uni,”
“Iya
Alhamdulillah, Mbah Saif rancak!”
“Hm,
ramai karena oleh-oleh Mbah Saif, atau karena harga yang diturunkan ya?”
komentarku yang spontan itu mendapat cubitan dari Mama dan tatapan polos dari
Uni.
***
Pagi-pagi
perutku rasanya sakit sekali. Bajuku basah karena keringat dingin menahan
sakit. Aku berteriak-teriak memanggil Mama, namun sampai suaraku tertahan di
kerongkongan tak dapat di keluarkan, Mama tetap tak jua datang menghampiri. Kupecahkan
saja gelas yang ada di meja untuk menarik perhatian. Dan berhasil! Mama datang.
“Ya
Allah, kamu kenapa, Nak?”
“Sakit
perut, Ma.”
“Sampai
keringat dingin, Mama carikan obat dulu ya.”
Sepuluh
menit berikutnya Mama kembali dengan obat sakit perut. Kuminum, lalu istirahat
sejenak. Dua jam berikutnya aku berulah lagi. Perutku kembali sakit. Mama
mencoba mengolesiku dengan minyak yang dicampur bawang merah, lalu aku disuruh
tidur. Namun ulahku belum selesai sampai di situ, karena esok paginya aku
merengek sakit perut lagi.
“Kita
bawa ke tempat Mbah Saif aja, Yan,”
“Ke
dokter saja lah kak Tiur.”
“Kau
ini, dokter sekarang tak bisa dipercaya. Sudah, kutemani kau ke sana.”
Sepanjang
jalan ke tempat Mbah Saif, Uwak Tiur mengomentari sikapku yang selama ini sering
menjelek-jelekkan Mbah Saif. Uwakku yang tambun itu mengatakan, aku harus
menyesali semua komentarku yang lalu, kalau nanti Mbah Saif berhasil
menyembuhkanku.
Parahnya
lagi, ia menduga sakit perut yang kualami karena kualat sering mengatai Mbah
Saif. Ah, Uwakku itu, ternyata sudah banyak meninggalkan….
***
Kedatangan
kami disambut seorang lelaki sepuh. Penampilan yang tercermin dari orang yang
dibanggakan uwakku ini terlihat seperti layaknya seorang Kiai besar. Ia
mempersilahkan kami masuk dan tak banyak basa-basi, langsung menanyakan
sakitku.
“Sakit
apa?”
“Perutnya
Mbah, dari kemarin katanya sakit. Udah dikasih obat dan disapukan minyak
bawang, tapi belum sembuh juga.”
“Golekkan
dia di sini.”
Aku
disuruh berbaring di hadapan lelaki sepuh ini. Ia memeriksa perutku yang di
atasnya telah ia taruhkan kain sarung, lalu perlahan ia menarik sesuatu dari
perutku.
“Bungkusan
hitam?” Pekik Mama dengan penuh keheranan.
“Setelah
ini langsung dibuang saja ke sungai. Besok kembali lagi.” Komentarnya singkat
dan dingin.
Besoknya
bukan bungkusan hitam tak jelas entah apa isinya lagi yang keluar dari perutku,
tapi beberapa jarum patah yang semuanya berkarat. Mama bolak-balik istighfar
melihatnya. Dihari ketiga kedatanganku, banyak tamu yang berkunjung mengharap
kesembuhan dari Mbah Saif. Ada lima belas orang, tak terhitung dengan keluarga
yang ikut mengantar. Ini waktu yang tepat bagiku untuk bertanya.
“Mbah,
apa tanggapan mbah dengan riwayat hadis Imam Muslim yang isinya, Nabi Muhammad
melarang mendatangi para kaahin?” Ia tak menjawab. Hanya memandangku semenit,
lalu fokus dengan pasiennya.
“Lalu
ada lagi riwayat Bukhari-Muslim, yang isinya nabi mengatakan bahwa kaahin itu
bukan apa-apa’.”
“Tapi
yang kukatakan benar dan sembuh.”
“Kalaupun
apa yang dikatakana kaahin itu benar, itu adalah suatu kebenaran yang disambar
oleh seorang jin lalu jin itu menjelaskannya kepada telinga walinya, lalu
mereka mencampurnya dengan seratus kebohongan.” Kukatakan komentar itu sambil
membaca buku catatan kecilku yang telah kutulis beberapa hari yang lalu dari
sebuah sumber di internet.
Semua
orang memandangiku. Tak terkecuali Mama dan Uwak Tiur. Aku masih tetap
menampilkan wajah naifku sambil menatap Mbah Saif, menanti jawaban. Orang yang
ditunggu jawabannya malah menatapku balik tak karuan.
“Kalau
kau anggap aku salah, lalu kenapa kau datang padaku? Bukankan sholatmu tak akan
diterima selama empat puluh hari?”
“Cerdas!”
Aku tertawa sambil mendengar pertanyaan si Mbah.
“Sakit
perut itu hanya modus saya agar bisa ketemu si Mbah. Jadi saya ikuti saja
permainan Mbah yang malah mengeluarkan bungkusan hitam tak jelas, begitupun
dengan paku-paku dari perut saya. Wong perut saya aman sentosa kok!”
“Lagi
pula kalau saya tidak datang, maka uwak saya ini akan terus membanggakan Mbah
di depan orang-orang. Itu artinya, akan semakin banyak orang yang salah jalur
dan semakin banyak pula dosa yang berserakan. Saya mahasiswa ingusan berhak
menegur dengan ilmu yang telah didapatkan.”
“Jadi
bapak ibu, menutup rapat jalan yang menuju kerusakan itu lebih didahulukan
daripada mengambil suatu manfaat. Kalau sakit, lebih halal datang ke dokter.
Lebih baik kehilangan banyak uang daripada kehilangan surga.” Ceramahku mirip
ustadzah. Semuanya diam. Sama halnya dengan Mbah Saif. Namun matanya lebih
menyala ke arahku.
“Oya
Mbah, jangan mempermalukan kita dengan memanfaatkan pakaina suci itu. Ayo Ma,
Wak, kita pulang.” Ajakku tanpa mau berpanjang lebar urusan lagi.
“Tunggu,
Nak! Kaahin itu apa ya?” Tanya salah seorang ibu pengunjung.
“Alamak,
sudah dijelaskan panjang lebar, tak paham juga kah? Gawat ibu-ibu ini.” Batinku
(*)
Medan, 2013