Sabtu, 05 November 2011

Cerpen Media Pilar Aisyah

Nek Siti dalam Senjanya
Terdengar suara repetan-repetan kecil dari ruang tengah rumah itu. Seperti orang mengigau yang tak jelas arah pembicaraannya.
“Owalah, kemanalah kalian semua? Tak ada satu pun yang nengok aku di sini.” Gerutu seorang Nenek tua yang tengah terbaring di sofa panjangnya.
“Udah nggak peduli lagi rupanya kalian sama aku?!” Ucapnya terus menggerutu sambil sesekali mengayunkan kipas yang menghasilkan angin berseliweran menerpa tubuhnya yang gerah.
Sayup-sayup, terdengar langkah seseorang.
“Assalamu’alaikum.” seorang remaja tanggung memakai seragam putih abu-abu masuk dan langsung menuju kamarnya. Sepertinya ia tidak memperhatikan Neneknya yang tengah terbaring sendiri di peraduannya.
“Siapa itu? Kau, Wan?” Selidik si Nenek.
“Iya, Nek.” Ada nada malas yang terbentuk dari intonasi suaranya.
“Nggak kau salami aku ya? Bilang assalamu’alaikum aja kau nggak.”
Tak ada komentar yang keluar untuk menyargah ucapan si Nenek. Pendengarannya memang telah berkurang.
            “Sini kau dulu! Kau tenggok aku dulu.” Paksa si Nenek.
Dengan langkah gontai laki-laki yang bernama Marwan itu menghampiri Neneknya. Si Nenek melihat dengan tatapan serius ke arah cucunya itu.
“Nggak senang kali kayaknya kau kupanggil! Macam…”
“Udahlah Nek, Nenek mau apa?” Ucap Marwan dengan ketus.
“Aku lapar! Kau ambilkan dulu makanku, yang lain entah ke mana semuanya.” Intonasi si Nenek mulai mencapai oktaf.
“Wak Lilis ke mana rupanya?”
“Tak kau dengar cakap Nenek kau ini? Tak tahu aku!”
Marwan melangkah ke dapur, dibukanya tudung nasi yang berisi sayur lodeh, tempe goreng dan ikan sambal. Mulailah dengan gaya tak berseni satu persatu lauk itu hijrah ke piring kaca yang Marwan pegang. Kini tangannya telah penuh dengan nasi hidangan komplit dan segelas air putih.
“Nanti kalau Nenek udah siap makan, taruh aja piring dan gelasnya di atas meja ini dulu. Marwan mau tidur, capek!” belum sempat Marwan melangkah menuju kamarnya, Nenek telah mengeluarkan perintahnya lagi.
“Kau suruh aku makan sendiri? Kau panggilkan dulu uwak kau, biar disuapkannya aku. Lemas aku ini. Nggak bisa aku makan sendiri.”
Marwan mencari Wak Lilis di kamarnya, namun tidak ada, lalu ia ke kamar mandi, halaman belakang, tetapi tetap juga tidak ada. Penggeledahan rumah telah selesai ia tunaikan, namun anak kedua Neneknya itu tidak juga kelihatan batang hidungnya. Marwan mencari ke luar rumah, mungkin sedang bergosip dengan ibu-ibu kompleks. Hmm,, benar saja dugaan Marwan, Uwak Lilisnya yang berbadan gempal itu tengah asyik berlagu kata sumbang dengan ibu-ibu kurang kerjaan lainnya.
“Wak, dipanggil Nenek! Minta disuapkan makan Nenek tuh!”
“Ada aja pun Nenek kau itu! Tak bisa aku berleha sebentar.”
Berleha sebentar?? Saban hari kutenggok wak tak pernah alpa berlagu kata sumbang sama ibu-ibu ini, gerutu Marwan dalam hati. Wak Lilis mengikuti langkah Marwan di belakang menuju rumah. Marwan kembali mengeram di kamarnya.
“Ke mana ajalah kau, Lis? Kau tinggalkan aku seorang diri.”
“Tapi tadi Ibu tidur. Keluarlah Lis sebentar.” Tanpa menunggu aba-aba dari Ibunya, Lilis telah menggamit nasi dan lauk, lalu segera mendaratkan ke mulut Ibunya sesuap demi sesuap hingga habis.
***
            Senja pupus berganti pekat. Deru suara mobil memasuki pekarangan rumah si Nenek. Pukul 20.00 WIB, sepasang suami istri turun dari mobil sedannya dan masuk ke rumah. Di tanggannya terjinjing bungkusan yang cukup besar.
            “Bu, ini udah Ratna belikan susu sama roti kelapa kesukaan Ibu. Rotinya Ratna taruh di kamar, susunya di kulkas ya, Bu.” Ucap menantunya itu.
Tak ada jawaban. Lalu berselang lima menit terdengar rintihan si Nenek, “Apalah yang ada di mataku ini? Kabus-kabus gini. Si Lilis tadi pun entah ke mana kusuruh belikan obat. Bisa buta pula nanti mataku.”
Menantunya yang tadi ingin beranjak ke luar kamar, kembali berpaling ke arah mertuanya itu. “Mata ibu kenapa?”
“Kaunya, Na. Baru pulang kau? Baguslah kau pulang, kau lihatkan dulu mataku kenapa?” Dengan seksama menantunya memperhatikan mata mertuanya itu. Ada cairan putih di pinggir bawah mata kirinya. Dengan sigap Ibu dari Marwan itu mengeluarkan sapu tangan yang ada di saku baju kerjanya, lalu dengan segera menyapu perlahan ke mata kiri mertuanya.
“Sudah Ratna bersihkan, ada kotoran sedikit. Sebentar Ratna ambilkan tetesan mata supaya mata Ibu nggak sakit.” Setelah diteteskan obat mata, si Nenek tertidur.
***
Malam berikutnya terjadi kericuhan di tengah guyuran air mata langit.
PRANG!!!
            “Seperti ada yang pecah, Yah?” Ratna memastikan suara yang ia dengar kepada suaminya. Telinganya bekerja mencari asal suara.
“Ibu??”
Ratna dan suaminya bergegas ke kamar si Nenek. Di sana sudah ada Marwan, Rara adiknya, dan Lilis. Ternyata suara pecahan itu telah membangunkan seisi  penghuni rumah.
            “Nenek menjatuhkan gelas dan piring yang berisi obat-obatnya, Ma.” Rara yang datang lebih dahulu memberitahukan perihal yang terjadi kepada orang tuanya sambari membersihkan puing-puing pecahan kaca yang berserabutan di lantai.
            “Nenek nih, selalu aja bertingkah aneh-aneh.” Marwan berkomentar perihal sepak terjang laku Neneknya yang kerap mengundang kejengkelan baginya.
            “Marwan!!!” Hardik papanya. Marwan kemudian berlalu untuk melanjutkan tidurnya yang terjeda karena ulah si Nenek.
            “Kalian semua memang udah nggak peduli lagi sama aku! Sering kalian biarkan aku sendiri di rumah. Kalian tinggalkan aku seorang. Kalian sibuk dengan diri kalian sendiri. Udah muak rupanya kalian ngurus aku yang sakit ini?” Si Nenek mengeluarkan petirnya di tengah hujan.
            “Kalian kan tahu, aku udah nggak bisa apa-apa lagi! Kalian uruslah aku! Si Lilis betandang aja kerjanya. Si Marwan malas kali kalau disuruh. Si Rara sibuk terus dengan belajarnya yang les inilah, itulah. Si Ratna sama si Andi kerja terus sampai malam, udah lama nggak dikusuknya kakiku yang sakit.”
            Tak ada satu pun penghuni rumah yang terlewatkan dari absen cercaan Nek Siti yang secara mendadak malam ini. Semua mendapat jatahnya masing-masing.
            “Tidak begitu, Bu! Kami semua tentu sayang sama Ibu.” Andi anak bungsunya itu mencoba menenangkan Ibunya yang kini telah terisak tangis.
            “Mungkin kalau aku sudah mati, kalian akan senang. Nggak ada lagi yang merepotkan kalian!”
            “Aku punya anak lima, tapi lihat aja kakak-kakak dan abang-abangmu! Semenjak aku sakit, mereka semua tak pernah sekali pun pulang kampung untuk melihatku. Mereka semua sibuk berkeliaran di pulau Jawa dan Kalimantan sana. Bagi kalian aku ini hanya beban, kan? Kalau kalian tua nanti, kalian pasti akan merasakan!” Marahnya kian membara.
Mereka semua terdiam dalam lontaran keluh kesah Nek Siti.
“Maafkan kami, Bu. Mungkin apa yang kami lakukan selama ini masih salah di mata Ibu, tapi Ibu jangan berkata seperti itu. Ibu itu Nenek dari anak-anakku, Ibu dari suamiku, kalau ada apa-apa dengan Ibu, kami semua juga akan sedih.”
“Udahku tahan-tahan selama ini. Kuperhatikan aja kalian terus. Aku pun lebih milih mati aja dari pada kalian telantarkan aku.” Kata-kata menantunya ternyata tak mampu meredupkan amarahnya.
“Nggak boleh ngomong gitu loh, Nek. Kalau malaikat Izrail lewat gimana? Rara sayang kok sama Nenek. Rara janji deh nggak akan sibuk-sibuk lagi. Jadi nanti setiap malamnya insyallah Rara akan memijit kaki Nenek. Iya kan, Ma?” Rara dan Ibunya bergantian memadamkan api yang telah berkobar dalam dada Neneknya itu. Namun, tatapan Neneknya tetap kosong. Wajah tirusnya masih berhiaskan ketegangan.
***
“Astaghfirullah!!”
Rara tampak mondari-mandir di sekeliling rumahnya. Raut wajahnya bagai kepiting direbus. Setiap sudut rumah telah ia cari, namun ia tidak menemukan apa yang ia cari. Ia menyerah. Di halaman depan, ada Pak Mamat yang tengah menyiangi tanaman. Dia bingung melihat Rara yang dari tadi lalu lalang di depannya.
“Rara sedang mencari sesuatu atau sedang menunggu seseorang?”
“Rara lagi nyari Nenek, Pak,”
“Oh, Nenek? Nenek pergi.”
“Pergi? Kemana?”
“Bapak sih kurang tahu ke mana, tadi Nenek cuma minta tolong sama Bapak untuk memanggilkan taxi. Nenek juga bawa tasnya.”
“Tapi Nenekkan lumpuh, dia pergi ke mana dengan kursi rodanya?” Rara langsung mengambil telepon genggamnya, tangannya lincah menari pada tiap tombol. Dia mengirimkan pesan singkat kepada orangtua dan abangnya perihal hilangnya si Nenek. Saat  menunggu kehadiran orangtua dan abangnya, Wak Lilis pulang dari supermarket.
“Wak, Nenek hilang! Nenek pergi!”
“Cakap apa kau ini, Ra? Nenek kau kan lumpuh, mana bisa dia pergi jauh.”
Papa dan Mamanya pun tiba di rumah, disusul Marwan dengan sepeda motornya.
“Bagaimana Nenek bisa hilang, Ra?”
“Kata Pak Mamat, Nenek menyuruhnya memenggilkan taxi. Lalu Nenek pergi sambil membawa tasnya. Hanya saja Pak Mamat tak menanyakan ke mana Nenek pergi, Ma.”
“Ibu, maafkan kami, Bu,” Wajah mereka meredup, merasa telah berdosa.
***
Di suatu tempat, seorang Nenek tersenyum di tengah keramaian manusia seusianya. Di belakangnya, ada seorang suster mendorong kursi rodanya melewati lorong-lorong tembok bercat putih, hingga sampailah ia pada kamar sempit berukuran setengah dari kamarnya.
“Mudah-mudahan aku bisa nyaman di sini. Paling tidak, di sekitarku adalah orang-orang yang bernasib sama sepertiku. Tak diperhatikan keluarga, atau lebih parahnya dengan sengaja dicampakkan ke tempat ini karena dianggap menyusahkan.” Nek Siti pun berbaring di tempat tidur barunya, di sebelahnya juga ada seorang Nenek yang tengah terbaring sama sepertinya, Nenek itu tersenyum pada Nek Siti sebagai teman sekamarnya yang baru.
                                                                                                Medan, Agustus 2011
*Diterbitkan Harian Medan Bisnis Rubrik Rentak 16-10-2011

Puisi Favorit Aisyah

LELAKI MULIA

Bagiku, lelaki mulia…
Ialah yang tidak menghinakan wanita.
Sikapnya santun penuh hormat,
Ialah cermin dari pribadi yang taat.
Lelaki mulia…
Selalu menjaga wanita.
Tak membiarkannya kecewa,
Apalagi terluka..
Oleh janji-janji buta.
Lelaki mulia…
Yang tak akan umbar kata,
Melainkan dengan sikap yang nyata.
Ialah lelaki mulia..
Memuliakan wanita,
Terutama Ibunya…..

Akhlaknya tidak tercela..
Penuh kehati-hatian dalam bicara,
Berpikir seribu kali sebelum mencinta..
Khawatir kan menyakiti wanita.
Lelaki mulia…
Dimanakah kau berada?
Semoga kita kan dipertemukan jua…

Dakwatuna.com

Kata Aisyah

HERO IN MY LIFE

Ia sosok yang menjadi bagian penting dalam perjalanan hidupku. Jadinya aku seperti sekarang, berkat kerja kerasnya untuk masa depanku. Ia pemuda yang sederhana dan apa adanya. Sejak masa kanak-kanak kami dahulu, ia selalu tak banyak permintaan. Selalu legowo menerima apapun yang diberikan orang tua. Ia sosok yang humoris, cara bicaranya yang dahulu rada celat, membuat perkataannya unik. Hmm,, pada masa kanak-kanak, kami tak terlalu berbaur dalam urusan satu sama lain. Aku lebih pada dunia kamarku dan kesibukanku. Sementara ia pun demikian, berjibaku dengan urusannya.

Waktu mengubah cerita, kami yang memang tak berayah sejak lima tahun batang usiaku, membawa dampak sebuah tanggung jawab padanya. Melepas usianya yang ke-19 tahun, ia mengadu nasib di negeri orang, bekerja di lautan lepas dan baru mampu menghadirkannya kembali bertahun-tahun untuk memijak bumi pertiwi. Ah, padahal cerita kemarin tentang masa mudanya, belum selesai ia tunaikan. Hanya uraian kata yang ia sembahkan ke telingaku, "Ini untuk kalian..." Pengharapannya agar aku dan adikku bisa sukses, punya masa depan yang cerah dan tak terbelakang..

Episode-episode lembar kehidupan hitam dan abu-abu yang menyinggah di takdir kami, selalu kami hadapi bersama. Tangisku juga menjadi lukanya. Ia menjelma menjadi Ayah yang selalu kurindukan keberadannya di sisi. Ia menjadi penyambung mimpi-mimpi yang kutulis dalam lembar hidupku. Ia selaksa cahaya yang mengusir kelam akan masa depan yang sempat bergelanyut di kepalaku. Hingga kini, saat aku mampu menghasilkan sedikit uang, aku sangat bangga bercerita padanya. Aku ingin mandiri dan berpijak di kakiku sendiri. Tak ingin selalu membebaninya. 

Namun, ia selalu berkata, "Alhamdulillah kalau udah ada kerjaan, tapi jangan sibuk-sibuk kali. Jangan terganggu kuliahnya. Jangan capek-capek, jaga kesehatan." Atau pernah juga saat keuangan merosot, aku benar2 ingin kerja sampingan, tapi ia marah dan berkata, "Udah nggak usah Ika pikirkan! Abang masih sanggup membiayai kalian, kalau mau kerja ya kerja aja. Kalau mau kuliah ya kuliah aja." Air mataku menetes kala itu. Aku benar2 merasa ayah hadir di sosokmu kala itu.

Pada saat kesehatanku ambruk, entah berapa dalam kocek yang harus kau keluarkan dari sakumu. Begitupun ketika si bungsu muthi kecelakaan. Semua yang kau dapatkan, terkuras untuk kami. Namun begitupun kau mampu berkata, "Kalau kalian ingin sesuatu, bilang sama abang, kalau ada rezekinya, akan abang belikan."

Kau pun tak keberatan menunda rangkaian mimpimu, sebelum mampu menghantarkan kami pada realita mimpi yang kami bangun. Ya, itulah kau, abang yag mampu kuperkenalkan, serta yang kubanggakan.
Langkahku menjadi sarjana, ingin kuwujudkan pada bulan enam 2012, Bang. Ingin kupersembahkan yang terbaik untukmu dan Ibu, juga sebagai kado ulang tahunku. Aku tak pernah mengucapkan ini, Bang. Tak pernah mengucapkan bahwa aku sayang padamu. Karena kau pun tahu, bahwa keluarga kita tak pernah bersentimentil untuk itu, tapi aku sayang kau, Bang! Do'akan aku agar bebanmu mampu kupikul juga, agar bebanmu terasa ringan ketika aku sudah merelasiasikan mimpiku, dan bersama kita bangun istana sederhana kita, bersama ibu, muthi, keluarga kecil ibu, aku, kau atau bahkan bidadari yang kau sunting kelak.. Do'a ku agar kau selalu sehat, optimis dalam hidup, dan selalu menggingat yang maha hidup...

-PILAR AISYAH-