“Besok
ada seminar Hakikat Cinta, Fa. Ikutan yuk!”
“Sampai jam berapa, Al? Soalnya
besok sore aku harus ngajar.”
“Nggak lama kok, dari jam sembilan
sampai ba’da dzuhur. Nanti kalau memang kelamaan, kamu balik duluan saja,”
“Ok, sampai ketemu di ballroom besok
ya. Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikum salam,”
***
Kendaraanku
melesat menuju jalan Bromo. Seperti biasanya setiap jum’at pukul dua siang aku
ada agenda liqo’. Aku tiba di rumah sederhana Murobbiku pukul dua kurang
seperempat. Di dalam, sudah ada Hafsah, Widya, dan Ana. Masih ada waktu lima
belas menit lagi sambil menunggu Fitri dan Sofia datang, aku dan Hafsah keluar
sebentar membeli makanan wajib kami saat liqo’ yaitu gorengan.
“Liqo’
hari ini akan ada berita mengejutkan, Fa!”
“Oh
ya? memangnya ada berita apa?”
“Widya
sudah menerima proposal dari temannya saat Aliyah dulu.”
“Alhamdulillah,
sepertinya Widya akan menjadi orang pertama dari lingkaran cinta kita yang akan
menikah.”
“Aduh,
aku jadi galau..”
“Akan
ada waktunya Hafsah. Harus bersabar.”
“Ini
gorengannya, Nak.”
“Terimakasih,
Bu.”
Saat
kami kembali, Fitri dan Sofia sudah datang. Seperti biasa susunan liqo’ dimulai
dengan membaca Al-Quran, setoran hafalan, materi, dan terakhir khobar. Materi
pada pertemuan kali ini tentang kepribadian wanita soleha.
. ipstiknya adalah memperbanyak dzikir kepada Allah
dimanapun berada. Celak matanya adalah
dengan memperbanyak bacaan Al-Qur'an. Jika
seorang muslim menghiasi dirinya dengan perilaku
taqwa, maka akan terpancar cahaya keshalihan dari dirinya.” , l
Penjelasan
materi selesai saat adzan ashar berkumandang. Setelah sholat ashar berjamaah,
kami lanjutkan liqo’ dengan khobar. Aku sebagai Amiroh mempersilahkan Widya
terlebih dahulu untuk mengabarkan keadaannya sepekan ini.
“Begini
kak, tiga hari yang lalu Widya mendapatkan proposal dari teman Widya saat di Aliyah
dulu melalui Anissa yang juga sahabat Widya semasa Aliyah. Lalu kemarin, lelaki
itu juga datang langsung ke rumah menemui ayah dan menyampaikan maksudnya. Nah,
ayah dan ibu sendiri menyerahkan semua keputusan dengan Widya.”
“Sudah
istikharah?”
“Sudah
kak, dan Alhamdulillah Widya merasa yakin untuk menuju pernikahan.”
“Alhamdulillah,”
“Tetapi,
setelah pernikahan nanti Widya tidak bisa bersama lingkaran cinta ini lagi kak.
Widya akan ikut suami ke Ponorogo. Ia salah satu pengajar di pesantren Gontor
kak.”
“Tidak
apa-apa, nanti kakak bantu untuk mencarikan Murobbi pengganti di sana. Yang
penting tetap mengaji dan jangan lama-lama untuk proses nikahnya.”
“Ia
kak, insya allah pertengahan bulan depan. Mohon do’a nya dari kakak dan
teman-teman semua.”
***
“Karena saya lelaki, jadi menurut saya
Saat sadar, aku sudah berada di rumah sakit. Kepalaku berdenyut dan
kakiku terasa sakit. Ada perban yang kuraba di kening dan kakiku. Ya Allah, mengapa
aku bisa kurang hati-hati?
“Alhamdulillah kamu sudah siuman. Bagaimana? masih sakit?”
“Iya dokter. Siapa yang membawa saya ke sini, Dok?”
“Tadi anak saya yang menolong kamu, tetapi karena ada urusan lain jadi dia
buru-buru pergi.”
“Terimakasih banyak dok, dan tolong sampaikan juga terimakasih saya
dengan anak dokter.”
“Nanti saya sampaikan. Saya juga sudah telepon taxi untuk mengantar kamu
pulang karena sepeda motor kamu masuk bengkel.”
“Saya memang kurang hati-hati, Dok. Sekali lagi terimakasih banyak
dokter. Saya permisi, Assalamu’alaikum.”
“Wa’alikum salam,”
***
Karena luka di kakiku cukup serius akibat jatuh dari sepeda motor
kemarin, aku harus istirahat di rumah selama seminggu. Untungnya kampus sedang
liburan semester, jadi aku tidak perlu khawatir ketinggalan pelajaran.
Anak-anak didikku juga aku minta datang ke rumah agar mereka tetap bisa
belajar. Alya sahabatku, cukup membantuku untuk mengantar jemput anak-anak ke
rumahku dan pulang ke rumah mereka. Meskipun mereka sudah terbiasa hidup di
jalanan, tetapi keselamatan mereka juga sudah menjadi tanggung jawabku.
“Nak, ayo kita ke rumah sakit. Hari ini kan kita sudah janji dengan Dokter
Amar untuk buka perban kamu.”
“O iya, lupa. Keasyikan ngebloging, Ma. Asyifa siap-siap dulu ya,”
“Mama tunggu di mobil ya,”
***
“Alhamdulilah semuanya sudah membaik. Sudah tidak sakit lagi kan?”
“Nggak dok.”
“Tapi walaupun sudah baikan, kalau bisa sebulan ini jangan naik sepeda
motor dulu ya.”
“Iya dok. O iya dok, waktu itu sepeda motor saya kan masuk bengkel, terus
dua hari kemudian sudah langsung diantar ke rumah. Kok mereka tahu alamat rumah
saya ya dok?”
“Anak saya yang menyuruh orang bengkel untuk mengantar langsung ke rumah
kamu. Tahunya dari KTP kamu. Maaf kemarin anak saya mengambil KTP kamu untuk
melihat identitas. Ini saya balikkan, tadi pagi dia titip karena tahu kamu akan
buka perban hari ini.”
“Kalau ada waktu silahkan datang ke rumah dok dengan keluarga. Dokter sudah
baik sekali dengan Asyifa.”
“Sudah menjadi kewajiban saya, Bu. Insya allah,”
“Insya allahnya ditagih loh dokter.” Ucapku menegaskan. Dokter Amar hanya
tersenyum.
***
“Besok kita ada aksi solidaritas dan penggalangan dana untuk saudara kita
di Palestina. Titik kumpulnya di Masid Agung dan berakhir di bundaran SIB.”
Info Kak Sakina saat kami liqo’.
“Ok kak, siap!”
***
Di tengah konvoi penggalangan dana, gerimis turun. Tidak ada yang
berhenti meneduh. Semua tetap jalan tertib dalam barisan, begitupun dengan
teman-teman yang naik sepeda motor dan mobil pick-up. Jilbab sudah basah.
Sayangnya, aku dan teman-teman tidak prepare
akan jaket dan payung.
“Pakai ini,” Ucapnya.
Entah siapa ia yang memberiku jaketnya kemudian berlalu dengan sepeda
motornya menyusul teman-teman yang lain. Aku mempercepat gerakku agar masih
bisa mengetahui siapa ia dan tentu saja untuk mengembalikan jaketnya. Namun
kakiku yang baru pulih cidera tak mampu berbuat banyak. Aku kehilangan jejak di
keramaian manusia yang terlibat dalam aksi.
“Lihat ikhwan tadi nggak, Na?”
Tanyaku paada Ana saat konvoi sudah selesai.
“Nggak, Fa. Sudah kamu bawa pulang
saja jaketnya. Sekarang kita makan yuk! Aku lapar.”
***
“Assalamu’alaikum adik-adik,”
“Kak Syifa, Wa’alaikum salam..”
“Maaf ya, minggu lalu kakak nggak
bisa ngajar karena ada kegiatan lain.”
“Tenang kak, asisten kakak telah
hadir untuk menggantikan.” Lapor Rasyid sambil menunjuk dirinya sendiri.
“Terimakasih, Rasyid. Ini kakak
lihat buku bacaannya banyak yang baru ya? dari siapa?”
“Dari Mas Imam. Orangnya baik kak.
Selain ngasih buku baru, juga suka bawa makanan untuk kami.”
“Mas Imam siapa? Kok Kak Syifa baru
dengar namanya?”
“Jadi waktu kakak nggak masuk karena
jatuh dari motor, Mas Imam dan beberapa temannya datang ke sini untuk riset.
Terus tanya ini itu soal keadaan di sini kak.”
“Besok-besoknya Mas Imam bawa
buku-buku baru dan ngajarin kami mengaji.”
“Nanti Mas Imam juga mau datang kemari kak, mau ngajak makan di luar.”
“Itu
mobil Mas Imam datang,” Teriak anak-anak dengan senang.
“Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikum
salam,”
“Mas
Imam, ini Kak Asyifa.”
“Imam.
Maaf ya saya pikir kamu masih sakit, jadi saya mau bawa anak-anak makan di
luar.”
“Iya
nggak apa-apa. Silahkan kalau mau pergi sama anak-anak. Anak-anak sepertinya
juga sudah tidak sabar untuk pergi.”
“Kak
Syifa ikut ya! Boleh kan Mas Imam?”
“Tentu
saja boleh.”
Sebagian
anak-anak naik mobilku dan sebagian lagi naik mobil Imam. Ia mengajak anak-anak
ke Mall dan makan di restoran steak. Anak-anak bebas mau pesan makanan apa pun,
asal tidak berlebih-lebihan. Selesai makan, anak-anak minta main Tamzone dan ke
toko buku.
“Terimakasih
ya, kamu sudah baik sekali dengan anak-anak. Mereka kelihatan senang sekali.”
“Memang
sudah menjadi hak mereka. Kamu tidak perlu berterimakasih pada saya.” Lelaki
ini, seperti tidak asing bagiku.
***
“Syifa,
kamu sudah siap untuk menikah?” Kak Sakina bertanya padaku setelah kami selesai
liqo’.
“Kenapa
kakak menanyakan hal itu?”
“Mutarabbi
suami kakak sedang mencari istri. Ia menitipkan proposalnya pada suami kakak.
Setelah suami kakak pertimbangkan, ia meminta kakak untuk ikut membantu
mencarikan dari salah satu mutarabbi kakak. Kakak sudah membaca proposalnya,
dan menurut kakak kamu yang cocok dengannya.”
Aku
bingung harus menjawab apa. Selama ini, aku memang tidak pernah bercerita
tentang ikhwan manapun dengan Murabbiku. Termasuk tentang ikhwan yang
menolongku saat jatuh dari motor. Entah mengapa, aku ingin mengenalnya. Namun,
tidak ada yang kuketahui tentang dirinya. Aku juga malu kalau harus bertanya
langsung dengan Dokter Amar.
“Kalau
menurut kakak ia baik untuk Syifa dalam urusan dunia maupun akhirat, insya
allah Syifa bersedia tanpa harus membaca proposalnya.”
“Alhamdulillah,
kalau begitu jum’at depan sebelum kita mulai liqo’, kamu bisa berta’aruf
dengannya.”
“Baik
kak,” Insya Allah ini akan menjadi keputusan yang terbaik. Tidak ada alasan
bagiku untuk menolak bernazhar dengan seseorang yang diajukan Murobbiku. Hari
itu juga, sesampainya di rumah, aku memberitahu mama dan abi tentang nazhar dan
proses ta’aruf yang ditawarkan Kak Sakina.
“Abi
dan mama kamu setuju-setuju saja, asalkan ia baik secara agama.”
“Yang
penting kamu bahagia, Nak.” Ungkap mama sambil memelukku.
“Maaf
bu, tamunya sudah datang,”
“Suruh
masuk saja mbok,”
“Siapa
yang datang ma?”
“Dokter
Amar dan keluarganya. Tadi siang Dokter Amar telepon mama, dia bilang mau
memenuhi janji untuk silaturahmi waktu itu. Jadi mama dan abi mengundang Dokter
Amar dan keluarganya untuk makan malam di sini.”
“Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikum
salam, masuk dokter.”
“Maaf
baru bisa berkunjung sekarang. O iya ini istri saya Lia dan kedua anak saya
Imam dan Aira.”
Tidak
tahu sekenario apa yang sedang berjalan saat ini, yang jelas aku merasa
terkejut. Saat ini orang yang membuatku ingin mengenalnya hadir di hadapanku di
saat aku sudah menyepakati untuk bernazhar dan melakukan proses ta’aruf dengan
ikhwan pilihan Murobbiku. Tidak hanya itu, lelaki itu ternyata Imam. Imam yang
disenangi anak-anak jalanan didikanku. Aku mencoba menahan beberapa pertanyaan
di kepalaku. Aku tidak ingin mengganggu keakraban abi dengan Dokter Amar dan
Imam, begitu pula mama dan Tante Lia. Aku hanya mengobrol dengan Aira.
“Apa
kegiatan sekarang, Mam?”
“Hanya
pengusaha kecil-kecilan, Om.”
“Dia
ini orangnya merendah sekali. Setelah lulus S2 bisnis di Jerman, dia buka
restoran steak di sini join sama
teman-temannya. Alhamdulillah mereka sudah memiliki delapan cabang. Ada di
Medan, Jakarta, Jogja, Bali, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Lombok.”
“Wah,
bagus itu anak muda berjiwa enterprenuer.”
“Mohon
do’anya, Om.”
***
Besoknya
aku bertemu dengan Imam saat mengajar anak-anak mengaji. Sikapnya tetap tenang
seperti tadi malam.
“Kenapa
kamu nggak bilang kalau kamu yang sudah menolong saya waktu itu?”
“Apa
perlu saya mengatakan hal tersebut? Apa pantas kita menguraikan pertolongan
terhadap seseorang?”
“Jaket
ini, apa ini juga punya kamu? Saya baru sadar, bahwa di saku jaket ada kartu
nama seseorang yang bernama Imam Abdullah.”
“Maaf
waktu itu kurang sopan memberikannya karena juga harus buru-buru menghindari
hujan dan menyusul teman-teman yang lain.”
“Pantas
waktu pertama kali bertemu di sini, kamu seperti tidak asing bagi saya.”
“Kehidupan
ini memang penuh dengan kejutan-kejutan. Baik kejutan yang menyenangkan, maupun
kejutan yang mengecewakan. Maka dari itu rukun iman yang terakhir kita
diwajibkan mengimani qadha dan qadhar.”
***
“Insya
Allah ia calon yang baik,” Hibur Kak Sakina mengetahui kegelisahanku.
Ya,
hari ini seperti yang telah dijadwalkan, aku akan bertemu dengan ikhwan yang
diajukan Murobbiku. Abi dan mama juga menemaniku di sini.
“Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikum
salam,”
“Dokter
Amar?”
“Asyifa?”
Kami
sama-sama terkejut. Di belakang Dokter Amar ada Tante Lia dan Imam.
“Ya
Allah, kalau ini calonnya tidak usah mikir dua kali.” Ungkap mama. Abi dan
Dokter Amar tertawa. Tante Lia, Kak Sakina, Ustadz Affan tersenyum memandangku.
“Selalu
ada kejutan dalam hidup,”
“Baik
yang menyenangkan, maupun yang mengecewakan.” Aku menyambung kalimatnya. Ia
tersenyum, aku tertunduk malu.
Allah
memiliki rencana yang indah untuk setiap laki-laki dan wanita yang bedo’a dan
percaya padaNya.
Juni,
2014