Selasa, 02 September 2014

Cerpen ke-8 Pilar Aisyah di Dakwatuna (Kakak Sudah Membaca Proposalnya, Dia Cocok Untukmu

“Besok ada seminar Hakikat Cinta, Fa. Ikutan yuk!”
            “Sampai jam berapa, Al? Soalnya besok sore aku harus ngajar.”
          “Nggak lama kok, dari jam sembilan sampai ba’da dzuhur. Nanti kalau memang kelamaan, kamu balik duluan saja,”
            “Ok, sampai ketemu di ballroom besok ya. Assalamu’alaikum,”
            “Wa’alaikum salam,”
***
Kendaraanku melesat menuju jalan Bromo. Seperti biasanya setiap jum’at pukul dua siang aku ada agenda liqo’. Aku tiba di rumah sederhana Murobbiku pukul dua kurang seperempat. Di dalam, sudah ada Hafsah, Widya, dan Ana. Masih ada waktu lima belas menit lagi sambil menunggu Fitri dan Sofia datang, aku dan Hafsah keluar sebentar membeli makanan wajib kami saat liqo’ yaitu gorengan.
“Liqo’ hari ini akan ada berita mengejutkan, Fa!”
“Oh ya? memangnya ada berita apa?”
“Widya sudah menerima proposal dari temannya saat Aliyah dulu.”
“Alhamdulillah, sepertinya Widya akan menjadi orang pertama dari lingkaran cinta kita yang akan menikah.”
“Aduh, aku jadi galau..”
“Akan ada waktunya Hafsah. Harus bersabar.”
“Ini gorengannya, Nak.”
“Terimakasih, Bu.”
Saat kami kembali, Fitri dan Sofia sudah datang. Seperti biasa susunan liqo’ dimulai dengan membaca Al-Quran, setoran hafalan, materi, dan terakhir khobar. Materi pada pertemuan kali ini tentang kepribadian wanita soleha.
"Rasulluloh bersabda, dunia adalah perhiasan dan sebaik-baiknya perhiasan dunia adalah wanita sholeha (HR.Muslim). Bahwa ciri khas seorang wanita sholeha adalah ia mampu menjaga pandanganya. Ciri lainya adalah bahwa dia senantiasa taat kepada Allah dan RasulNya. Make-upnya adalah basuhan air wudhu, lipstiknya adalah memperbanyak dzikir kepada Allah dimanapun berada. Celak matanya adalah dengan memperbanyak bacaan Al-Qur'an. Jika seorang muslim menghiasi dirinya dengan perilaku taqwa, maka akan terpancar cahaya keshalihan dari dirinya.”
“Wanita dengan kecantikan yang ia miliki, lebih anggun daripada mentari. Wanita dengan akhlak yang ia miliki, lebih harum daripada kasturi. Wanita dengan kerendahan hati yang ia miliki, lebih tinggi daripada rembulan. Wanita dengan sifat keibuan yang ia miliki, lebih menyegarkan daripada hujan. Oleh kerana itu, peliharalah kecantikan itu dengan iman. Peliharalah keridhoan itu dengan sikap qana’ah, dan peliharalah kesucian diri itu dengan hijab.” Tutur Kak Sakinah.
Penjelasan materi selesai saat adzan ashar berkumandang. Setelah sholat ashar berjamaah, kami lanjutkan liqo’ dengan khobar. Aku sebagai Amiroh mempersilahkan Widya terlebih dahulu untuk mengabarkan keadaannya sepekan ini.
“Begini kak, tiga hari yang lalu Widya mendapatkan proposal dari teman Widya saat di Aliyah dulu melalui Anissa yang juga sahabat Widya semasa Aliyah. Lalu kemarin, lelaki itu juga datang langsung ke rumah menemui ayah dan menyampaikan maksudnya. Nah, ayah dan ibu sendiri menyerahkan semua keputusan dengan Widya.”
“Sudah istikharah?”
“Sudah kak, dan Alhamdulillah Widya merasa yakin untuk menuju pernikahan.”
“Alhamdulillah,”
“Tetapi, setelah pernikahan nanti Widya tidak bisa bersama lingkaran cinta ini lagi kak. Widya akan ikut suami ke Ponorogo. Ia salah satu pengajar di pesantren Gontor kak.”
“Tidak apa-apa, nanti kakak bantu untuk mencarikan Murobbi pengganti di sana. Yang penting tetap mengaji dan jangan lama-lama untuk proses nikahnya.”
“Ia kak, insya allah pertengahan bulan depan. Mohon do’a nya dari kakak dan teman-teman semua.”
***
Karena saya lelaki, jadi menurut saya lelaki yang berpredikat lelaki terbaik adalah seorang suami yang memuliakan istrinya. Suami yang selalu mengukirkan senyuman di wajah istrinya. Suami yang menjadi qawwam yakni pemimpin dan pelindung istrinya. Suami yang begitu tangguh mencarikan nafkah halal untuk keluarga. Suami yang tak lelah berlemah lembut mengingatkan kesalahan istrinya. Suami yang menjadi seorang nahkoda kapal keluarga, mengarungi samudera agar selamat menuju tepian hakiki Surga. Dia memegang teguh firman Allah, "Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (QS. At-Tahrim: 6). Itulah hakikat cinta.” Urai Ust. Ilham pada seminar hakikat cinta yang aku dan Alya ikuti.
“Namun cinta di atas segala cinta adalah ketaatan terhadapNya. Hidup saat ini dan setelahnya adalah berkat cintaNya. Segala yang berlandaskan karenaNya adalah sebuah hakikat cinta yang sejati.” Lanjutnya.
“Subhanallah, bagus sekali penjelasan dari Ustadz Ilham ya, Fa.”
“Iya, Al. Cinta di atas segala cinta adalah ketaatan terhadapNya. Al, aku balik duluan ya. Sekarang sudah jam setengah tiga, nggak enak kalau anak-anak harus menunggu lama.”
“Ok. Hati-hati, Fa.”
Aku melajukan sepeda motorku dengan cepat meninggalkan areal ballroom. Karena kurang hati-hati di jalanan yang memang masih basah akibat hujan tadi pagi, aku terjatuh dari sepeda motorku. Sebelum kesadaranku hilang, aku melihat seseorang menolongku.
***
Saat sadar, aku sudah berada di rumah sakit. Kepalaku berdenyut dan kakiku terasa sakit. Ada perban yang kuraba di kening dan kakiku. Ya Allah, mengapa aku bisa kurang hati-hati?
“Alhamdulillah kamu sudah siuman. Bagaimana? masih sakit?”
“Iya dokter. Siapa yang membawa saya ke sini, Dok?”
“Tadi anak saya yang menolong kamu, tetapi karena ada urusan lain jadi dia buru-buru pergi.”
“Terimakasih banyak dok, dan tolong sampaikan juga terimakasih saya dengan anak dokter.”
“Nanti saya sampaikan. Saya juga sudah telepon taxi untuk mengantar kamu pulang karena sepeda motor kamu masuk bengkel.”
“Saya memang kurang hati-hati, Dok. Sekali lagi terimakasih banyak dokter. Saya permisi, Assalamu’alaikum.”
“Wa’alikum salam,”
***
Karena luka di kakiku cukup serius akibat jatuh dari sepeda motor kemarin, aku harus istirahat di rumah selama seminggu. Untungnya kampus sedang liburan semester, jadi aku tidak perlu khawatir ketinggalan pelajaran. Anak-anak didikku juga aku minta datang ke rumah agar mereka tetap bisa belajar. Alya sahabatku, cukup membantuku untuk mengantar jemput anak-anak ke rumahku dan pulang ke rumah mereka. Meskipun mereka sudah terbiasa hidup di jalanan, tetapi keselamatan mereka juga sudah menjadi tanggung jawabku.
“Nak, ayo kita ke rumah sakit. Hari ini kan kita sudah janji dengan Dokter Amar untuk buka perban kamu.”
“O iya, lupa. Keasyikan ngebloging, Ma. Asyifa siap-siap dulu ya,”
“Mama tunggu di mobil ya,”
***
“Alhamdulilah semuanya sudah membaik. Sudah tidak sakit lagi kan?”
“Nggak dok.”
“Tapi walaupun sudah baikan, kalau bisa sebulan ini jangan naik sepeda motor dulu ya.”
“Iya dok. O iya dok, waktu itu sepeda motor saya kan masuk bengkel, terus dua hari kemudian sudah langsung diantar ke rumah. Kok mereka tahu alamat rumah saya ya dok?”
“Anak saya yang menyuruh orang bengkel untuk mengantar langsung ke rumah kamu. Tahunya dari KTP kamu. Maaf kemarin anak saya mengambil KTP kamu untuk melihat identitas. Ini saya balikkan, tadi pagi dia titip karena tahu kamu akan buka perban hari ini.”
“Kalau ada waktu silahkan datang ke rumah dok dengan keluarga. Dokter sudah baik sekali dengan Asyifa.”
“Sudah menjadi kewajiban saya, Bu. Insya allah,”
“Insya allahnya ditagih loh dokter.” Ucapku menegaskan. Dokter Amar hanya tersenyum.
***
“Besok kita ada aksi solidaritas dan penggalangan dana untuk saudara kita di Palestina. Titik kumpulnya di Masid Agung dan berakhir di bundaran SIB.” Info Kak Sakina saat kami liqo’.
“Ok kak, siap!”
***
Di tengah konvoi penggalangan dana, gerimis turun. Tidak ada yang berhenti meneduh. Semua tetap jalan tertib dalam barisan, begitupun dengan teman-teman yang naik sepeda motor dan mobil pick-up. Jilbab sudah basah. Sayangnya, aku dan teman-teman tidak prepare akan jaket dan payung.
“Pakai ini,” Ucapnya.
Entah siapa ia yang memberiku jaketnya kemudian berlalu dengan sepeda motornya menyusul teman-teman yang lain. Aku mempercepat gerakku agar masih bisa mengetahui siapa ia dan tentu saja untuk mengembalikan jaketnya. Namun kakiku yang baru pulih cidera tak mampu berbuat banyak. Aku kehilangan jejak di keramaian manusia yang terlibat dalam aksi.
            “Lihat ikhwan tadi nggak, Na?” Tanyaku paada Ana saat konvoi sudah selesai.
            “Nggak, Fa. Sudah kamu bawa pulang saja jaketnya. Sekarang kita makan yuk! Aku lapar.”
            ***
            “Assalamu’alaikum adik-adik,”
            “Kak Syifa, Wa’alaikum salam..”
            “Maaf ya, minggu lalu kakak nggak bisa ngajar karena ada kegiatan lain.”
            “Tenang kak, asisten kakak telah hadir untuk menggantikan.” Lapor Rasyid sambil menunjuk dirinya sendiri.
            “Terimakasih, Rasyid. Ini kakak lihat buku bacaannya banyak yang baru ya? dari siapa?”
            “Dari Mas Imam. Orangnya baik kak. Selain ngasih buku baru, juga suka bawa makanan untuk kami.”
            “Mas Imam siapa? Kok Kak Syifa baru dengar namanya?”
            “Jadi waktu kakak nggak masuk karena jatuh dari motor, Mas Imam dan beberapa temannya datang ke sini untuk riset. Terus tanya ini itu soal keadaan di sini kak.”
            “Besok-besoknya Mas Imam bawa buku-buku baru dan ngajarin kami mengaji.”
“Nanti Mas Imam juga mau datang kemari kak, mau ngajak makan di luar.”
“Itu mobil Mas Imam datang,” Teriak anak-anak dengan senang.
“Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikum salam,”
“Mas Imam, ini Kak Asyifa.”
“Imam. Maaf ya saya pikir kamu masih sakit, jadi saya mau bawa anak-anak makan di luar.”
“Iya nggak apa-apa. Silahkan kalau mau pergi sama anak-anak. Anak-anak sepertinya juga sudah tidak sabar untuk pergi.”
“Kak Syifa ikut ya! Boleh kan Mas Imam?”
“Tentu saja boleh.”
Sebagian anak-anak naik mobilku dan sebagian lagi naik mobil Imam. Ia mengajak anak-anak ke Mall dan makan di restoran steak. Anak-anak bebas mau pesan makanan apa pun, asal tidak berlebih-lebihan. Selesai makan, anak-anak minta main Tamzone dan ke toko buku.
“Terimakasih ya, kamu sudah baik sekali dengan anak-anak. Mereka kelihatan senang sekali.”
“Memang sudah menjadi hak mereka. Kamu tidak perlu berterimakasih pada saya.” Lelaki ini, seperti tidak asing bagiku.
***
“Syifa, kamu sudah siap untuk menikah?” Kak Sakina bertanya padaku setelah kami selesai liqo’.
“Kenapa kakak menanyakan hal itu?”
“Mutarabbi suami kakak sedang mencari istri. Ia menitipkan proposalnya pada suami kakak. Setelah suami kakak pertimbangkan, ia meminta kakak untuk ikut membantu mencarikan dari salah satu mutarabbi kakak. Kakak sudah membaca proposalnya, dan menurut kakak kamu yang cocok dengannya.”
Aku bingung harus menjawab apa. Selama ini, aku memang tidak pernah bercerita tentang ikhwan manapun dengan Murabbiku. Termasuk tentang ikhwan yang menolongku saat jatuh dari motor. Entah mengapa, aku ingin mengenalnya. Namun, tidak ada yang kuketahui tentang dirinya. Aku juga malu kalau harus bertanya langsung dengan Dokter Amar.
“Kalau menurut kakak ia baik untuk Syifa dalam urusan dunia maupun akhirat, insya allah Syifa bersedia tanpa harus membaca proposalnya.”
“Alhamdulillah, kalau begitu jum’at depan sebelum kita mulai liqo’, kamu bisa berta’aruf dengannya.”
“Baik kak,” Insya Allah ini akan menjadi keputusan yang terbaik. Tidak ada alasan bagiku untuk menolak bernazhar dengan seseorang yang diajukan Murobbiku. Hari itu juga, sesampainya di rumah, aku memberitahu mama dan abi tentang nazhar dan proses ta’aruf yang ditawarkan Kak Sakina.
“Abi dan mama kamu setuju-setuju saja, asalkan ia baik secara agama.”
“Yang penting kamu bahagia, Nak.” Ungkap mama sambil memelukku.
“Maaf bu, tamunya sudah datang,”
“Suruh masuk saja mbok,”
“Siapa yang datang ma?”
“Dokter Amar dan keluarganya. Tadi siang Dokter Amar telepon mama, dia bilang mau memenuhi janji untuk silaturahmi waktu itu. Jadi mama dan abi mengundang Dokter Amar dan keluarganya untuk makan malam di sini.”
“Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikum salam, masuk dokter.”
“Maaf baru bisa berkunjung sekarang. O iya ini istri saya Lia dan kedua anak saya Imam dan Aira.”
Tidak tahu sekenario apa yang sedang berjalan saat ini, yang jelas aku merasa terkejut. Saat ini orang yang membuatku ingin mengenalnya hadir di hadapanku di saat aku sudah menyepakati untuk bernazhar dan melakukan proses ta’aruf dengan ikhwan pilihan Murobbiku. Tidak hanya itu, lelaki itu ternyata Imam. Imam yang disenangi anak-anak jalanan didikanku. Aku mencoba menahan beberapa pertanyaan di kepalaku. Aku tidak ingin mengganggu keakraban abi dengan Dokter Amar dan Imam, begitu pula mama dan Tante Lia. Aku hanya mengobrol dengan Aira.
“Apa kegiatan sekarang, Mam?”
“Hanya pengusaha kecil-kecilan, Om.”
“Dia ini orangnya merendah sekali. Setelah lulus S2 bisnis di Jerman, dia buka restoran steak di sini join sama teman-temannya. Alhamdulillah mereka sudah memiliki delapan cabang. Ada di Medan, Jakarta, Jogja, Bali, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Lombok.”
“Wah, bagus itu anak muda berjiwa enterprenuer.”
“Mohon do’anya, Om.”
***
Besoknya aku bertemu dengan Imam saat mengajar anak-anak mengaji. Sikapnya tetap tenang seperti tadi malam.
“Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu yang sudah menolong saya waktu itu?”
“Apa perlu saya mengatakan hal tersebut? Apa pantas kita menguraikan pertolongan terhadap seseorang?”
“Jaket ini, apa ini juga punya kamu? Saya baru sadar, bahwa di saku jaket ada kartu nama seseorang yang bernama Imam Abdullah.”
“Maaf waktu itu kurang sopan memberikannya karena juga harus buru-buru menghindari hujan dan menyusul teman-teman yang lain.”
“Pantas waktu pertama kali bertemu di sini, kamu seperti tidak asing bagi saya.”
“Kehidupan ini memang penuh dengan kejutan-kejutan. Baik kejutan yang menyenangkan, maupun kejutan yang mengecewakan. Maka dari itu rukun iman yang terakhir kita diwajibkan mengimani qadha dan qadhar.”
***
“Insya Allah ia calon yang baik,” Hibur Kak Sakina mengetahui kegelisahanku.
Ya, hari ini seperti yang telah dijadwalkan, aku akan bertemu dengan ikhwan yang diajukan Murobbiku. Abi dan mama juga menemaniku di sini.
“Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikum salam,”
“Dokter Amar?”
“Asyifa?”
Kami sama-sama terkejut. Di belakang Dokter Amar ada Tante Lia dan Imam.
“Ya Allah, kalau ini calonnya tidak usah mikir dua kali.” Ungkap mama. Abi dan Dokter Amar tertawa. Tante Lia, Kak Sakina, Ustadz Affan tersenyum memandangku.
“Selalu ada kejutan dalam hidup,”
“Baik yang menyenangkan, maupun yang mengecewakan.” Aku menyambung kalimatnya. Ia tersenyum, aku tertunduk malu.
Allah memiliki rencana yang indah untuk setiap laki-laki dan wanita yang bedo’a dan percaya padaNya.


                                                                                                                 Juni, 2014

Belajar Tentang Kamu


Assalamu'alaikum,


Hari-hari terus bergulir, berjalan menurut titah TuhanNya.
dan dalam hari-hari itu pula secara bersamaan terus mempertanyakan kesetiaanku padamu,
pada keyakinan yang kupercayakan bahwa kaulah yang memang akan hadir membawa kisah kita menuju keridhoanNya.

Ini sedikit aneh, tak salah juga bila dikatakan sedikit gila. Aku mempercayakanmu untuk menjemputku dalam ikatan suci. Sementara, aku sendiri tak tahu banyak tentangmu. Bahkan tak tahu dimana keberadaanmu sekarang. Aku hanya mengenalmu lewat jejak-jejak tulisan yang kau torehkan. Aku membaca pribadimu dari apa yang kau tulis di dalam medsos pribadimu. Oh, tidak-tidak! ini bukan tentang kisah dunia maya. Aku mengetahui sosokmu dengan jelas. Ya, paling tidak kita pernah bertemu tiga kali meski tanpa ada sepatah kata dan sapa yang terlontar. Dan dalam waktu yang sedikit itu, aku belajar tentangmu.
Tentangmu yang aktif di beberapa organisasi islam bahkan pernah diamanahkan sebagai sosok nomor satu. Tentangmu yang ternyata juga suka menulis dan mengutip kepingan-kepingan hikmah dalam hidup.
Tentangmu yang tak mengumbar pesona, meski karena itu kau malah jadi mempesona.
Tentang kebiasaanmu duduk di majelis ilmu, tentang kesederhanaanmu, tentang cara pikirmu, tentang bagaimana kau memahami sesuatu, tentang kepedulian dan cintamu pada dien rahmatan lil 'alamin.
Sementara bagaimana aku dimatamu, aku sendiri tidak tahu. Atau bahkan, tak ada kata aku di memorimu?
Semua itu tidak menjadi masalah bagiku. Karena itu memang hal yang baik untuk kau jalani. Biar cinta itu murni, perawan, dan semata karenaNya.

Sepertinya aku terlihat terobsesi padamu. Tapi tidak demikian. Karena meskipun pengharapan itu ada bersamamu, namun ketetapanNya lebih harus dicintai.
Aku hanya terlanjur mengetahuimu. Terlanjur melihat kepadamu, karena bagaimanapun, tentu aku mengharapkan lelaki yang tak hanya sekedar baik, namun Lelaki yang mencintaiku karena tuhanNya. Lelaki yang mencintai Allah dan Rosulnya tidak hanya sekedar dengan kata, tapi juga melaksanakannya dengan cinta. Dan aku yakin, masih ada seseorang dengan cinta yang demikian. Seperti yang Allah firmankan, “Wanita baik-baik untuk laki-laki baik-baik.” Karena keyakinan akan firmanNya itu aku selalu berusaha menjadi wanita yang baik di hadapan Allah. Agar kelak, aku mempunyai keluarga yang penuh cinta terhadapNya.

Aku tidak tahu apakah cinta seperti ibunda Fatimah dan khalifah Ali yang kudambakan ini, Allah ridhoi juga menjadi kisahku. Jujur, lamaran-lamaran yang telah datang tak bisa kusambut dengan ahlan wa sahlan. Lamaran itu tertolak karena keyakinan cinta itu menuju padamu.

Saat kefuturan datang, saat keimanan yang tak statis itu berada di bawah, saat totalitas di jalan kebaikan itu memudar, keresahan itu pun datang. Aku resah bila tak pantas membersamaimu. Bersebab jodoh berbanding lurus kan? Karena keyakinanku meski tak terjangkau pandanganku, kau terus dijalan kebaikan. Seperti janjimu untuk tetap menggali ilmu dan menjadi manusia yang bermanfaat bagi kebanyakan orang.

Belajar tentangmu, mengetahui tentangmu, seperti suatu kebaikan sendiri buatku. Karena itu adalah sebaik-baik perkara. Adalah suatu kebaikan bila cinta kita menggiatkan cinta kita pula padaNya. Bila esok saat waktu tak menjawab harap, aku hanya bisa mendo'akan kebaikan untukmu. Kebahagiaan dan kepantasaanmu mendapatkan yang terbaik dariNya. Namun bila Allah memiliki keridhoan akan kita, itu semua bukan karena aku, tapi karena kebersediaanmu menerimaku apa adanya. Kurayu Tuhan bukan semata karena cintaku padamu, namun karena keinginanku bertemu denganNya di jannah melaluimu.


Ada ia yang meskipun kini bayangnya menghilang, namun kuyakin Allah akan menuntunmu untuk pulang ke rumah yang telah kusucikan..

                                                                                                              *Sepertiga malam yang merindu