Jumat, 23 Desember 2011

Rindu Karena Allah

Ini bukan sekedar kata-kata agar kamu jatuh hati padaku, namun ini adalah kejujuranku. Mengapa aku berkata seperti ini? Karena aku menyukai orang-orang yang mencintaiNya. ... yang mencintai RasulNya... dan denganmu... kuharap keteguhanmu bisa mengajakku serta untuk semakin mencintaiNya. ..

Aku merindukanmu karena Allah

Ini bukan untaian rahasia dalam hatiku untuk memikatmu. Mengapa aku berkata seperti ini? karena aku tahu... mengucapkan ikrar suci itu menyempurnakan hidupku. Dan... Pernikahan adalah sunnah Rasullullah dan
Rasulullah adalah kekasih Allah. Cinta adalah anugerahNya yang ditumbuhkan dihati orang-orang yang dikehendakiNya. Bagaimana aku tidak merindukan
kehadiranmu wahai kekasih.... to come in my life ???

Aku menunggumu karena Allah

Ini bukan rajutan perasaan untuk sebuah penantian. Mengapa aku berkata seperti ini? Karena aku tahu, diriku terlalu banyak kekurangan.. . dan karenanya... aku butuh seseorang yang lebih halus untuk menaklukkan hatiku
yang tegas dan yang lebih tangguh untuk menguatkan hatiku yang lemah dengan ijinNya...

Aku tahu... terlalu banyak yang harus aku perbaiki... karenanya, aku menunggumu untuk menjadi pendamping hidupku... aku menunggumu untuk lebih membimbingku dengan tulusmu... untuk lebih mengajariku dengan
sabar hingga kenikmatan imanku terhadapNya semakin dalam dengan ijinNya.... disetiap harinya... untuk selama-lamanya.. Aamin ya Rabbal'alamin...

Aku tahu,dalam hatiku... aku tak ingin hidup sendiri, karenanya, aku berharap... Allah menganugerahkan padaku seorang imam untuk berbagi banyak hal dan menerima apa adanya diriku beserta keluargaku.. .
Kekasih... bila Engkau benar-benar ada dalam hidupku...
semoga Allah memantapkan hati kita dan mendekatkan kita dijalan yang lebih Ia Ridhoi

Aamiin ya Rabbal'alamin...

Aku mencintaimu karena Allah... aku merindukanmu karena Allah dan aku menunggumu karena Allah...

Ya Rabbi... redamkanlah rinduku dijalan yang terbaik menurut Engkau untuk dunia dan akhiratku ..

Aamin ya Rabbal'alamin.....


Makanan Favorit Pilar Aisyah


Setiap orang pasti punya makanan favorit, walaupun sebagai orang yang hobi berwisata kuliner (kalau lagi banyak uang dan ditraktir,, eheheh), sebenarnya banyak makanan lain yang saya suka, tapi 3 favorit teratas adalah makanan berikut ini! cekidot,,,

1. Durian. Yang paling lazis tentu saja durian montong...
    tampak menggiurkan sekali...


2. Roti Abon. Dimulai dari abon sapi, ayam, bntuknya bulet, panjang, bulet, dll semuanya suka deh..


3. Pancake Durian. Nggak jauh dari yang pertama neh, bahan dasar cake ini emang durian. Mantabb banget. yang pecinta durian pasti menyukai inovatif dari pengolahan durian ini..
Nah, makanan ini bisa dinikmati dengan minuman apa aja..
Kalau aku sih bakal milih susu coklat hangat, jus semangka, dan lemon tea.
Kalau kamu???

Kamis, 22 Desember 2011

Tentang Seorang Wanita yang Mencinta Tanpa Syarat (For Uma ku)

Bagaimana harus Ananda mulai kisah ini, Bu? Kisah tentang seorang wanita yang mencinta tanpa syarat? Seorang wanita yang dengan sentuhan lembutnya membesarkan Ananda dengan penuh kasih sayang dan ketegaran untuk survive dalam menjalani kehidupan.
Bu, Ingin kucium kedua tanganmu yang selalu membelaiku dengan mesra. Karena kedua tangan itu, sedari dulu telah banyak Ananda minta perhatian untuk sekedar menyuapi Ananda makan, membelai Ananda, menghapus tangis Ananda, membersihkan Ananda saat dalam kedaan berhajat, memandikan Ananda, menggendong Ananda kala kecil saat hendak bermanja dan tertidur dalam gendonganmu. Atau entah apa lagi yang engkau buat dengan kedua tanganmu untuk Ananda.
Hingga dewasa Ananda kini, Ananda merasa belum banyak memberikan apapun untukmu. Walaupun setiap harinya Ananda selalu mencoba untuk meyenangkanmu dan tidak membuatmu terluka sebab ulah Ananda.
Bu, Ananda minta maaf, jika Ananda kurang memperhatikanmu. Ananda lebih banyak menghabiskan waktu di luar, di sisi-sisi orang lain, dibandingkan berada di sisimu. Alasan yang klise memang, demi masa depan dan memberikan sesuatu yang bermanfaat untuk orang lain. Engkau memang tak pernah menyalahkan Ananda dengan keadaan ini, karena engkau percaya apa yang Ananda lakukan adalah baik. Bagimu, cukup Ananda belajar dengan baik, menjadi anak yang berprestasi, dan pandai memilah yang baik dan buruk, itu sudah cukup. Dan Ananda pun bahagia Bu, saat kau tersenyum bahagia atas Ananda.
Dari kesemua anakmu, mungkin Ananda yang memang sedikit berbeda. Fisik Ananda yang mungkin lebih rentan untuk sakit, selalu merepotkanmu. Bahkan, walaupun Ananda punya adik, tapi tetap saja, seperti Ananda yang anak bungsu. Walaupun kadang engkau ribut dengan kebandelan yang Ananda buat, tapi selalu ada tawa untuk akhir keributan itu. itulah cintamu dan cinta Ananda. ^.^
Masa sulit dan bahagia juga sudah kita alami bersama. Termasuk kesurvive-an kita semenjak Ayahanda kembali ke Sang Penggenggam Kehidupan. Sebagai single parent dengan tiga buah hati, engkau tetap menyapa kehidupan ini dengan senyummu. Engkau berubah menjadi sosok ganda sebagai Ayah dan Ibu. Berusaha mempertahankan hidup kita untuk tetap ‘layak’.
Dalam kecintaan Ananda padamu, Ananda ingin mengakui sebuah kejujuran di mana Ananda pernah merasa kecewa akan sikap dan keputusanmu. Keputusan untuk menghadirkan sosok baru dalam hidup Ananda. Ananda tidak bisa terima itu, Bu. Tak ada orang lain yang mampu menggantikan sosok yang telah pergi. Bahkan, engkau pun tak mempertanyakan pendapat kami dalam perkara ini, Bu. Berat sekali Ananda rasakan kenyataan itu. Enam tahun Ananda yakinkan diri bahwa itu adalah yang terbaik untukmu. Hingga sekarang Ananda mencoba mencintai apa yang engkau cintai.
Kita tampak berbeda dalam segala hal, Bu. Antara kita pun tak memunafikkan itu. termasuk dalam cinta. Bukankah pepatah mengatakan cinta ibu sepanjang jalan, sedangkan cinta anak hanya sepanjang galah? Namun, Ananda berharap, cinta yang Ananda punya lebih panjang dari pepatah itu.
Sebenarnya setiap hari itu adalah harimu, setiap saat Ananda tahu selalu bertabur rasa cinta di antara kita. Meski kadang hal itu tak terbilang sekalipun. Lewat kemampuan Ananda, Ananda ingin mempersembahkan sesuatu untuk mengabdikanmu dalam untaian kata bermakna cinta dalam bungkus sederhana pesan Ananda.
Ananda malu, Bu. Jadi Ananda letakkan saja ia di depan pintu kamarmu, lalu dengan sendirinya kan engkau temui kisah Ananda untukmu. Untukmu malaikat duniaku….
Cintamu padaku, seperti cinta embun pada dedaunan
Bahkan lebih dari itu,
Belaianmu selembut dan sehangat mentari kehidupan
Bahkan lebih dari itu,
Tak ada kata yang mampu menggambarkan maknamu untukku Bu
Tidak juga seluruh syair dan kata yang kupunya
Terimakasih Bu, atas cinta tak bersyaratmu… u are everything… ^.^

Kamis, 15 Desember 2011

Cerpen favorit Aisyah (Menyamuderakan Cinta Si Pecinta)


0diggsdigg

email
dakwatuna.com – Malam semakin larut, angin berbisik sayup-sayup terdengar di balik jendela yang sedikit terbuka. Menyelisik hati bersama hawa dingin yang diam-diam mengalir masuk. Dinginnya mampu menggigilkan tubuh perempuan yang mengintip rembulan dari sebalik gorden kamarnya. Ah, rembulan perak pun enggan memurnama. Padahal tinggal seselaput tipis untuk menjadikannya bulat seutuhnya. Laksana dekatnya bilangan hari yang akan menyampaikannya pada purnama agamanya.
Andaikan waktu itu benar-benar bisa dihentikan, ia berharap waktu itu terhenti saat sunyi ini. Menyendiri dalam ruang hampa waktu. Sejenak meninggalkan segala gundah galau yang selama ini membuat hatinya menceracau. Atau jika tidak, tak bisakah hari-hari itu mengurai dalam bilangan detik yang lebih panjang? Agar ia punya kesempatan bernafas lebih lepas. Membuang segala sesak yang telah lama menyeruak.
Malam ini tidak ada airmata yang menetes. Entah kenapa. Padahal ia ingin sekali membuang segala gundah bersama bulir-bulir permata indah itu. Biar jatuh. Biar luluh. Biar tidak selalu menggelayut dalam langit hatinya yang semakin rapuh. Atau mungkin airmata itu telah kering. Dalam bilangan bulan malam-malam yang telah berlalu. Entah berapa purnama yang telah ia lewati dengan isakan di setiap penghujung malamnya. Bukankah sangat wajar, jika airmata itu telah kering tanpa menyisa setitis embunnya?
Seorang perempuan biasa. Ia sedang terluka dalam sebuah episode bernama cinta. Yah, cinta yang tidak mempertemukannya dengan kekasihnya. Cinta yang mengajarinya tentang hakikat ‘menerima’. Cinta yang membuatnya sadar akan dirinya. Bahwa sungguh, hatinya ternyata tidak berada dalam genggamannya. Ia tidak bisa meminta hatinya untuk merasakan apa yang dipikirkan oleh akalnya. Sebanyak apapun doktrin dan pelegalan yang disusupkan oleh akalnya, ternyata begitu saja dimentahkan oleh hatinya.
‘Wahai hati, kenapa engkau tega membuatku terpuruk dalam derita luka ini?’ rintihnya malam ini bersama belaian mesra bayu segara, kering tanpa cinta.
Laksana perempuan lainnya, ia ingin mengabdikan diri dan hatinya seutuhnya untuk suaminya nanti. Tapi bayang-bayang lelaki dari masa lalu itu, selalu saja mengusik tidurnya. Kenapa ia yang selalu harus hadir dalam setiap mimpi dan lamunannya? Setiap kali ia hadir, setiap kali itu pula ia menghalaunya. Menggantinya dengan bayang lelaki yang dalam hitungan hari akan menjadi suaminya. Tapi sepersekian detik saja bayang itupun telah pudar. Wajah itu berganti dengan ia yang tak diingini.
Perempuan itu lelah. Sangat lelah. Hampir putus asa. Merasa dirinya benar-benar tidak berguna. Apakah surga masih diizinkan untuknya? Ia takut kelak akan mengkhianati suaminya. Karena rasa cinta yang tidak mampu ia berikan seutuhnya, separuhnya. Rasa khianat itu mulai menunas di hati dan jiwanya, perih.
Dalam sendu, perempuan itu bermunajat syahdu. Ada getar-getar pilu dalam sunyi kata merdu.
“Ya Rabb,, sungguh Engkau tahu betapa besar cintaku padaMu. Yang dengannya menjadikan aku begitu mencintai kedua ibu bapakku. Aku hanya ingin menjadi anak yang bisa berterimakasih kepada mereka. Dengan caraku. Yang tidak sehebat pengorbanan penghuni gua, yang mendahulukan orang tuanya di atas dirinya, istri, dan anak-anaknya. Tak seindah kisah Uwais Al Qarni yang baktinya kepada ibunya mampu membuat jenazahnya diperebutkan oleh malaikat untuk memandikan, mengafani, dan menguburkannya. Yang membuat doanya tidak akan pernah tertolak oleh RabbNya. Yang membuat namanya tidak terkemuka di bumi namun begitu dikenal di langitNya.
Lalu apakah aku akan lebih mementingkan rasa cintaku kepada manusia yang tidak seharusnya kulabuhkan cintaku kepadanya? Dan mencampakkan baktiku kepada kedua orang tuaku di bawah telapak kaki cinta? Bukankah jika begitu berarti aku juga telah mencampakkan surga yang berada di bawah telapak kakinya?”
Matanya mulai berembun. Tak kuasa ia menahan sesak dadanya, perih luka, dan pedih jiwa.
“Tidak, Ya Rabb.. Aku mencintaiMu.. Dan dengannya aku mencintai Bapak Ibuku.. Dan untuk mendapatkan Ridha keduanya. Ya Rahman, aku rela jika sepanjang usiaku aku harus hidup dalam kesakitan. Jalan inilah yang aku pilih untuk membuktikan besarnya cintaku padaMu. Aku tidak akan menyerahkan diriku untuk menghamba pada cinta yang selain atasMu. Ya Rabbiy Mudahkan.. Kuatkan.. Teguhkan.. Kokohkan.. Hati dan kaki ini untuk meretas cinta di atas jalanMu, sebagaimana para pejuang cinta terdahulu, yang tidak sedikit pun mengubah janjinya hingga datang kepastian itu.”
Membanjir juga air matanya, meleleh bersama dingin malam. Dalam dekapan gulita yang semakin mendekati akhirnya. Kesadaran itu menjalari hatinya. Dan membuka kait-kaitnya yang selama ini tertutup, terkunci atas pemasungan kesadaran yang diatasnamakan cinta. ia tau ia salah, memberi harapan akan sesuatu yang belum pasti dapat ia berikan. Lelaki itu salah, keegoisan cintanya membuatnya merasa benar atas semua tindakannya. Mereka berdualah yang salah. Dan tidak sepantasnya mengambinghitamkan pihak atau hal lain untuk mendapatkan pembenaran. Tidak pula cinta.
Karena cinta itu tidak salah. Tidak pernah salah! Dan tidak akan salah! Perasaan sayangnya itu adalah tetap sebuah anugerah, yang dititipkan Allah agar ia merasainya. Agar hatinya peka dengannya. Agar ia bisa melihat, mendengar, meraba tanpa mata, telinga, dan tangannya. Agar ia bisa melihat, mendengar, dan meraba dengan hatinya, dengan jiwanya.
Ya, cinta mereka tidaklah salah. Tapi ‘ekspektasi memiliki’ yang tanpa sengaja mereka tumbuhkan dan akhirnya mengakar dengan begitu kuatnya itulah yang salah. Bukanlah cinta yang menyebabkan mereka merasai sakit seperti saat ini. Tapi ekspektasi memiliki yang tidak sampai itulah yang dengan sebegitu dahsyatnya telah memporakporandakan hati. Karena bukankah cinta itu membebaskan, mencerahkan, dan menenangkan? Sedangkan ekspektasi memiliki itu membelenggu, meredupkan, dan meresahkan.
Tiba-tiba muncul pertanyaan dalam hatinya. Benarkah lelaki itu mencintainya dengan setulusnya? Bukankah mencintai itu berarti berjuang untuk memberikan kebahagiaan kepada kekasih yang dicintainya? Mencintai apa yang menjadi kecintaannya? Lalu mengapa selama ini lelaki itu masih tidak bisa terima dengan keputusannya? Keputusan yang ia ambil dengan sadar jaga. Keputusan yang menyakitkan. Namun, keputusan itulah yang paling menenangkan hatinya. Keputusan yang ia anggap paling baik untuk semuanya.
Tidak tahukah lelaki itu, selama ia masih menggugat keputusan itu dan mencari-cari pihak untuk disalahkan, sungguh sebenarnya ia telah menyakiti hati perempuan itu lebih dalam. Semakin lelaki itu tidak terima, semakin dalam dan sakit pulalah goresan yang ia ukirkan di hati perempuan yang katanya ia cintai dengan segenap jiwa. Atau apakah memang lelaki itu mengharapkan agar ia merasai sakit itu? Sakit yang mencerabut ketenangan dan kebahagiaan dalam hatinya. Sakit yang jauh lebih pedih dari goresan pisau yang diiriskan di jarinya. Perih. Pedih. Sakit. Sakit sekali..
Tanpa tambahan rasa sakit karena laku lelaki itu, sungguh ia pun telah merasakan kepedihan yang sangat. Kepedihan karena tidak bisa bersanding dengan seseorang yang dicintainya. Seseorang yang telah ia bayangkan dipertemukan dalam singgasana cinta. Seseorang yang dalam mimpinya akan menjadi ayah dari anak-anaknya dan imam dalam kehidupannya. Kesakitan itupun masih harus ditambah pula, ketika ia harus merelakan dirinya hidup bersama dengan seseorang yang hingga saat ini belum bisa ia berikan sedikit saja cintanya. Tidak cukupkah segala kepedihan yang ia rasakan sekarang sebagai penebus dosa masa lalunya?
“Wahai lelaki yang kucintai, tidak cukupkah rasa pedih yang kutanggung saat ini? Rasa pedih yang mungkin jauh.. jauh.. lebih pedih dari kepedihan yang kau tanggung karena janji yang tak terjawantah? Tapi jika kau memang merasa ini semua belum cukup, maka silakan lakukan apa yang kau anggap benar untuk dilakukan. Teruslah kau sayatkan luka-luka itu di hatiku. Sedalam-dalamnya. Aku ikhlas menerima. Jika itu membuatmu bahagia. Tancapkanlah terus. Hingga aku tak mampu merasai rasa sakit lagi. Hingga aku mati dari rasa sakit yang kau sayatkan bertubi-tubi.”
Andaikan lelaki itu mau sedikit saja menurunkan keegoisan dalam cintanya, maka itu akan sangat berarti untuknya. Itu akan menggugurkan separuh lebih beban berat dan rasa sakit yang selama berbulan-bulan ini ditanggungnya. Mereka akan bersama-sama belajar untuk menyamuderakan cinta yang ada di hatinya dan melepas rantai-rantai belenggu ketakutan yang bisa jadi merupakan tipu daya syaitan yang akan menjauhkan mereka dari surga, ridha, dan cintaNya.
Walaupun ia tahu itu sangatlah sulit, tapi ia yakin. Jika keimanannya benar, hal itu bukanlah hal yang mustahil untuk diwujudkan. Jika niat dan tujuannya hanya untukNya, maka ia yakin Allah pasti akan memudahkan jalannya sampai ke sana. Sebanyak apapun hambatannya.
Selama ini, mungkin cintanya baru sebesar dan sepanjang Nil, dan sudah begitu saja habis diberikan kepada lelaki yang dicintainya itu. Untuk mengurangi bagian cinta itu, ia tidak mampu. Lalu apa yang nanti akan diberikan untuk suaminya? Maka, sudah sewajarnya jika ia mulai belajar untuk menyamuderakan cintanya. Sehingga cinta itu tidak akan habis jika pun harus dibagi-bagikan kepada semua makhluk di penjuru mata dunia. Tanpa mengurangi porsi masing-masingnya. Tanpa zhalim kepada seorang di antaranya. Cintanya untuk lelaki itu dalam hatinya masih akan sebesar dan sepanjang sungai Nil atau bahkan bertambah lebih dari itu. Namun, ketika cintanya sudah menyamudera, maka ia tidak perlu bingung seberapa besar ia membagi cinta kepada suaminya. Karena ia bisa memberikan suaminya cinta seluas samudera segala segara. Cinta yang lebih besar dari cintanya kepada lelaki itu. Cinta yang sesuai dengan porsinya, tanpa harus mengurangi hak salah satunya. Lalu bisakah ia?
Menyamuderakan cinta. Tak hanya itu. Mereka berdua pun perlu belajar untuk melepaskan belenggu-belenggu ketakutan yang dibisikkan syaitan padanya. Menghindari prasangka-prasangka yang membuat mereka pesimis menghadapi masa depan. Syaitan telah menakut-nakuti mereka dengan ketakutan yang belum tentu akan mereka dapatkan. Menakuti mereka bahwa mereka akan mati jika tidak bisa saling membersamai. Mereka tidak akan pernah bahagia jika tidak bersanding di singgasana cinta. Tidak akan bisa mencintai suami atau istrinya kelak tanpa bayang-bayang cinta masa lalunya. Begitukah? Tidakkah itu hanya prasangka-prasangka yang dihembuskan syaitan untuk menghilangkan makna syukur, sabar, dan tawakal dalam hati mereka? Jika mereka punya niat yang benar, maka bisa saja dalam hitungan detik setelah melihat istri atau suaminya kelak, maka cinta yang begitu meluap dianugerahkan Allah untuknya? Sungguh, siapa yang tahu? Namun, Allah Maha Tahu..
Perempuan itu tersenyum. Bersama semburat merah fajar di kaki langit, pertanda hari telah berada dalam bilangan yang berbeda, ia tahu apa yang harus ia lakukan. Ia akan membuang semua ketakutan-ketakutan itu. Dan ia akan menjalani apa yang telah ia putuskan dengan rasa sabar, syukur, dan tawakal. Walaupun sekarang rasa cinta itu masih menjadi milik lelaki itu seutuhnya, namun ia akan membuka hatinya selebar-lebarnya untuk suaminya. Ia akan belajar mencintai lelaki itu. Bagaimanapun sulitnya. Ia yakin akan janji Allah, bahwa ia akan menunjukkan jalan bagi orang-orang yang berjalan menujuNya. Ia yakin itu. Ia pegang janji itu. Harapnya, lelaki itupun begitu…
“Dengan asma Allah, Ya Rabb, inilah atsar-atsar yang akan kuukirkan sebagai pembuktian cintaku padaMu.. Dan semoga aku tidak akan berbelok sedikit pun dari janjiku.. Sampai kaki ini menapak lelah di jannahMu…”

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2010/09/9087/menyamuderakan-cinta-si-pecinta/#ixzz1gZ8a2y5m

Artikel Aisyah 2 (Jika Hidup Terasa Sulit)


0diggsdigg
1

email
printdakwatuna.
Setiap nikmat yang terkecap
Sesungguhnya takkan pernah habis hingga bumi tutup usia
Sekalipun setiap insan selalu lalai
Nikmat-Nya takkan pernah berhenti mengalir
Karena kecintaan Allah pada hamba-hamba-Nya
Senantiasa mengabadi,
Selamanya…

Saudaraku….
Pernahkah kita merasakan energi sabar yang lahir dari penghambaan Nabi Ayyub as,
Energi harapan dan cinta yang dipupuk oleh Muhammad Al-Fatih dalam ibadah-ibadah kepada-Nya bahwa suatu saat, Konstantinopel akan diraihnya,
kebeningan hati Fatimah az-zahra kecil yang dengan tegas menentang kaum Quraisy yang mengotori Ayahnya dengan isi perut onta ketika shalat,
atau… merasakan bagaimana bersihnya hati Abubuakar As-Shiddiq yang dengan tenang menerima kabar kematian Rasulullah SAW, meski sebagian besar ummat islam saat itu menglami kegoncangan,
Sungguh… itu sedikit potret dari orang-orang shalih terdahulu yang menginspirasi.
Jangan ditanya kedekatan mereka dengan Allah,
Mereka adalah orang-orang yang senantiasa memberikan hukuman terhadap diri sendiri jika lalai dalam ibadah kepada-Nya… sekalipun hanya ketinggalan shalat berjama’ah… atau ibadah-ibadah lain yang kita anggap “sepele”
Mereka senantiasa memahami, bahwa jika kita mengingat-Nya, maka Allah akan ingat pula kepada kita…
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu….
Tidak hanya itu… rasa syukur atas semua nikmat Allah tak pernah lepas dari setiap dimensi kehidupan mereka…
…….. dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku” (Al-Baqarah: 152).
Saudaraku…
Pernahkah kita merasa bahwa takdir yang Allah berikan kepada kita tidak sesuai dengan kehendak kita?
Ketika usaha sudah kita coba, dan doa-doa senantiasa kita panjatkan, namun ternyata Allah berkata lain atas ketentuan yang ditetapkan-Nya…
Lalu…
Pernahkah kita berada pada situasi dimana merasa menjadi orang paling “tidak beruntung”, “paling sengsara”, tak mendapat nikmat apa-apa?
Manusiawi adanya jika ini kita rasakan…
Namun… selaku hamba yang mengaku seorang muslim…
yang mengaku memiliki iman kepada Allah swt di hati-hati kita… sesungguhnya, banyak sekali hikmah yang bisa kita petik dari orang-orang mulia yang senantiasa dekat kepada-Nya…
Bayangkan jika masa tersulit baginda Nabi selama diboikot oleh kau Quraisy dilewati tanpa rasa syukur kepada Allah swt,
Masihkah kita menikmati Islam saat ini?
Atau ketika para Mursyid ‘am Ikhwanul Muslimin, yang rela dipenjarakan dan menerima siksaan bertubi-tubi melewati semua ujian itu dengan menggadaikan idealisme dan menjual murah Jihad yang selama ini mereka kerjakan…
Bisakah kita mendapatkan pelajaran dan ruh perjuangan dari mereka?
Saudaraku…
Semua ujian dan cobaan itu mereka lalui dengan rasa syukur yang berlimpah kepada-Nya…
Al-Muhasibi, pernah berkata…
“Rasa syukur yang paling tinggi adalah bila engkau menganggap SETIAP MALAPETAKA sebagai suatu NIKMAT. Karena malapetaka yang menimpa manusia yang lain lebih dahsyat dan lebih besar dibandingkan dengan malapetaka yang menimpamu, di saat manusia merasa butuh SABAR, engkau malah bisa BERSYUKUR”…
Masya Allah…
Kalimat ini… jika kita renungkan secara mendalam… betapa menyimpan energi kecintaan pada Allah yang luar biasa,
Perasaan dimana semua batas emosi telah dilewatkan oleh IMAN kita, karena merasa bahwa apapun dari-Nya, sesungguhnya selalu yang terbaik buat kita.
Inilah yang menjadi alasan kenapa Rasulullah saw menjadi orang yang paling bersyukur atas nikmat-Nya.
Rasulullah memahami, bahwa kebesaran Allah senantiasa lahir dari penciptaan langit dan bumi.
Bahkan, ketika nikmat tidur bersama Aisyah RA sedang dikecapi olehnya, Rasulullah meminta izin kepada Aisyah untuk shalat dan menangis di hadapan-Nya.
Aisyah RA dengan keheranan bertanya kepada Beliau “Apakah yang menyebabkan Tuan menangis, sedangkan Allah telah mengampuni dosa-dosa Tuan baik yang dahulu maupun yang belakangan?”
Lalu apa jawaban Rasulullah…?
Sang Nabi yang Mulia (Semoga Allah mempertemukan kita dengan Beliau di Jannah-Nya) berkata…
“Tidakkah aku mesti menjadi hamba yang bersyukur? bagaimana aku tidak menangis sedangkan Allah menurunkan ayat ini kepadaku, “sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi……… adalah tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi kaum yang berfikir” (Al-Baqarah: 164 dan Ali Imran: 190)
Keindahan Akhlaq inilah… yang senantiasa membuat Aisyah RA senantiasa menangis ketika mengingat Beliau… tidak ada sesuatupun yang tidak mengagumkan dari pribadi Sang Nabi…
Saudaraku…
Semoga dalam sisa umur kita… kita mampu belajar untuk memaknai bahwa sesungguhnya Allah swt, senantiasa memberikan yang TERBAIK bagi kita…
Kita hanya butuh membersihkan nurani… mengasah IMAN… mempertebal kesyukuran… lalu memperbaharui Akhlaq…
Agar dengan KEBENINGAN JIWA yang kita miliki… semua kejadian yang kita alami… bisa kita “petik” hikmahnya… Insya Allah… dalam kondisi yang ridho… dan menjadikan kita pribadi-pribadi yang qana’ah…

Allahu’alam Bishwab…

“Jadikan kami hamba-hamba-Mu yang senantiasa memperbaharui niat dan rasa syukur kepada-Mu… agar cinta dihati kami… terisi penuh oleh-MU… kemudian melahirkan ucapan yang membeningkan… serta perbuatan yang men-cahayakan…” Amin ya Rabbal alamin….

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2011/12/16670/jika-hidup-terasa-sulit-3/#ixzz1gZ6SYaFB

Artikel Aisyah (Cukup Allah Sebagai saksi)


0diggsdigg
0

email


dakwatuna.com -
Bila ingin hidup ini tenang, tak usah hiraukan ada atau tidak ada orang yang melihat atau menilai amal-amal kita. Wakafaa billahi syahidaa. Cukup Allah yang menjadi saksi.” (QS. Annisa: 79).
Itulah isi SMS taushiyah yang kirimkan oleh Aa Gym. Sangat menyentuh. Untuk kita yang selama ini masih terpaku pada penilaian manusia terhadap segala perbuatan yang kita lakukan. Penilaian manusia tak bisa di jadikan sebagai tolak ukur baik atau tidaknya perbuatan kita. Bisa jadi di mata orang ini kita mendapat pujian tapi di mata yang lain kita di nilai hanya mencari sensasi semata.
Cukuplah Allah menjadi barometer setiap gerak kita. Ke mana kaki hendak melangkah. Ke mana mata hendak memandang. Apa yang ingin telinga dengar. Terlalu melelahkan bila memikirkan apa yang orang lain katakan sedangkan berbeda orang sudah tentu berbeda pendapat. Jika apa yang kita lakukan sudah sesuai syariat, maka abaikan saja penilaian orang lain. Jika memang penilaian itu mengandung sebuah nasihat kebajikan, bukalah lebar-lebar telinga dan mata hati kita. Tapi tulikan telinga kita untuk cacian dan gunjingan mereka. Bukan berarti kita harus tinggi hati jika pujian mengarah pada kita. Hanya kepada Allah, sepatutnya pujian di haturkan. Kita bisa karena Allah. Allah yang menggerakkan hati kita, meringankan langkah dalam berbuat kebaikan.
Cukup Allah menjadi saksi. Karena Allah yang Maha Tahu isi hati kita. Sedihkah atau bahagiakah.
Sebagai contoh dari beberapa berita yang saya baca. Negara Korea menjadi negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi di dunia. Menurut Organization of Economic Cooperation and Developmemt, sebanyak 21 orang dari 100 ribu orang Korea melakukan bunuh diri.
Seorang Psikologi dari universitas Yonsei-korea, Hwang Sangmin, mencoba menganalisis fenomena bunuh diri ini. Menurutnya, orang Korea memiliki konsep Yan, dimana setiap orang berusaha bersikap diam dan tabah walaupun dalam keadaan marah. Terutama untuk kaum selebritis, pencitraan melalui konsep Yan amat besar dilaksanakan. Jika sudah di ambang batas, mereka cenderung putus asa dan akhirnya mengambil pilihan drastis untuk bunuh diri.
Itu karena di sana penilaian orang banyak menjadi tolak ukur yang utama. Image mereka ada di tangan orang banyak. Image mereka adalah kehendak orang banyak. Meskipun hal tersebut tak sesuai dengan hati nurani mereka. Terlebih bagi selebritas yang memiliki banyak penggemar. Mereka di tuntut menjadi seorang yang perfeksionis.
Faktor lain, karakter orang korea tergolong tertutup, sehingga para artis akan merasa malu jika ketahuan pergi ke konseling atau sedang depresi. Faktor agama juga tak kalah pentingnya. Hampir setengah warga Korea tidak memiliki agama, sehingga ketika mengalami depresi, penghargaan mereka terhadap kehidupan jadi rendah. Kepercayaan terhadap konsep reinkarnasi juga mendorong orang Korea mengakhiri hidupnya, dengan harapan kehidupan barunya akan lebih baik.
Akhirnya bunuh diri di anggap sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan masalahnya. Untuk selebritas, segala perilakunya akan di contoh oleh penggemarnya. Fanatik yang berlebihan dalam mengidolakan seseorang, membuat masyarakat Korea akan mengikuti tiap perilaku yang di lakukan idolanya bahkan jika idolanya bunuh diri maka mereka akan mengikutinya. Para fans seolah terinspirasi, untuk mengakhiri suatu masalah adalah dengan jalan bunuh diri. Melihat permasalahan tersebut pemerintah Korea kini sedang menggalakkan adanya konseling untuk mengurangi populasi bunuh diri. Di harapkan dengan seperti itu masyarakat Korea mau membuka diri guna menceritakan masalahnya.
Bagi kita yang memiliki Allah sebagai penawar hati di kala kesedihan datang, melalui ayat-ayatnya yang berisi kabar gembira bagi orang yang sabar dan selalu menyerahkan segalanya kepada Allah maka tak patut kita berputus asa. Karena sesungguhnya hanya Allah tempat segala curahan rasa. Hanya Allah sebaik-baik tempat mengadu. Hanya Allah sebaik-baik saksi dari perilaku kita.
Fenomena yang terjadi Korea bisa di ambil hikmahnya, membuka diri kepada seseorang yang di percaya untuk bertukar pikiran. Bukan berarti membuka aib atau mengabaikan Allah sebagai tempat mengadu. Tentu jika hal itu di lakukan dengan pertimbangan, bahwa kita melakukan ikhtiar dengan mencari perantara Allah untuk mencarikan jalan keluar dan tanpa berlebihan.
Semoga kita menjadi hamba yang selalu mengandalkan Allah dalam tiap gerak kita. MenjadikanNya sebagai saksi utama. KarenaNya kita berlaku bukan karena yang lainnya. Merasakan Allah selalu hadir lebih dekat dari urat nadi. Aamiin.
Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. (QS. Fathiir: 10)
Mencari kemuliaan dan kebahagiaan dengan harta benda dan penilaian manusia pasti tak akan pernah di dapat, hanya melelahkan batin dan semu belaka. Carilah kemuliaan di sisi Allah, di jamin bahagia, mulia yang asli dan kekal. (Aa Gym)
Allahua’lam.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2011/12/16683/cukup-allah-sebagai-saksi/#ixzz1gZ4zbOBP

Senin, 12 Desember 2011

Qalb Aisyah 4 (Tangisku Oleh Katamu)


Allah hari ini aku mengadu padaMu. Aku mengadu dalam tangisku oleh kata-katanya. Kata-kata yang begitu menyentuh dan meresap dalam batas kemampuanku untuk memaknainya. Apakah ia memang begitu? Apakah semua ini sama? Atau ini suatu ayat yang salah kutafsirkan?
Allah, tumbuhkan keyakinan padanya, bahwa aku juga menanti yang sama. Aku juga tak punya apa-apa. Aku juga seorang yang hina. Aku bukanlah Zulaikha yang mengharapkannya setampan Yusuf, walau aku mengharapkan seperti ibunda Aisyah, tapi aku tidaklah secerdas Aisyah yang mendampingi Nabi Muhmmad, aku juga tidaklah sekaya Balqis yang sederajat dampingi Sulaiman. Aku hanyalah wanita akhir zaman berharap menjadi wanita sholehah mendampinginya dalam menggapai keridhoanMu. Benar, aku pun tak punya apa-apa. Aku masih terus belajar menata diri hingga pantas mendampinginya dan layak Engkau anugrahkan hambaMu yang taat.
Sesungguhnya setiap wanita yang baik pasti merindukan pernikahan, dimana dalam pernikahanlah dia bisa terjaga dari fitnah cinta, dia bisa terhormat dan sempurna sebagai wanita, yakni menjadi istri dan ibu bagi suami dan anak-anaknya. Seorang suami baginya adalah kehormatan, apapun status sosialnya. Aku memang mendamba pernikahan, tapi aku belum siap dalam waktu sekarang. Masih ada yang harus kutunaikan. Insya Allah hingga waktunya tiba nanti, kita mulai semuanya bersama-sama. Jadi, bukan kau sendiri…
Tetaplah jaga kemuliaanmu, tundukkan rasa dan gerak yang bisa merendahkan nilai dirimu, pertahankan agar senantiasa ‘malu’ menjadi penghiasmu dan penghiasku. Bukankah engkau menginginkan yang terbaik? Meski kadangkala yang terbaik tidak selalu seperti yang kita inginkan. Tapi yakinlah akan janjiNya, bahwa wanita baik-baik hanya untuk laki-laki baik-baik, begitupun sebaliknya. Bersabar dan tetap bersahaja dalam penantian. Meski ikhtiar tak boleh diabaikan. Jalani sesuai ketentuan sang Pemilik kehidupan.
Bila telah sampai waktunya, detik demi detik masa ta’aruf itu akan begitu mendebarkan. Saat-saat menuju pernikahan agung itu akan begitu mengharukan. Kau tahu mengapa?? karena itulah waktu yang tepat untuk pertama kalinya cinta mekar dari kuncupnya. Akan menjadi sebuah keharuan, karena luapan cinta yang merekah telah tertuju pada satu orang yang tepat, pada dia yang halal. Akan menjadi suatu kemuliaan, karena semua keindahan itu bernilai ibadah dan menuai pahala. Subhanallah, Dirimu adalah yang terpilih bagi dia yang telah dipilihkan olehNya. Begitulah seharusnya merekahkan cintaku, cintamu, Cinta yang terpilih.
Jika memang tak ada takdirNya untuk ini semua, masing-masing dari kita harus tetap berhuznuzhon. Sejatinya, hanya Ia lah yang tahu yang terbaik untuk kita. Tapi tolong, jangan sekali-kali kau rendahkan dirimu di hadapanku! Aku tak sanggup, karena andai kau halal untukku, akan kukatakan kau adalah yang terbaik sejauh ini yang menyentuh sukmaku. Kau banyak mengajarkanku beberapa hal secara tersirat. Aku mengagumimu. Aku menyukaimu dengan caraku. Dengan hatiku. Aku tahu, masih banyak permata lain di luar sana yang menawan, namun perkara hati, siapa yang dapat mengatur kemana ia tertambat?
Masing-masing dari kita hanya mampu berdo’a. Tetap jalani ini semua seperti biasa. Aku pun terkadang tak mampu menolak dirimu yang melintas dalam pikiranku. Tapi semua sudah cukup! Kita tak boleh terlena terlalu jauh. Saling memaklumi keadaan ini, walaupun rindu kebersamaan terlalu mengikat, namun apalah daya selain kesabaran yang dapat dibentangkan.
Semua ini, suatu saat nanti terjawab. Aku minta maaf padamu kalau kiranya aku telah menggangu kenormalan hidupmu. Sungguh aku tak ingin membuat hidupmu celaka karenaku! Pada Allah aku mohon ampun atas rasa yang datang belum pada saatnya. Aku mencemaskanmu, mencemaskan rasa ini karena takut Allah marah. Sungguh tak ada yang bisa kulakukan.. :’(
Afwan jiddan…
Afwan…



Jumat, 09 Desember 2011

Poetry Aisyah


Allah Ampuni Aku
Allah ampuni aku atas jiwa mungil yang telah terisi
Ampuni aku yang lemah akan diri
Ampuni aku yang telah lancang dan berani mencintai
Mengikat hati dan membelenggu diri
Pada hal yang tak pasti

Allah ampuni aku
Tak inginku terbudak oleh nafsu
Tak inginku memungut cinta palsu
Tak inginku mendapat marah-Mu
Atas apa yang tersembunyi dalam kalbu

Allah kuat kan aku
Jangan biarkan aku terbuai oleh angan semu
Bantu aku untuk abaikan semua madu palsu
Hingga waktu kan jawab semua tanyaku
Akhir penantianku dalam batas waktu
Yakni ikhwan akhir zaman yang mencintaiku karena-Mu
R.H Akmal (28 juni 2011)

Orang Asing
Jika kau jadi aku,
sanggupkah kau memaknai rasaku?
Aku bertanya padamu….
Mengapa kau membisu…
Aku tahu kau jauh lebih baik dari aku
Maka aku tak pantas berharap lebih jauh denganmu

Allah ampuni aku..
Aku menyayanginya dengan hati bukan logikaku
Kini hatiku sedang mengharu biru
Mencemaskannya atas rasaku

Namun, tanyaku sepertinya butuh waktu
Sampai aku tak tahu kapan batasku menunggu
Apakah aku harus berlalu?
Bergegas pergi meninggalkanmu dan rasaku?
Tolong tenangkan aku semampumu
R.H Akmal (22 juli 11)
Goresan Luka

Bertanya hati pada sikapmu
mengerang dalam batin atas lukaku
sepertinya fajar tak enggan lagi menyapaku
karna kini langit kulihat berawan kelabu

goresan luka ini kecil
tapi perih sayatnya begitu menusuk
namun jiwaku tetap memanggil
walau hati telah nyaris kau buat remuk

hanya pada allah kini ku mampu bertanya
atas batinku yang terluka dan nyaris bernanah
rahasia itu hanya Engkau yang jaga,
maka tuntun aku dalam sabar ya allah..

R.H Akmal (30 Juli 2011)

Kamis, 08 Desember 2011

Qalb Aisyah 3 (Aku, Kau, dan Rabb Kita)


Setiap orang mungkin pernah mengalami apa yang tengah kurasakan ini, setiap orang mungkin punya caranya masing-masing untuk menyikapi dan memperlakukan persoalan yang tengah menyelimuti diriku ini.
Sebagai seorang manusia biasa dan seorang perempuan yang tengah memasuki fase dewasa awal, mungkin hal yang biasa bila mengalami VMJ. Yah, aku jua tak lepas dari itu. Namun karena itu, belakangan ini ‘hidupku jadi tak tenang’. Sungguh, aku tak bermaksud menyimpan atau melenakan perasaan ini. Aku mencoba melepasnya, karena kalau mengingatnya, aku takut Allah tidak berkenan akan ini. Menyukai dan jatuh cinta itu memang fitrah, namun berlarut dengan perasaan ini dan menjadikan aktivitas pikiran dan ibadah terganggu, ini menjadi sesuatu yang tak wajar lagi.
Memang, hal ini belum terjadi lama padaku. Namun, masa waktu yang singkat, sudah membolak balik jiwa mungil ini. Tidak sedramatis Laila dan Majnun memang, atau berakhir seperti kisah putri Zein. Belum ada yang berakhir, karena memulai saja juga belum. Dia juga tak mengganggu ibadah-ibadahku, malah dengan rasa ini, pada beberapa hal, ia mampu memotivasiku untuk menjadi yang sepadan. Karena aku ingat jodoh itu berbanding lurus pada diri kita. Yang tak kusuka, hanya dia kerap melintas dipikiranku tanpa kupinta.
Untuk rasa ini, aku belum berani untuk melanjutkannya kejenjang yang lebih serius. Walau terbesit rasa keinginan untuk menunaikannya, namun aku belum bisa. Masih ada beberapa hal yang harus kutunaikan sebelum mengabdikan diri untuk menjadi seorang istri soliha dan ibu untuk kesatria dan bidadari titipan Illahi.
Untuk ketidak mampuanku, aku memilih untuk mencintaimu dalam diam. Dalam diam suara ketidakmampuanku mengutarakannya padamu. Walau aku tak mampu menyembunyikannya dari Allah, dan beberapa sahabatku. Aku ingin kisah cinta seperti yang dijaga Fathimah R.A dan Ali bin Abi Thalib R.A, yang syeithan sekalipun tak tahu mereka saling menyimpan rasa, namun apalah aku ini, aku tak semulia mereka. Aku hanya mampu diam, diam hingga penantian siapakah yang menjadi takdirku tanpa yang kurekayasa untuk hadir.
Murabbiku juga meminta, agar kiranya bisa mendapatkan pasangan yang benar-benar tak kita kenal. Agar cinta itu bersih dan perawan. Seperti lirik lagu Maidany,
Tuhanku, berikan kucinta, yang Engkau titipkan, bukan cinta yang pernah kutanam. Aku ingin rasa cinta ini, masih menjadi cinta perawan, cinta yang hanya aku berikan saat ijab kabul telah tertunaikan.”
Dan aku pun mencoba mencari jalan keluar dari ini, dengan diamku. Mungkin ini tak menjawab apa-apa, namun aku hanya mencoba tetap pada azamku. Dan semoga Allah meridhoi langkahku, karena aku yakin, Allah akan memberikan jalan keluar pada hambanya yang mengalami kesulitan, karena sungguh Allah tak ingin melihat hambanya merasa kesusahan.
Allah aku ini dhoif,
Aku tak ada pengharapan yang lain selain selalu Engkau kasihi,
Ya Rabb, hati ini kepunyaanmu yang kau titipkan pada jasadku
Maka kuatkan aku dalam menjaganya,
Sabarkan aku dalam penantian sehingga aku menemukan waktuku dalam ridhoMu
Bukankah kelemahanku sebagai seorang wanita terletak di hati?
Maka padaMu aku berlindung dan memohon cintaMu untuk menjagaku…

Jumat, 02 Desember 2011

Qalb Aisyah 2 (Surat Cinta Dari Tuhan yang Kau Ikatkan)

Aku duduk di sofa ruang tamu rumahku. Sedikit-sedikit aku mencoba membenarkan letak jilbabku, merapikan gamis yang kukenakan dan beberapa menit berikutnya pergi ke arah dapur untuk menemui Bunda yang tengah mempersiapkan jamuan makan malam bersama adik dan kakak iparku.
“Tenanglah, apa yang Ananda risaukan, Nak?” Aku tak bisa menjawab pertanyaan Bunda, karena aku sendiri sebenarnya tak tahu apa yang aku cemaskan.
“Kembalilah ke ruang tengah. Temani Ayah dan Abangmu. Sebentar lagi, mungkin mereka akan datang.” Aku menuruti perkataan Bunda. Ayah tampak tenang dengan buku bacaannya, dan abangku menyibukkan diri di depan laptop, untuk menyelesaikan pekerjaan kantornya. Aku duduk di samping Ayah. Bersandar di bahunya.
“Tak ada sesuatu yang perlu dicemaskan.” Ayah mengalihkan perhatiannya padaku. Ia mengelus-elus kepalaku dengan lembut.
“Ayah, apakah Ananda sudah pantas menjalani ini semua? Jujur, Ananda sedikit merasa tak pantas.”
“Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi pada diri kita setiap harinya. Semenit ke depan, kita pun tak kan mampu menebak apa yang akan terjadi. Kita hanya mencoba untuk berbuat sebaik mungkin setiap harinya dalam hidup, dan atas kebaikan-kebaikan itu, kita harus percaya bahwa Allah akan menyelipkan kejutan-kejutan kebahagiaan untuk kita, bahkan untuk hal yang kita anggap mustahil sekalipun.” Kini Ayah menutup bukunya, ia memandang wajahku dengan lekat, membetulkan sedikit letak kacamatanya, dan kembali melanjutkan kata-katanya.
“Jadi, tak ada yang tak pantas jika Allah telah menghendakinya Anakku. Jika keraguan masih menyelimutimu, tanyakanlah padanya. Bukankah ia yang mengajukan diri?” Ayah benar. Aku masih bisa menanyakan banyak hal sebelum membuat suatu keputusan untuk hidupku.
***
Pukul 20.05 WIB, dua buah mobil terdengar memasuki pekarangan rumah. Ayah, Bunda, dan abangku berjalan keluar untuk menyambut tamu yang datang. Aku masukke kamar ditemani adik dan kakak iparku. Beberapa menit berselang, samar-samar kudengar percakapan mereka yang kini telah berkumpul di ruang tamu.
“Kedatangan kami ke sini, tentu sudah Anda ketahui maksud dan tujuannya. Saya mewakili anak saya, ingin menyampaikan maksud hatinya yang ingin menyempurnakan separuh agama dengan mempersunting anak Anda.”
“Ini semua memang berkah untuk keluarga kami, keluarga biasa yang mungkin sebelumnya tak pernah membayangkan akan menjamu tamu dari keraton. Namun apa pun itu namanya, saya tetap yakin hanya takwa yang menjadi pembeda kita di hadapan Tuhan. Untuk urusan hati ini pun, saya tak ingin mengambil keputusan tersendiri. Saya bebaskan putriku untuk menentukan apa yang terbaik bagi hidupnya.”
“Tentu saja. Saya sangat setuju dengan pemikiran Anda. Langsung saja kita pertemukan keduanya, dan memutuskan yang terbaik diantara keduanya.”
Bunda, masuk ke kamarku. Menuntunku keluar menuju ruang tamu yang telah berubah menjadi ruang musyawarah. Adik dan kakak iparku tetap mengiringiku.
“Nah, kini orang yang ingin mempersuntingmu dan keluarganya telah hadir di rumah kita, Nak. Sampaikanlah apa yang ingin Ananda sampaikan. Kami tak akan memperdebatkan.”
“Saya hanyalah orang yang biasa, mengenalmu pun hanya sebagai orang yang dihormati dibeberapa kalangan. Saya mungkin tahu banyak tentangmu, namun apakah kamu benar-benar telah mengenal baik saya?” Aku mulai bertanya. Wajahku tertunduk tak mampu mengangkatnya untuk melihat orang-orang di sekelilingku.
“Saya memang tak mengenalmu dengan waktu yang lama. Bahkan saya tak lebih dari lima kali bertemu denganmu. Namun, pada setiap kesempatan dimana saya bertemu denganmu, saya mencoba mengenalmu dengan baik. Dalam waktu yang singakat itu pula, saya kenali dirimu sebagai seorang perempuan yang sederhana, penyuka kegiatan sosial, periang, kecerdasanmu mampu membawamu meraih beasiswa keluar negeri, namun yang terpenting dari semua itu, saya menilai dirimu sebagai seorang yang menjalankan agamamu dengan baik,”
“Dan apa yang tak terlihat langsung oleh saya tentangmu, sudah saya ketahui dari orang-orang terdekatmu. Termasuk sifat manjamu terhadap Ayah Bundamu.”
“Lalu apa yang kamu harapkan dengan menikahi saya? Apa yang membuatmu mengajukan diri untuk menjadi imam dikehidupan saya? Dan saya ingin memberitahukan bahwa didiri saya terbesit rasa ketidakpantasan untuk mendampingimu.” Tanyaku lagi dalam keadaan wajah yang masih tertunduk.
“Saya tak memandangmu sebagai orang yang tak sebanding dengan saya. Apa yang tak pantas di pandangan manusia, belum tentu tak pantas di hadapan Illahi. Apa yang saya nilai darimu adalah sesuatu yang saya lihat dengan hati, bukan dari apa yang ada di luarnya. Yang saya harapkan dengan menikahimu adalah meraih ridhonya Allah. Saya memilihmu atas agamamu. Atas kecintaanmu pada Rabbmu dan kekasihnya, dan saya ingin mendapat perhiasan dunia akhirat dengan menikahi wanita solihah. Lalu dimana letak ketidakpantasanmu jika yang saya lihat adalah seorang wanita dari segi agamanya?” Aku tak tahu bagaimana mimik wajahmu ketika menguraikan semua kata-kata itu. Namun yang harus kuakui, ada getaran kecil yang terjadi di sukmaku.
“Sekiranya saya menerima lamaranmu, apa yang dapat kamu berikan sebagai mahar dipernikahan nanti?”
“Sebenarnya, saya adalah orang yang tak punya apa-apa. Kebanyakan apa yang saya miliki adalah warisan turun temurun dari keluarga keraton. Saya tidak ingin memberikanmu mahar dari sesuatu yang tidak saya perjuangkan untuk mendapatkannya. Maka jika kamu ikhlas, saya hanya mampu memberimu surat cinta dari Tuhan. Saya ingin mengikatmu dengan surah Ar-Rahman dan Al-Kahf yang telah sedari lama saya hafal.”
Tanpa kupinta, ia melantunkannya untukku. Ada sesuatu yang kurasakan mengalir dingin di pipi. Cairan cinta atas rasa haru yang kudapatkan melalui perkataan seorang laki-laki. Satu-satu kini cairan cinta itu jatuh membasahi telapak tanganku yang kuletakkan di atas pangkuanku. Aku mulai sedikit memberanikan diri mengangkat wajahku, untuk melihat calon suamiku.
Subhanallah, aku pun melihatnya tertunduk dengan parit di pipi yang membekas dari tangisnya. Perlahan kulihat ia mulai mengangkat wajahnya juga, memandang ke arahku dengan sekali pandang. Namun sepersekian detik mata kami bertemu. Deg! Hatiku kurasakan bergetar kembali. Ada hawa sejuk yang masuk melalui celah-celah dinding hatiku, begitu lembut dan menenangkan.
“Apa yang bisa saya sanggah lagi ketika seseorang lelaki yang solih mendatangi saya untuk menunaikan sunah nabi? Apa yang saya pandang kini, tak lagi melihat statusmu, tapi apa yang saya lihat dari agamamu. Dengan mengucap basmalah, bismillahhirrahmannirrahim, saya bersedia menyempurnakan dien bersamamu.” Kataku dengan mantap.
Bunda menciumiku, begitu pula kulihat yang Ibumu lakukan terhadapmu. Ayah kita saling berpelukan, senyum bahagia menghiasi wajah keduanya. Beberapa kerabatmu dan saudaraku turut mengembangkan senyum bahagia pula. Pada setiap kehidupan hambanya yang beriman, selalu ada campur tangan Tuhan yang menjadikan skenarionya lebih indah. Medan, 24 November 2011