Sesungguhnya
laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin,
laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan
yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang
khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang
berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk
mereka ampunan dan pahala yang sbesar.
(Al Ahzab: 35)
Semenjak
allah ‘azza wa jalla menciptakan nabi adam as seorang diri kemudian
diciptakannya Hawa sebagai pendamping untuk menghancurkan rasa kesepian nabi
adam ketika berada di surga, yang diciptakan dari tulang rusuk beliau. Sehingga
munculah hadist “perempuan itu diciptakan dari tulang rusuknya laki-laki”.
Dari
dulu sampai sekarang hanya ada dua kategori manusia yang memiliki jenis
kelamnin laki-aki dan perempuan saja.
Secara
struktur bilogis ikhwan dan akhwat amat sangat berbeda sehingga dalam
pengklasifikasian peran, hak dan kewajiban antara ikhwan dan akhwat pun berbeda
satu sama lain. namun perbedaan ini tidal lantas di artikan adanya diskriminasi
satu sama lain. islam eist solung
Di
dalam islam antara laki-laki dan perempuan adalah setara. Islam menjelaskan
secara gamblang dan akurat tentang peran kaum laki-laki dan perempuan dalam
kehidupan ini, serta memberikan pedoman yang rinci tentang bagaimana seharusnya
mereka berinteraksi antara satu dengan yang lain dalam setiap aspek kehidupan.
Penjelasan dan pembagian peran ini langsung berasal dari Allah Swt, Sang
Pencipta manusia.
Interaksi
yang dibangun antara ikhwan dan akhwat adalah interaksi yang dibolehkan secara
syara’, misal dalam konteks pendidikan, kesehatan dan muamalah. Interaksi
inipun tidak lain adalah kerjasama demi terwujudnya sebuah peradaban agung
yaitu peradaban islam.
Kadang,
Seringkali ketika terjadi miss comunication di dua mahluk ini bukan karena
“sering atau tidak seringnya” ketika berkomunikasi. Tetapi isi dari komunikasi
yang terjalin, akan tetapi memang sangat tidak mudah ketika menjalin komunikasi
anatara ikhwan dan akhwat sehingga komunikasi yang terjalin itu efekif kecuali
belajar untuk memahami lawan jenis dengan berinteraksi, tapi dengan catatan
seperlunya saja dan tetep kudu syar’i.
Oke,
saya mencoba untuk sedikit meneliti permasalahan-permasalahan yang biasanya
timbul ketika menjalin hubungan interpersonal ikhwan dan akhwat adalah karena “
komunikasi” yang meliputi kontent, cara berkomunikasi, benturan sifat/karakter
satu sama lain, beda prinsip dll. Komunikasi itu meliputi bahasa verbal maupun
non verbal.
Nah
sebelum ke arah “komunikasinya” saya akan bahas sedikit pandangan dari sisi
psikologis ikhwan dan akwat. Karena, terkadang kenapa biasanya ada
kesalahpahaman dan penyikapan yang salah di kedua belah pihak, bisa jadi satu
sama lain belum mengetahui “seperti apa” keadaan, fakta, pengetahuan antara
ikhwan dan akhwat (sifat/ karakter yang umum) tentu dalam konteks yang global.
Ikhwan -Please Hargai Gue!!-
Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Sebab itu maka wanita yang shaleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika
mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (An Nisa: 34)
Dalam
ayat ini Allaah ‘azza wa jalla memberikan sifat Qawamah (kepemimpinan) kepada
ikhwan, dan qunut (ketaatan) kepada akhwat. Hal ini menunjukan bahwa fungsi
ikhwan adalah memimpin dan kewajiban akhwat adalah taat (lihat Al qurthubi
dalam al Jami’ Liahkamil Qur’an 14/179)
Kenapa
saya memberikan semacam clue “please hargai gue!!”, tanpa bermaksud sotoy nii
kepada para ikhwan ^^. Kalimat ini mungkin sering muncul di benak ikhwan baik
dalam konteks dia sebagai anak, peran dia di lembaga dakwah, dunia pekerjaan
dan sebagai suami. Kalimat ini sangat erat indikasinya tentang masalah
“kepemimpinan” yang sedang ia pimpin. Setiap keputusan-keputusan yang di
keluarkan baik konteksnya dia sebagai anak, suami dan anggota masyarakat ingin
keputusannya itu “di hargai” bukan dalam konteks mengemis untuk dihargai.
Tapi
memang secara tabiat ikhwan lebih senang dan sangat menghargai kepada siapapun
ketika dia dihargai dalam hal apapun!! Makanya sangat mudah untuk membuat ayah
saya senang dengan seketika ketika beliau sedang marah, hanya cukup dengan
“menampakan wajah manis (alah..)” dan untuk menghargai beliau dengan apa yang
sudah beliau berikan, cukup dengan tersenyum dan say “nuhun” walaupun belum
sesuai harapan (nah, nanti dibahas pas bagian akhwat kenapa rata2 akhwat susah
untuk menerima lebih tepatnya suka mengoreksi terlebih dahulu dengan sesuatu
yang ada di hadapannya)
mungkin
beda-beda setiap karakter kaum laki-laki tapi rata-rata sama. Sudah tabiat
ikhwan ketika berkomunikasi tidak banyak bicara, tidak suka di dikte, tidak
suka bicara panjang lebar, tidak suka dengan orang yang cerewet, susah untuk
mengatakan “saya tidak tahu” (tergantung), susah mengungkapkan sesuatu, keras
kepala, egois yang tinggi, tidak suka digurui (kamu tuh kaya gini..
bla..bla..), tidak senang di koreksi secara membabi buta, pantang menyerah,
berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan apa yang diinginkannya (tergantung),
tidak sabaran (tergantung), tidak ingin diragukan kepercayaan yang diberikan
kepada siapapun artinya tidak suka jika ada yang meragukan apa yang ia berikan,
de el el.
Secara
tabiat juga, ikhwan dalam bersikap lebih menggunakan perangkat akal/logika
dibandingkan perasaan dan mudah untuk melupakan sesuatu dan terkadang sulit
untuk memulai dari awal, jarang menangis/susah untuk menangis tapi sekali
menangis justru menghawatirkan.
Akhwat –pLeAsE ngErtiiN gUe!!-
Saya
berusaha untuk berpikir objektif sehingga melihat kedua belah pihak tidak bersikap
“memihak dan membela (statusnya bukan lawer disinih)”, tujuan tulisan ini pun
hanya ingin memberikan gambaran tentang permasalahan yang biasanya muncul dalam
hubungan interpersonal ikhwan-akhwat baik dalam konteks personal, lembaga
dakwah, anggota masyarakat, dan sikap apa yang seharusnya di ambil! Tentu dalam
konteks yang global dan bahasannya tetep syar’i.
“orang
yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada istrinya dan
aku adalah yang paling baik di antara kalian kepada istriku” HR At Tirmidzi, Abu Dawud dan Ad Darimi
Ada
beberapa hadist yang menceritakan tentang “bagaimana” seharusnya sikap ikhwan
dalam bersikap dan menyikapi sikap akhwat. Kalau Hadist yang di atas lebih
tepatnya sebagai “rambu” yang rasul saw berikan untuk kaum adam agar dalam
bersikap kepada istrinya dengan penyikapan yang benar dan hati-hati.
Saya
sering bertanya (bukan mempertanyakan!!) ke diri sendiri, kenapa aturan mulai
dari al Qur’an dan hadist banyak sekali menceritakan tentang akhwat?? Ternyata,
pas di telusuri wajar, sangat wajar luar biasa islam itu agama yang sangat
memuliakan seorang wanita. Jangan kira bidadari itu hanya terdiri dari
“bidadari langsung!” tapi dari kalangan wanita dunia yang beriman pun ada!
(silahkan liat tafsir imam jalalain)
Oke,
saya teringat sebuah hadist “jangan mencela (mencaci) nya, dan jangan
mendiamkannya kecuali di rumah” (HR Abu Dawud dan Ahmad),
hadist
ini memerintahkan kepada para suami untuk memperhatikan hak-hak istri agar para
suami bersikap lemah lembut dan memperlakukan istri dengan makruf (menurut al
munawi)
Hadist
ini juga berlaku bagi ikhwan ke akhwat dalam konteks yang umum juga, karena
secara tabi’i akhwat sangat senang mendengar sesuatu yang “indah” terutama
perkataan makanya di haidst nabi jangan mencelanya artinya bersikap lembutlah
kepada akhwat baik dengan perbuatan maupun dengan kata-kata! Karena jika tidak
jangan aneh ketika melihat akhwat di caci satu kata maka ia akan membalas 1000
kata cacian terhadap orang yang mencacinya tadi! Di koreksi satu kata maka ia
kan balik menkoreksi 1000 kata!! Mendengar kata-kata yang kasar itu lebih sakit
dibanding dengan dikasari dengan sikap (tergantung)!! Mohon pahami ini udah
tabiat (kecuali bagi yang bisa mengendalikan diri). Dan ketika akhwat mendengar
sesuatu yang berupa, “pujian, do’a, kata-kata yang indah, syair kalimat-kalimat
emosional” maka ia akan sangat senang dan akan bersikap menghargai siapapun
yang bisa memahami dan mengerti keadaan dia. Makanya saya kasih clue, plEaSe
ngErtiiN gUe!! Ini kalimat mengandung indikasi bagi akhwat ketika ada masalah
dengan orang, pasti yang pertama timbul di benak kenapa gak bisa ngertiin gUe
sii??..
Jangan
mendiamkannya kecuali di rumah
ini bermaksud akhwat sangat tidak suka tidak diacuhkan (diperhatikan, red)
akhwat paling tidak suka tidak di acuhkan ketika dalam kehidupan luar rumah,
entah itu organisasi, perkuliahan (statusnya ketika ngejar dosen untuk
bimbingan, kasih tugas, minta perbaikan nilai dll), ini konteksnya global mau
itu akhwat ke ikhwan atau kesesama akhwat.
Tapi
tidak menutup kemungkinan juga karakter akhwat itu beda-beda tapi hampir
rata-rata sama, ketika berkomunikasi lebih vokal, ahli bahasa verbal maupun non
verbal, lebih emosional, mudah ekspresi, sulit melupakan tapi mudah melupakan,
butuh pendengar, lebih menggunakan aspek perasann (wajar, terkait dengan
fungsinya sebagai seorang ibu), kalau ikhwan pingin di hargai kalau akhwat
lebih ingin di perhatikan dan di mengerti. Mudah bersabar, argumentatif,
detail-isme, de el el.
Ikhwan – akhwat “antara langit dan bumi”
Jalaludin
Rumi mengatakan ikhwan-akhwat bagaikan langit dan bumi, apa yang terlintas
dalam benak anda?? pasti jauh sangat jauh berbeda (dengan berbagai macam
perbedaannya), kalau saya memandang bukan fakta perbedaannya yang menyebabkan
menjadi berpikir “jauh”, saya tidak memandang dari sisi perbedaan karena memang
tanpa kita pandangpun memang berbeda dan memang sudah takdir untuk berbeda.
But,
U ever thingking?? Langit ketika hujan dan airnya jatuh ke bumi sehingga bumi
tadi bisa menghasilkan tanaman-tanaman. Bumi bisa menghasilkan sesuatu karena
ada air yang jatuh dari langit. Memang sudah aturannya seperti itu.
Begitu
juga ikhwan-akhwat, kekurangan ikhwan itu di tutupi oleh kelebihan yang akhwat
miliki begitu juga sebaliknya. Saling melengkapi.
Benak kusut
Permasalahan
yang sering kali muncul antara ikhwan-akhwat dalam hubungan interpersonal baik
statusnya sebagai sesama anggota dakwah, anak kuliahan, dunia pekerjaan,
sebagai salah satu anggota keluarga dan anggota masyarakat. Biasanya yang
sering terjadi pasti karena, miss komunikasi, jarang komunikasi (rapat kaga
jalan) sehingga terjadi lose kontrol sehingga menyebabkan komunikasi satu arah,
adanya pembelaan dan klarifikasi, komunikasi kek perang ofensiv dan defensiv,
ini dalam konteks ikhwan-akhwat yang ada dalam sebuah lembaga dakwah (saya
ambil kehidupan yang global). Intinya mah komunikasi!! Corak komunikasi yang
dibangun, isi atau kontent komunikasi yang dijalin!!
Saya
ambil contoh, ada seorang akhwat secara karakter dia sangat serius dalam
bersikap terutama masalah hubungan ke arah yang serius, tiba-tiba ada ikhwan
yang siap untuk mengkhitbahnya, nah tanpa di sadari ikhwan tadi mengungkapkan
“kalimat” yang begitu meninggikan dari keadaan akhwat tadi lewat kata-kata
seperti, “ukhti saya siap menikahi ukhti dan saya harap ukhti menerima
pinagangan saya dan saya akan menbahagiakan ukhti”.
Hhmm,
apa yang ada di pikiran kalian?? Keknya si ikhwan tadi di terima karena secara
psikologis akhwat itu lebih senang dipuji dan mendengarkan kata-kata yang
indah.
Sayang
sekali, akhwat tadi menolaknya. Saya gak akan bahas kenapa-napanya, tapi
intinya adalah corak komunikasi yang dibangun dan kondisi psikologi komunikan.
Memang secara psikolgis akhwat senang mendengar kata-kata indah, tapi itu
lantas tidak menjadi jaminan ia akan bersikap atau merespon baik dari yang kita
kira.
Corak
komunikasi yang kalau saya menilai bisa diandasi oleh beberapa hal, yang
pertama sebagai ekspektasi dari gharizah bisa nau’ contohnya kek di atas tadi,
bisa juga baqa’ mungkin seperti kalimat, “ukhti bisa kita ketemu berdua untuk
membicarakan khitbahan saya (baqa’ yang dilandasi hawa nafsu sehingga kurang
berpikir jernih dan menghalalkan segala cara agar tujuan tercapai), yang
terakhir dari gharizah tadayyun seperti “maukah ukhti menjadi bidadari dunia
yang kelak akan melahirkan mujahid/ah generasi pejuang islam, bersama-sama
menguatkan keimanan, membangun keluarga yang ideologis?? (alah..)
Heuheu..
saya suka ketawa sendiri kalau nulis kek ginih, btw bukan ini yang ingin saya
tunjukan!!
Kembali
ke corak komunikasi, yang kalau saya menilai contoh-contoh kek diatas lebih
kepada corak komunikasi yang dibangun atas landasan gharizah. Bukan corak
komunikasi yang dilandasi atas pemahaman yang diharapkan bisa membangun
pemikiran bersama sehingga yang perlu diperhatikan adalah metode dan data
penelaahannya walaupun ini menyangkut urusan hati. Sehingga akan ada penyikapan
yang benar.
Corak/landasan
komunikasi yang dilandasi dari akal/pemahaman yang tujuannya diharapkan akan
membangun pemikiran bersama itu lebih abadi dibandingkan corak komunikasi yang
dilandasi atas gharizah. Karena gharizah akan berubah-ubah tergantung
rangsangannya. Tapi memang, ketika kita berinteraksi itu sebagai pemenuhan atas
naluri tapi yang saya maksud itu adalah “kecenderungannya”, perangkat mana yang
akan ia pakai, perasaan/emosinya kah?? Atau akalnya??
Manusia
itu terdiri dari akal dan emosi bukan dipisahkan akan tetapi kedua perangkat
itu memang ada di dalam manusia itu sendiri. diharapkan ketika bersikap atau
membuat keputusan pemahaman/akallah disini cenderung untuk didahulukan
dibandingkan perasaan atau emosi.
Benak lurus –memasangkan langit dan bumi-
Oke,
seperti apakah misal seseorang yang lebih mengedepankan akal/pemahaman yang
diharapkan akan membangun pemikiran bersama dengan memperhatikan metode
penelaahannya, sehingga muncul sikap yang benar!! Termasuk urusan hati (alah
lagi)
Jangan
aneh ketika melihat ikhwan yang secara perangai kasar, keras kepala, dingin,
dan bukan sifatnya ketika ia harus bersikap lembut pada seorang akhwat (bisa
ibunya atau juga istrinya, adik perempuannya) berarti dia telah mengamalkan
hadist nabi saw di atas sebagaimana Umar bin Khatab r.a. bersikap lemah lembut
kepada istrinya, mendengarkan setiap keluhan istrinya (cerewet, red), sikap
Umar ketika turun ayat An Nisa: 3 yang membatasi jumlah akhwat untuk dipoligami
maka Umar menceraikan istri-istrinya yang cantik kecuali istri yang secara
fisik biasa saja tapi apa perkataan Umar, “saya khawatir kecantikan istri-istri
saya bisa melalaikan ibadah saya terhadap Allaah ‘azza wa jalla dan saya lebih
senang memilih istri yang cerewet agar mengingatkan saya untuk beribadah
terus”. Itulah Umar yang memiliki perangai yang kasar dan keras kepala lagi
dingin akan tetapi dapat bersikap lemah lembut terhadap istrinya.
Dan
jangan aneh pula ketika ada seorang akhwat yang lebih memilih untuk bersikap
sabar dan mengerti terhadap sikap dari ikhwan (bisa ayahnya, kakak, suaminya,
teman lembaga dakwah) ketika ikhwan tadi belum bisa bersikap lemah lembut,
masih bersikap kasar dan dingin. Akhwat tadi tidak menuntut untuk sikap yang
seharusnya tapi lebih memilih untuk mengerti dan bersabar, menunggu hingga
suatu saat nanti pasti ia bisa mengamalkan hadist Nabi Saw di samping ia
senantiasa mengingatkan, berarti akhwat tadi seperti laksana Ummu sulaim r.a.
sahabiyah yang masuk islam awal ketika ummu di persunting oleh abu Talhah
r.a.yang ia masih dalam keadaan kafir akan tetapi Ummu sama sekali tidak
menolaknya (pastinya secara perasaan, setiap akhwat menginginkan suami yang
unggul terutama dari segi keimanan agar dapat membingbingnya). Ummu hanya
mengatakan tanpa perkataan yang mendikte dan menuntut, “aku mau menjadi pendampingmu
jika kau masuk islam, dan aku rela islam sebagai maharku” Ummu seketika menjadi
jalan “cahaya” keislaman Abu Talhah r.a. yang kelak Abu menjadi salah satu dari
sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga (semoga allaah memberikan rahmat
kepada para sahabat Nabi)
Terpikirkankah
oleh kita seorang Abu mantan orang kafir yang memerangi Nabi dulunya bisa
menjadi salah satu sahabat yang dijamin masuk surga?? Luar biasa peran Ummu…
Sahabat-sahabat
semua, dalam teori yang saya curahkan dalam tulisan ini, bisa saja salah! (karena
setiap orang punya teori dan punya sisi psiko masing-masing sehingga
memunculkan pandangan yang berbeda-beda, yang salah adalah jika pandangan itu
berdasarkan asumsi/prasangkaan belaka)
Hanya
saja, saya memandang antara laki-laki dan wanita memiliki kelebihan dan
kekurangan yang tidak sama. Sehingga dari setiap kekurangan dapat kita terima
dengan lapang dada dan ikhlas sebagaimana kita bisa dengan mudahnya menerima
kelebihan orang lain.
Dua
manusia ini tidak akan pernah cocok dan sama selamanya sampai mati!! Karena
memang di takdirkan untuk tidak bisa sama dan mustahil untuk dipaksakan bisa
sama karena kedua-duanya adalah berbeda!! Tidak ada istilah cocok atau tidak
cocok antara ikhwan dan akhwat yang ada adalah “bagaimana” bisa mencocokakan
diri!! Tapi ini juga mustahil berarti kita menjadi orang lain bukan diri
sendiri, kita mengejar sesuatu demi kepuasan hawa nafsu.
Contoh
kecil adalah orang tua, jujur saja, dalam keluarga saya terdapat banyak sekali
karakter dan sifat yang sama sekali berbeda, kesukaan, kesenangan yang sama
sekali berbeda.
Orang
tua saya tahu dan mengerti akan perbedaan ini, tapi perbedaan ini tidak lantas
mencari tahu apa parameter persamaan (saya cenderung menilai ini lebih
menggunakan perangkat perasaan)!! Sehingga perbedaan itu akan harmonis, bukan
itu!! Sungguh bukan itu!! Kalau seandainya semua orang tua berpikir seperti itu
pasti akan ada pemutusan hubungan antara orangtua dan anak, ada “sesuatu” yang
melebihi hanya sekedar membuat “parameter” karena jika manusia yang menentukan
parameter ini pastinya akan berubah-ubah!!
So apakah itu?? “Sikap tulus” yang
lahir dari keimanan kepada sang Al Khaliq itulah yang melahirkan sikap saling
mengerti dan memahami keadaan lawan kita. Yah, sikap tulus yang akan melahirkan
sikap yang tidak banyak menuntut, sikap menerima apa adanya dalam artian hargai
dia sebagai manusia yang layak dihargai walaupun ketika ia berbuat salah
disamping telah menasehati, dan sikap saling memahami.
Sikap
tulus dapat juga diartikan lahir dari cara berpikir untuk dapat
“menerima”, menerima tidaklah berarti menyetujui semua perilaku orang lain
atau rela menanggung akibat dari perilaku orang lain. Menerima tidak
berarti menilai pribadi orang berdasarkan perilakunya yang tidak kita
senangi, betapapun jeleknya perilaku menurut persepsi kita. Jika tidak ada
sikap ini maka yang ada adalah mengkritik (secara psikologis akhwat sangat
kental dengan sikap ini, tapi sikap mengkritik ini bukan lahir dari sikap
untuk merendahkan, sama sekali tidak!! Tapi lebih ke arah sikap tegas
melindungi diri dari sesuatu yang tidak sesuai dengan hukum syara’), dan
mengecam buta.
Sikap
tulus yang lahir dari pikiran jernih. Ini yang saya maksud membangun pemikiran
bersama sehingga objektif. Sehingga komunikasi yang dijalin akan sehat dan
efektif. Karena corak atau isi komunikasi yang dibangun berdasarkan kecenderungan
ia menggunakan perangkat akal bukan emosi atau perasaan. Sehingga lagi, akan
muncul sikap “saling” saling mengerti, memahami, menasehati, mengingatkan dll.
Jika terjadi perselisihan di kembalikan lagi kepada landasan yang menjadi corak
komunikasi yang tujuannya membangun pemikiran bersama dan kembalikan setiap
perselisihan itu adalah hukum syara’ sebagai “source of solution”!!
By: Sinta Mardiah
By: Sinta Mardiah