Kamis, 20 September 2012

Psikologi Ikhwan-Akhwat


Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang sbesar. (Al Ahzab: 35)
Semenjak allah ‘azza wa jalla menciptakan nabi adam as seorang diri kemudian diciptakannya Hawa sebagai pendamping untuk menghancurkan rasa kesepian nabi adam ketika berada di surga, yang diciptakan dari tulang rusuk beliau. Sehingga munculah hadist “perempuan itu diciptakan dari tulang rusuknya laki-laki”.
Dari dulu sampai sekarang hanya ada dua kategori manusia yang memiliki jenis kelamnin laki-aki dan perempuan saja.
Secara struktur bilogis ikhwan dan akhwat amat sangat berbeda sehingga dalam pengklasifikasian peran, hak dan kewajiban antara ikhwan dan akhwat pun berbeda satu sama lain. namun perbedaan ini tidal lantas di artikan adanya diskriminasi satu sama lain. islam eist solung
Di dalam islam antara laki-laki dan perempuan adalah setara. Islam menjelaskan secara gamblang dan akurat tentang peran kaum laki-laki dan perempuan dalam kehidupan ini, serta memberikan pedoman yang rinci tentang bagaimana seharusnya mereka berinteraksi antara satu dengan yang lain dalam setiap aspek kehidupan. Penjelasan dan pembagian peran ini langsung berasal dari Allah Swt, Sang Pencipta manusia.
Interaksi yang dibangun antara ikhwan dan akhwat adalah interaksi yang dibolehkan secara syara’, misal dalam konteks pendidikan, kesehatan dan muamalah. Interaksi inipun tidak lain adalah kerjasama demi terwujudnya sebuah peradaban agung yaitu peradaban islam.
Kadang, Seringkali ketika terjadi miss comunication di dua mahluk ini bukan karena “sering atau tidak seringnya” ketika berkomunikasi. Tetapi isi dari komunikasi yang terjalin, akan tetapi memang sangat tidak mudah ketika menjalin komunikasi anatara ikhwan dan akhwat sehingga komunikasi yang terjalin itu efekif kecuali belajar untuk memahami lawan jenis dengan berinteraksi, tapi dengan catatan seperlunya saja dan tetep kudu syar’i.
Oke, saya mencoba untuk sedikit meneliti permasalahan-permasalahan yang biasanya timbul ketika menjalin hubungan interpersonal ikhwan dan akhwat adalah karena “ komunikasi” yang meliputi kontent, cara berkomunikasi, benturan sifat/karakter satu sama lain, beda prinsip dll. Komunikasi itu meliputi bahasa verbal maupun non verbal.
Nah sebelum ke arah “komunikasinya” saya akan bahas sedikit pandangan dari sisi psikologis ikhwan dan akwat. Karena, terkadang kenapa biasanya ada kesalahpahaman dan penyikapan yang salah di kedua belah pihak, bisa jadi satu sama lain belum mengetahui “seperti apa” keadaan, fakta, pengetahuan antara ikhwan dan akhwat (sifat/ karakter yang umum) tentu dalam konteks yang global.
Ikhwan  -Please Hargai Gue!!-
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shaleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (An Nisa: 34)
Dalam ayat ini Allaah ‘azza wa jalla memberikan sifat Qawamah (kepemimpinan) kepada ikhwan, dan qunut (ketaatan) kepada akhwat. Hal ini menunjukan bahwa fungsi ikhwan adalah memimpin dan kewajiban akhwat adalah taat (lihat Al qurthubi dalam al Jami’ Liahkamil Qur’an 14/179)
Kenapa saya memberikan semacam clue “please hargai gue!!”, tanpa bermaksud sotoy nii kepada para ikhwan ^^. Kalimat ini mungkin sering muncul di benak ikhwan baik dalam konteks dia sebagai anak, peran dia di lembaga dakwah, dunia pekerjaan dan sebagai suami. Kalimat ini sangat erat indikasinya tentang masalah “kepemimpinan” yang sedang ia pimpin. Setiap keputusan-keputusan yang di keluarkan baik konteksnya dia sebagai anak, suami dan anggota masyarakat ingin keputusannya itu “di hargai” bukan dalam konteks mengemis untuk dihargai.
Tapi memang secara tabiat ikhwan lebih senang dan sangat menghargai kepada siapapun ketika dia dihargai dalam hal apapun!! Makanya sangat mudah untuk membuat ayah saya senang dengan seketika ketika beliau sedang marah, hanya cukup dengan “menampakan wajah manis (alah..)” dan untuk menghargai beliau dengan apa yang sudah beliau berikan, cukup dengan tersenyum dan say “nuhun” walaupun belum sesuai harapan (nah, nanti dibahas pas bagian akhwat kenapa rata2 akhwat susah untuk menerima lebih tepatnya suka mengoreksi terlebih dahulu dengan sesuatu yang ada di hadapannya)
mungkin beda-beda setiap karakter kaum laki-laki tapi rata-rata sama. Sudah tabiat ikhwan ketika berkomunikasi tidak banyak bicara, tidak suka di dikte, tidak suka bicara panjang lebar, tidak suka dengan orang yang cerewet, susah untuk mengatakan “saya tidak tahu” (tergantung), susah mengungkapkan sesuatu, keras kepala, egois yang tinggi, tidak suka digurui (kamu tuh kaya gini.. bla..bla..), tidak senang di koreksi secara membabi buta, pantang menyerah, berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan apa yang diinginkannya (tergantung), tidak sabaran (tergantung), tidak ingin diragukan kepercayaan yang diberikan kepada siapapun artinya tidak suka jika ada yang meragukan apa yang ia berikan, de el el.
Secara tabiat juga, ikhwan dalam bersikap lebih menggunakan perangkat akal/logika dibandingkan perasaan dan mudah untuk melupakan sesuatu dan terkadang sulit untuk memulai dari awal, jarang menangis/susah untuk menangis tapi sekali menangis justru menghawatirkan.
Akhwat –pLeAsE ngErtiiN gUe!!-
Saya berusaha untuk berpikir objektif sehingga melihat kedua belah pihak tidak bersikap “memihak dan membela (statusnya bukan lawer disinih)”, tujuan tulisan ini pun hanya ingin memberikan gambaran tentang permasalahan yang biasanya muncul dalam hubungan interpersonal ikhwan-akhwat baik dalam konteks personal, lembaga dakwah, anggota masyarakat, dan sikap apa yang seharusnya di ambil! Tentu dalam konteks yang global dan bahasannya tetep syar’i.
“orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada istrinya dan aku adalah yang paling baik di antara kalian kepada istriku” HR At Tirmidzi, Abu Dawud dan Ad Darimi
Ada beberapa hadist yang menceritakan tentang “bagaimana” seharusnya sikap ikhwan dalam bersikap dan menyikapi sikap akhwat. Kalau Hadist yang di atas lebih tepatnya sebagai “rambu” yang rasul saw berikan untuk kaum adam agar dalam bersikap kepada istrinya dengan penyikapan yang benar dan hati-hati.
Saya sering bertanya (bukan mempertanyakan!!) ke diri sendiri, kenapa aturan mulai dari al Qur’an dan hadist banyak sekali menceritakan tentang akhwat?? Ternyata, pas di telusuri wajar, sangat wajar luar biasa islam itu agama yang sangat memuliakan seorang wanita. Jangan kira bidadari itu hanya terdiri dari “bidadari langsung!” tapi dari kalangan wanita dunia yang beriman pun ada! (silahkan liat tafsir imam jalalain)
Oke, saya teringat sebuah hadist “jangan mencela (mencaci) nya, dan jangan mendiamkannya kecuali di rumah”  (HR Abu Dawud dan Ahmad),
hadist ini memerintahkan kepada para suami untuk memperhatikan hak-hak istri agar para suami bersikap lemah lembut dan memperlakukan istri dengan makruf (menurut al munawi)
Hadist ini juga berlaku bagi ikhwan ke akhwat dalam konteks yang umum juga, karena secara tabi’i akhwat sangat senang mendengar sesuatu yang “indah” terutama perkataan makanya di haidst nabi jangan mencelanya artinya bersikap lembutlah kepada akhwat baik dengan perbuatan maupun dengan kata-kata! Karena jika tidak jangan aneh ketika melihat akhwat di caci satu kata maka ia akan membalas 1000 kata cacian terhadap orang yang mencacinya tadi! Di koreksi satu kata maka ia kan balik menkoreksi 1000 kata!! Mendengar kata-kata yang kasar itu lebih sakit dibanding dengan dikasari dengan sikap (tergantung)!! Mohon pahami ini udah tabiat (kecuali bagi yang bisa mengendalikan diri). Dan ketika akhwat mendengar sesuatu yang berupa, “pujian, do’a, kata-kata yang indah, syair kalimat-kalimat emosional” maka ia akan sangat senang dan akan bersikap menghargai siapapun yang bisa memahami dan mengerti keadaan dia. Makanya saya kasih clue, plEaSe ngErtiiN gUe!! Ini kalimat mengandung indikasi bagi akhwat ketika ada masalah dengan orang, pasti yang pertama timbul di benak kenapa gak bisa ngertiin gUe sii??..
Jangan mendiamkannya kecuali di rumah ini bermaksud akhwat sangat tidak suka tidak diacuhkan (diperhatikan, red) akhwat paling tidak suka tidak di acuhkan ketika dalam kehidupan luar rumah, entah itu organisasi, perkuliahan (statusnya ketika ngejar dosen untuk bimbingan, kasih tugas, minta perbaikan nilai dll), ini konteksnya global mau itu akhwat ke ikhwan atau kesesama akhwat.
Tapi tidak menutup kemungkinan juga karakter akhwat itu beda-beda tapi hampir rata-rata sama, ketika berkomunikasi lebih vokal, ahli bahasa verbal maupun non verbal, lebih emosional, mudah ekspresi, sulit melupakan tapi mudah melupakan, butuh pendengar, lebih menggunakan aspek perasann (wajar, terkait dengan fungsinya sebagai seorang ibu), kalau ikhwan pingin di hargai kalau akhwat lebih ingin di perhatikan dan di mengerti. Mudah bersabar, argumentatif, detail-isme, de el el.
Ikhwan – akhwat “antara langit dan bumi”
Jalaludin Rumi mengatakan ikhwan-akhwat bagaikan langit dan bumi, apa yang terlintas dalam benak anda?? pasti jauh sangat jauh berbeda (dengan berbagai macam perbedaannya), kalau saya memandang bukan fakta perbedaannya yang menyebabkan menjadi berpikir “jauh”, saya tidak memandang dari sisi perbedaan karena memang tanpa kita pandangpun memang berbeda dan memang sudah takdir untuk berbeda.
But, U ever thingking?? Langit ketika hujan dan airnya jatuh ke bumi sehingga bumi tadi bisa menghasilkan tanaman-tanaman. Bumi bisa menghasilkan sesuatu karena ada air yang jatuh dari langit. Memang sudah aturannya seperti itu.
Begitu juga ikhwan-akhwat, kekurangan ikhwan itu di tutupi oleh kelebihan yang akhwat miliki begitu juga sebaliknya. Saling melengkapi.
Benak kusut
Permasalahan yang sering kali muncul antara ikhwan-akhwat dalam hubungan interpersonal baik statusnya sebagai sesama anggota dakwah, anak kuliahan, dunia pekerjaan, sebagai salah satu anggota keluarga dan anggota masyarakat. Biasanya yang sering terjadi pasti karena, miss komunikasi, jarang komunikasi (rapat kaga jalan) sehingga terjadi lose kontrol sehingga menyebabkan komunikasi satu arah, adanya pembelaan dan klarifikasi, komunikasi kek perang ofensiv dan defensiv, ini dalam konteks ikhwan-akhwat yang ada dalam sebuah lembaga dakwah (saya ambil kehidupan yang global). Intinya mah komunikasi!! Corak komunikasi yang dibangun, isi atau kontent komunikasi yang dijalin!!
Saya ambil contoh, ada seorang akhwat secara karakter dia sangat serius dalam bersikap terutama masalah hubungan ke arah yang serius, tiba-tiba ada ikhwan yang siap untuk mengkhitbahnya, nah tanpa di sadari ikhwan tadi mengungkapkan “kalimat” yang begitu meninggikan dari keadaan akhwat tadi lewat kata-kata seperti, “ukhti saya siap menikahi ukhti dan saya harap ukhti menerima pinagangan saya dan saya akan menbahagiakan ukhti”.
Hhmm, apa yang ada di pikiran kalian?? Keknya si ikhwan tadi di terima karena secara psikologis akhwat itu lebih senang dipuji dan mendengarkan kata-kata yang indah.
Sayang sekali, akhwat tadi menolaknya. Saya gak akan bahas kenapa-napanya, tapi intinya adalah corak komunikasi yang dibangun dan kondisi psikologi komunikan. Memang secara psikolgis akhwat senang mendengar kata-kata indah, tapi itu lantas tidak menjadi jaminan ia akan bersikap atau merespon baik dari yang kita kira.
Corak komunikasi yang kalau saya menilai bisa diandasi oleh beberapa hal, yang pertama sebagai ekspektasi dari gharizah bisa nau’ contohnya kek di atas tadi, bisa juga baqa’ mungkin seperti kalimat, “ukhti bisa kita ketemu berdua untuk membicarakan khitbahan saya (baqa’ yang dilandasi hawa nafsu sehingga kurang berpikir jernih dan menghalalkan segala cara agar tujuan tercapai), yang terakhir dari gharizah tadayyun seperti “maukah ukhti menjadi bidadari dunia yang kelak akan melahirkan mujahid/ah generasi pejuang islam, bersama-sama menguatkan keimanan, membangun keluarga yang ideologis?? (alah..)
Heuheu.. saya suka ketawa sendiri kalau nulis kek ginih, btw bukan ini yang ingin saya tunjukan!!
Kembali ke corak komunikasi, yang kalau saya menilai contoh-contoh kek diatas lebih kepada corak komunikasi yang dibangun atas landasan gharizah. Bukan corak komunikasi yang dilandasi atas pemahaman yang diharapkan bisa membangun pemikiran bersama sehingga yang perlu diperhatikan adalah metode dan data penelaahannya walaupun ini menyangkut urusan hati. Sehingga akan ada penyikapan yang benar.
Corak/landasan komunikasi yang dilandasi dari akal/pemahaman yang tujuannya diharapkan akan membangun pemikiran bersama itu lebih abadi dibandingkan corak komunikasi yang dilandasi atas gharizah. Karena gharizah akan berubah-ubah tergantung rangsangannya. Tapi memang, ketika kita berinteraksi itu sebagai pemenuhan atas naluri tapi yang saya maksud itu adalah “kecenderungannya”, perangkat mana yang akan ia pakai, perasaan/emosinya kah?? Atau akalnya??
Manusia itu terdiri dari akal dan emosi bukan dipisahkan akan tetapi kedua perangkat itu memang ada di dalam manusia itu sendiri. diharapkan ketika bersikap atau membuat keputusan pemahaman/akallah disini cenderung untuk didahulukan dibandingkan perasaan atau emosi.
Benak lurus –memasangkan langit dan bumi-
Oke, seperti apakah misal seseorang yang lebih mengedepankan akal/pemahaman yang diharapkan akan membangun pemikiran bersama dengan memperhatikan metode penelaahannya, sehingga muncul sikap yang benar!! Termasuk urusan hati (alah lagi)
Jangan aneh ketika melihat ikhwan yang secara perangai kasar, keras kepala, dingin, dan bukan sifatnya ketika ia harus bersikap lembut pada seorang akhwat (bisa ibunya atau juga istrinya, adik perempuannya) berarti dia telah mengamalkan hadist nabi saw di atas sebagaimana Umar bin Khatab r.a. bersikap lemah lembut kepada istrinya, mendengarkan setiap keluhan istrinya (cerewet, red), sikap Umar ketika turun ayat An Nisa: 3 yang membatasi jumlah akhwat untuk dipoligami maka Umar menceraikan istri-istrinya yang cantik kecuali istri yang secara fisik biasa saja tapi apa perkataan Umar, “saya khawatir kecantikan istri-istri saya bisa melalaikan ibadah saya terhadap Allaah ‘azza wa jalla dan saya lebih senang memilih istri yang cerewet agar mengingatkan saya untuk beribadah terus”. Itulah Umar yang memiliki perangai yang kasar dan keras kepala lagi dingin akan tetapi dapat bersikap lemah lembut terhadap istrinya.
Dan jangan aneh pula ketika ada seorang akhwat yang lebih memilih untuk bersikap sabar dan mengerti terhadap sikap dari ikhwan (bisa ayahnya, kakak, suaminya, teman lembaga dakwah) ketika ikhwan tadi belum bisa bersikap lemah lembut, masih bersikap kasar dan dingin. Akhwat tadi tidak menuntut untuk sikap yang seharusnya tapi lebih memilih untuk mengerti dan bersabar, menunggu hingga suatu saat nanti pasti ia bisa mengamalkan hadist Nabi Saw di samping ia senantiasa mengingatkan, berarti akhwat tadi seperti laksana Ummu sulaim r.a. sahabiyah yang masuk islam awal ketika ummu di persunting oleh abu Talhah r.a.yang ia masih dalam keadaan kafir akan tetapi Ummu sama sekali tidak menolaknya (pastinya secara perasaan, setiap akhwat menginginkan suami yang unggul terutama dari segi keimanan agar dapat membingbingnya). Ummu hanya mengatakan tanpa perkataan yang mendikte dan menuntut, “aku mau menjadi pendampingmu jika kau masuk islam, dan aku rela islam sebagai maharku” Ummu seketika menjadi jalan “cahaya” keislaman Abu Talhah r.a. yang kelak Abu menjadi salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga (semoga allaah memberikan rahmat kepada para sahabat Nabi)
Terpikirkankah oleh kita seorang Abu mantan orang kafir yang memerangi Nabi dulunya bisa menjadi salah satu sahabat yang dijamin masuk surga?? Luar biasa peran Ummu…
Sahabat-sahabat semua, dalam teori yang saya curahkan dalam tulisan ini, bisa saja salah! (karena setiap orang punya teori dan punya sisi psiko masing-masing sehingga memunculkan pandangan yang berbeda-beda, yang salah adalah jika pandangan itu berdasarkan asumsi/prasangkaan belaka)
Hanya saja, saya memandang antara laki-laki dan wanita memiliki kelebihan dan kekurangan yang tidak sama. Sehingga dari setiap kekurangan dapat kita terima dengan lapang dada dan ikhlas sebagaimana kita bisa dengan mudahnya menerima kelebihan orang lain.
Dua manusia ini tidak akan pernah cocok dan sama selamanya sampai mati!! Karena memang di takdirkan untuk tidak bisa sama dan mustahil untuk dipaksakan bisa sama karena kedua-duanya adalah berbeda!! Tidak ada istilah cocok atau tidak cocok antara ikhwan dan akhwat yang ada adalah “bagaimana” bisa mencocokakan diri!! Tapi ini juga mustahil berarti kita menjadi orang lain bukan diri sendiri, kita mengejar sesuatu demi kepuasan hawa nafsu.
Contoh kecil adalah orang tua, jujur saja, dalam keluarga saya terdapat banyak sekali karakter dan sifat yang sama sekali berbeda, kesukaan, kesenangan yang sama sekali berbeda.
Orang tua saya tahu dan mengerti akan perbedaan ini, tapi perbedaan ini tidak lantas mencari tahu apa parameter persamaan (saya cenderung menilai ini lebih menggunakan perangkat perasaan)!! Sehingga perbedaan itu akan harmonis, bukan itu!! Sungguh bukan itu!! Kalau seandainya semua orang tua berpikir seperti itu pasti akan ada pemutusan hubungan antara orangtua dan anak, ada “sesuatu” yang melebihi hanya sekedar membuat “parameter” karena jika manusia yang menentukan parameter ini pastinya akan berubah-ubah!!
So apakah itu?? “Sikap tulus” yang lahir dari keimanan kepada sang Al Khaliq itulah yang melahirkan sikap saling mengerti dan memahami keadaan lawan kita. Yah, sikap tulus yang akan melahirkan sikap yang tidak banyak menuntut, sikap menerima apa adanya dalam artian hargai dia sebagai manusia yang layak dihargai walaupun ketika ia berbuat salah disamping telah menasehati, dan sikap saling memahami.
Sikap tulus dapat juga diartikan lahir dari cara berpikir untuk dapat “menerima”, menerima tidaklah berarti menyetujui semua perilaku orang lain atau rela menanggung akibat dari perilaku orang lain. Menerima tidak berarti menilai pribadi orang berdasarkan perilakunya yang tidak kita senangi, betapapun jeleknya perilaku menurut persepsi kita. Jika tidak ada sikap ini maka yang ada adalah mengkritik (secara psikologis akhwat sangat kental dengan sikap ini, tapi sikap mengkritik ini bukan lahir dari sikap untuk merendahkan, sama sekali tidak!! Tapi lebih ke arah sikap tegas melindungi diri dari sesuatu yang tidak sesuai dengan hukum syara’), dan mengecam buta.
Sikap tulus yang lahir dari pikiran jernih. Ini yang saya maksud membangun pemikiran bersama sehingga objektif. Sehingga komunikasi yang dijalin akan sehat dan efektif. Karena corak atau isi komunikasi yang dibangun berdasarkan kecenderungan ia menggunakan perangkat akal bukan emosi atau perasaan. Sehingga lagi, akan muncul sikap “saling” saling mengerti, memahami, menasehati, mengingatkan dll. Jika terjadi perselisihan di kembalikan lagi kepada landasan yang menjadi corak komunikasi yang tujuannya membangun pemikiran bersama dan kembalikan setiap perselisihan itu adalah hukum syara’ sebagai “source of solution”!!

By: Sinta Mardiah

2 komentar: