Senin, 28 April 2014

Cerpen Ke-6 di Dakwatuna


Kutemui dan Kunikahi Engkau di Masjid
(Masjid, ich bin verliebt)

            Siang itu, cuaca tidak terlalu baik. Musim dingin di Berlin mencapai -0,5̊ C. Jalanan kota tampak lengang, bisa di tebak separuh penduduk kota ini sedang berada di depan perapian masing-masing, menghangatkan diri. Aku tiba di Masjid Umar Bin Khatabb jam dua belas. Masih ada waktu kosong dua jam sebelum jadwal mengajar Al-Quranku di Masjid ini. Untung saja masjid ini memiliki restoran ditingkat atas, sehingga aku tidak perlu keluar lagi untuk mencari makan siang.
            Masjid yang di resmikan pada 21 Mei 2010 ini terdiri dari tujuh lantai. Dua lantai untuk tempat sholat dengan daya tampung seribu jamaah. Di setiap lantainya, terdapat fasilitas umum seperti kantor jasa perjalanan, sekolah Alquran dan Bahasa Arab bagi anak-anak, toko buku, cafe, restoran, jasa pelayanan kematian bagi umat muslim, hingga toko daging halal pun ada.
Aku memesan Kohlsuppe (sup kol) dan Erbsensuppe (sup kacang polong) dan teh hangat.
            “Assalamu’alaikum, Mas Faris,”
            “Wa’alaikum salam. Hafiz? Lama tidak bertemu. Kamu di German juga? Habis dari mana?”
            “Habis dari toko buku, Mas. Senang sekali bisa bertemu dengan Mas Faris di sini. Bertemu dengan saudara setanah air itu ibarat bertemu telaga surga. Sejuk.” Ia sumringah sekali.
            “Sudah lama di German, Fiz? Study di sini?”
            “Lah, mas ini tinggal di German kok bahasanya Inggris? Ia mas, baru tahun kedua. Kedokteran. Do’a kan ya biar lancar.”
            “Udah tahun kedua kok ketemunya baru sekarang ya?”
            “Kalau itu, jawabannya bisa ada beberapa kemungkinan mas. Kalau ndak saya atau mas yang sibuk, berarti memang baru ini takdirnya untuk ketemu. Hehehe..”
            “Kamu kenapa nggak ngabarin mas? O ya, kamu sudah pesan makanan? ayo pesan, biar mas yang traktir. Biasanya kan kantong anak kuliahan terbatas bulanan.” Candaku.
            “Ah, sampean ini mas. Pengertiannya menusuk hati sekali. Hehe..”
            Benar yang Hafiz katakan, bertemu saudara sendiri seperti menemui telaga surga. Sejuk. Dinginnya cuaca pun berganti hangat tawa. Hafiz, adik sepupuku dari Malang Surabaya ini bercerita banyak tentang pengalaman tahun pertamanya di kampus dan tinggal di German. Setelah sholat zuhur, aku pun mengajak Hafiz turut serta bersamaku mengajar anak-anak mengaji Al-Qur’an. Dua jam berlalu. Setelah sholat ashar berjamaah, murid-muridku pun pamit pulang. Aku senang dengan semangat mereka belajar mengaji. Meskipun cuaca dingin, mereka tetap hadir untuk mempelajari kalam Qur’an. Aku pun berjanji mengajak mereka liburan setelah musim dingin berlalu, sebagai reward atas semangat mereka.
            “Kalau begitu, saya pamit pulang ke asrama ya, Mas.”
            “Kalau kamu mau, kamu bisa tinggal sama mas. Mas kan tinggal sendiri di sini.”
            “Makanya Mas Faris harus menikah biar tidak tinggal sendiri lagi. Sudah 25 tahun kan? Ganteng, soleh, mapan pula. Tunggu apa lagi?”
            “Tunggu jodohnya, hehe..”
***
Turun ke lantai satu ruang sholat, aku dan Hafiz berpapasan dengan Sarah yang tengah memeluk seorang wanita. Wanita itu menangis sesengkuan di bahunya.
“Ru..qaya?” Panggil Hafiz sedikit ragu. Wanita yang berada dalam pelukan Sarah berpaling melihat ke arah Hafiz.
“Kamu kenapa menangis?”
Wanita yang bernama Ruqaya itu menghapus air mata dengan jemarinya. Ia tersenyum ke arah Hafiz dan aku, “Insya Allah, Alles Gute.”
“Katakanlah, bukankah kita teman?”
Sarah mengajak kami untuk berbincang di kafe. Di sana Ruqaya menceritakan sebab tangisannya kepadaku dan Hafiz. Ruqaya yang bernama asli Natalia Anne Muller, berasal dari keluarga nasrani yang taat. Setengah tahun yang lalu ia menjadi mualaf di Masjid Umar Bin Khatabb karena tersentuh oleh bacaan Al-Qur’an seorang pemuda yang ia dengar. Padahal saat itu, ia datang ke Masjid Umar hanya untuk melihat interior dan kemegahan masjid baru ini.
Setelah itu, ia pun kerap datang ke masjid ini, dan disitulah ia berjumpa dengan Sarah. Karena sering mengobrol dan bertanya ini itu tentang islam, mereka pun akhirnya menjadi teman akrab. Sarah yang tiga tahun lebih tua dari Ruqaya, sudah menganggap Ruqaya seperti adiknya sendiri. Lima bulan perjalanannya sebagai mualaf, Ruqaya sudah hafal juz amma. Ia dibantu Ustadzah Yasmin, salah satu staf konsultasi masjid Umar. Namun di tengah proses  belajarnya sebagai muslim, sebulan yang lalu rahasia kemuslimannya pun diketahui oleh keluarganya.
Ketika itu, Ruqaya sedang sholat maghrib di kamarnya. Di tengah sholat, ayahnya memanggil dan mengetuk pintu kamar. Karena Ruqaya tidak menjawab, ayahnya pun membuka pintu kamarnya.
“Natalia!” Teriak ayahnya, murka. Namun Ruqaya tak menjawab, ia tetap tenang dalam tasyahud akhirnya. Ia tak merespon teriakan ayahnya sampai sholatnya selesai.
“Sudah kuduga ada yang lain dari dirimu. Mengapa tadi kau tak ikut makanan siang bersama. Beberapa minggu yang lalu temanku juga menelepon mengatakan bahwa ia melihatmu memasuki Masjid. Aku pikir ia hanya salah orang, tetapi sekarang aku melihat dengan mata kepalaku sendiri! Kamu akan mendapatkan hukuman atas ini, Nat! Ayo ikut Ayah!”
“Ayah, setiap orang bebas memeluk agama yang ia yakini kebenarannya.”
“Mungkin untuk orang lain bisa, tapi kau anakku! aku yang mengatur hidupmu!”
Saat itu juga, ayahnya memukuli, menarik paksa dan menyeret Ruqaya ke gudang. Ia dibiarkan tinggal di sana. Bahkan, tak ada yang memberinya makan malam. Keadaannya cukup lemas karena saat berbuka puasa sunah tadi, ia hanya meminum seteguk teh. Di hari ketiga, ibunya diam-diam memberinya selimut, beberapa potong roti dan segelas susu. Ia tidak tega melihat Ruqaya tidur di lantai tanpa beralas apapun di musim dingin ini. Ruqaya merasa lega, karena ibunya tidak membenci dirinya atas pilihan hidup yang ia ambil.
“Bila menurutmu ini yang terbaik untuk kau jalani, maka laluilah dengan keimananmu, Nak. Semoga Tuhan menjagamu.”
Hari berikutnya, ayahnya memperlakukan Ruqaya seperti budak. Ia disuruh kerja ini itu, tanpa memberinya waktu istirahat dan makan yang cukup. Melihat keadaan Ruqaya yang semakin mengenaskan, tadi malam ibunya menyuruh Ruqaya untuk pergi dari rumah. Ia tidak ingin Ruqaya diperlakukan terus-terusan seperti itu. Kalau Ayahnya nekat, bisa saja sewaktu – waktu ia menjual Ruqaya. Aku dan Hafiz terdiam mendengar penuturannya. Aku pandang Ruqaya sekilas, ada memar di pelipisnya. Hafiz, tiba-tiba menarikku sedikit menjauh dari Sarah dan Ruqaya.
“Ada apa, Fiz?”
“Mas, saya pikir kamu sudah menemukan jodohmu,”
“Maksudmu Ruqaya?”
“Mas, saya berani menjamin bahwa ia wanita yang baik, bahkan jauh sebelum ia menjadi mualaf. Apalagi setelah sedemikiannya cobaan yang dia hadapi demi hijrahnya.”
Aku tersenyum, “Tidak usah khawatir, sebelum kamu minta, tadi juga sudah terlintas dipikiran mas. Bagaimanapun juga, menyelamatkan jiwa seorang muslim itu wajib.”
“Alhamdulillah, saya memang tidak salah mengagumi orang.”
Aku dan Hafiz kembali ke meja kami. Dengan Bismillah kuutarakan niatku, “Saya tidak tahu, apa hal yang saya sampaikan ini cukup membantu atau tidak, tetapi bila diizinkan, saya bermaksud menawarkan diri saya untuk menikahimu, Ruqaya.”
Sarah tampak kaget, namun sedetik kemudian tersenyum, Hafiz tampak bersemangat sekali, dan Ruqaya malah menangis memeluk Sarah. Apa ia tidak suka?
“Kalau kamu tidak setuju juga tidak apa, tapi kumohon jangan menangis,” Ucapku merasa bersalah.
“Ia terharu. Ini tangis bahagia, bukan bersedih Faris.” Jelas Sarah. Aku hanya ber ‘O’ saja sementara Hafiz menertawaiku. Alhamdulillah.
Saat itu juga aku mengabari staf Masjid Umar bin Khatabb untuk proses akad besok. Ruqaya ingin menikah di masjid ini. Karena aku juga mengajar di masjid ini, jadi banyak pihak yang turut membantu dengan suka rela pernikahan kami.
***
“Wah, cakep sekali sampean, Mas. Makin keluar nih aura kebahagiaan calon pengantin.” Goda Hafiz saat melihatku keluar kamar dengan pakaian pengantin.
“Dari dulu mas memang sudah cakep. Hehehe..” Karena kejadian semalam, Hafiz tidak jadi pulang ke asrama. Ia menginap di rumahku untuk membantu proses acara hari ini. Ruqaya sendiri menginap di apartemen Sarah. Jam sembilan kami tiba di masjid dan langsung proses akad dilaksanakan.
“Saya terima nikah dan kawinnya Ruqaya binti Jhon Muller dengan mas kawin seperangkat alat sholat, sebuah Al-Quran, dan uang sebesar 15.000 Euro dibayar tunai.”
“Sah? Barakallahulaka..,”
***
“Mas, kita ngaji bareng yuk?” Ajakmu setelah kita sholat subuh bersama. Aku tersenyum mendengarnya. Istriku tercinta langsung mengambil dua Al-Quran yang terletak di atas meja kerjaku.
“Mas yang baca terlebih dahulu, setelah itu baru saya.”
Aku memulai dengan ta'awudz dan basmalah. Kubaca surah Ar-Rahman. Hingga pada kalimat, “Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kau dustakan” Ruqaya menangis. Terus menangis sesengkuan.
Aku memberhentikan bacaanku, “Kamu tidak apa-apa Dinda?”
“Saya merasa bersyukur sekali dengan nikmat yang Allah berikan. Kamu tahu mas, kamu adalah jembatan cahaya dari cahaya yang kudapatkan.”
“Maksud Dinda?
“Kamu tahu kan saya mendapat hidayah untuk memeluk islam karena mendengar bacaan Al-Quran di masjid Umar? dan orang yang membaca Al-Quran itu adalah kamu mas. Dan saya tidak menyangka karena pada akhirnya kamu juga yang menyelamatkan hidup saya dari keterasingan keluarga sendiri. Kamu memuliakan saya dengan menjadikan saya pendamping hidupmu. Maka nikmat Allah yang mana lagi yang saya dustakan? Allah sangat menyayangi saya.” Ucapnya masih dengan tangis sesengkuan.

“Allah menyayangi kita, Dinda. Mas juga sangat bersyukur memiliki istri soleha seperti Dinda yang terus giat mempelajari islam. Menyukai semua hal tentang islam. Begitu sami’na wa atho’na terhadap seruan Allah. Kamu yang mas pinta untuk menjadi bidadari surga mas kelak.” Aku mencium dahinya. Ia tenang, diam dalam pelukku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar