Kamis, 08 Maret 2012

Cerpen Media Aisyah 2 (Gadis Beraroma Kasturi)

Lihatlah gadis itu! Wajahnya kian tirus dimakan waktu. Menyelam dikesunyian diri menunggu mati. Entah apa dosa yang ia lakukan, hingga akhir usianya ia sendiri yang mengharap kematian untuk datang.
“Aku sakit melihatmu seperti ini. Jika saja kamu izinkan aku untuk…”
“Kita sudah membicarakan ini kemarin, aku tidak ingin membahasnya lagi. Tolong, Lia.”
Kau menatapku dengan mata kacamu, merendamkan amarahku yang kurasa kian liar menguasai hati ini. Aku tak pernah bisa merelakan hatimu terus teriris oleh mereka yang tak mengenal kasih. Mereka selalu mengganggapmu duri di kehidupan mereka, padahal kau adalah permata yang tak pernah mereka sadari. Tapi tak apa, suatu saat nanti aku yakin mereka akan menderu sesal, kecuali hati mereka memang telah mati. Dan kau, kau akan bahagia teman.
***
Pagi ini aku kembali ke ruanganmu. Kudapati kau tengah menyisir rambutmu. Di ruangan itu tiada siapa-siapa kecuali kau dan aku. Kau melirik kursi roda yang terletak di ujung pintu. Aku pun paham kau ingin berjalan-jalan ke luar. Segera kau kenakan jilbab dan kita mulai menyusur lorong-lorong bangunan ini menuju taman.
“Ada kabar apa hari ini, Lia?”
“Kamu tau, laki-laki sialan itu tak urung juga mendekam di tempat paling pantas untuknya. Ah, orang yang mempunyai kekuasaan itu nasibnya memang selalu mujur!” Geramku.
“Bukan tentang dia! Ibuku, Lia.”
“Beliau ada di rumahku. Aku menculiknya ketika kujumpai ia belanja di pasar.” Kau tersenyum padaku. Sepertinya kau senang mendengar kata-kata culik itu. Aku tak peduli orang-orang di rumahmu pusing tujuh keliling tanpa Ibumu. Kau tersenyum lagi. Ah, betapa senyummu menyegarkan hatiku.
“Kamu tahu, Lia, Allah teramat baik padaku karena menghadirkan kamu di hidupku. Lukaku selalu mampu untuk kamu balut dengan kehangatan persahabatan yang kau sajikan. Terimakasih, terimakasih, Lia.”
Jangan begitu. Jangan kau buat aku bak peri dalam dongeng, aku hanya sahabatmu. Apa yang kulakukan, karena memang aku sahabatmu. Jika kau menangis, aku juga. Jika kau bahagia, aku juga. Karena cinta kita atas cintaNya, bukan dunia.
***
            Suatu hari Ibumu bertanya padaku tentang keberadaanmu, aku hanya bisa berbohong atas janji kita.
            “Lia, apa Nia masih lama di Jakarta?”
            “Ehm, masih, Bu.”
            “Kenapa lama sekali? Memangnya seberapa banyak urusannya di sana?”
            “Anak Ibu itu kan orang yang pintar, ia begitu berdedikasi pada organisasinya, jadi pengembangan organisasi di Jakarta dia yang ambil alih. Ibu tenang saja ya.” Aku mencoba menenagkan Ibumu, padahal aku pun tak sanggup untuk berbohong. Walau sebenarnya aku tak berbohong sepenuhnya. Andai penyakitmu tak kambuh, mungkin saat ini kau memang benar berada di Jakarta.
            “Ya sudah, sekarang Lia pergi ke kampus dulu ya, Bu.”
            Aku keluar meninggalkannya, kulajukan mobil memasuki jalan raya yang penuh sesak mobil lain. Di persimpangan jalan, aku melihat seorang bocah penjual koran. Kau tahu, senyumku begitu mengembang melihat sampul depan koran yang ia jajakkan. Aku membeli satu koran itu, oh tidak! Ternyata tidak hanya satu koran itu saja yang memasang wajahnya, tetapi beberapa koran lainnya Nia.
            “Akhirnya, tamat sudah riwayatmu!” Ceracauku pada gambar yang ada di sampul depan koran.
            Mobilku semakin laju saja membelah jalan ini. Tak berapa lama aku sudah sampai di kampus. Kau tahu, semua mahasiswa telah memegang koran yang tadi kubeli. Mereka tengah sibuk membacanya. Di sudut lain, tepat di depan kantor laki-laki itu, sudah ada ratusan mahasiswa yang berdesak-desakan memaksa masuk. Ketua senat kita juga telah berkoar-koar dengan toanya, memaksa Dekan kita turun dari jabatannya. Tak lama kulihat tiga orang berseragam coklat datang dan memborgol tangannya. Kau tahu, dia meronta dalam ketidak berdayaannya. Aku ingin segera menemuimu untuk menceritakan peristiwa pagi ini, tapi hari ini aku akan ada kelas sampai sore. Kusimpan saja ceritaku sampai nanti kita bertemu.
***
            Aku tertawa-tawa menceritakan peristiwa tadi pagi, tapi kau malah sedikit pun tak tertawa. Kau malah asyik membaca koran yang kubeli.
            “Hentikan tawamu, Lia,”
            “Kenapa? Kau tak senang dia di penjarakan?”
            “Itu sudah sepantasnya dia di sana, hanya saja aku tak ingin kita terlalu senang atas ini. Kau tahu, bagaimana pun juga kesenangan ini kita rasakan, pasti ada pihak yang terluka dan sedih, keluarganya Lia. Mungkin kini anak dan istrinya sedang meraung meratapi kepergian suaminya untuk mendekam di jeruji besi. Dan kita tak layak senang di atas penderitaan orang lain.”
            Kau selalu saja begitu, tak ingin berlaku tak baik terhadap orang lain. Meskipun Dekan itu sudah mengeluarkanmu dari kampus gara-gara kau menulis tentang dirinya yang korupsi uang pembangunan fakultas dan menerima suap dari beberap orang tua mahasiswa. Kebaikanmu, terkadang membuatku merasa kau lebih dari seorang manusia.
            “O, ya, aku lupa memberimu ini. Pak Sofyan plt Dekan menitipkan surat ini kepadaku. Kamu diterima kembali di kampus.”
            “Alhamdulillah,” Kau tersenyum penuh bahagia lalu memelukku.
            Perlahan-lahan, aku mulai merasakan kebahagiaan menepi padamu. Memang sudah sepantasnya orang baik sepertimu bahagia.
            Uhuk..uhuk..
            Uhuk..uhuk..
            Kau terus batuk, dan telapak tanganmu penuh darah ketika kau lepaskan ia dari mulutmu. Aku segera memanggil dokter. Ketika aku beranjak keluar, kau menarik tanganku,
            “Lia, sudah saatnya Ibuku tahu. Tolong bawa ia ke sini.” Aku mengangguk.
***
            Setibanya di rumah, aku melihat Ibumu tengah tidur di kamarnya. Aku tak sanggup membangunkannya dan mengabarkan perihal keadaanmu. Oh,, mengapa harus aku yang menyampaikan berita buruk ini? Perlahan-lahan aku dekati Ibumu, aku bangunkan ia selembut mungkin, aku takut tanganku mengenai sekujur tubuhnya yang penuh memar akibat hantaman Ayahmu dan Ibu tirimu. Namun perlahan kulihat ia tersadar juga.
            “Ada apa, Lia?”
            “Kita ke rumah sakit sekarang yuk, Bu.” Aku tak tahu harus bagaimana memulainya.
            “Siapa yang sakit?”
            “Ehm, sebelumnya Lia mau minta maaf sama Ibu karena Lia sudah berbohong.”
            “Bohong apa?”
            “Nia tidak ada di Jakarta, tapi dia berada di rumah sakit. Nia didiagnosa kena kanker, Bu,”
            Ibumu hanya mampu menyebut nama Allah seraya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
            “Nia tidak ingin membebankan Ibu atas penyakitnya, jadi dia merahasiakan ini. Tidak ada orang lain yang tahu kecuali saya. Maaf kan saya, Bu. Tapi sekarang Nia meminta saya untuk memberitahu Ibu dan mengajak Ibu untuk menemuinya.”
            “Ayo, Nak, Ayo sekarang kita ke sana!”
***
            Saat aku kembali ke rumah sakit dengan membawa serta Ibumu, kau sudah terbaring lemas di tempat tidur. Dokter mengisyaratkan harapanmu yang semakin tipis dengan menggelengkan berulang-ulang kepalanya ke arahku. Benarkah takdirmu akan berhenti Nia?
            “Nia ini Ibu, bagian mana yang sakit, Nak?” Aku lihat ibumu berusaha menegarkan dirinya meskipun air matanya bercucuran.
            “Ibu, maafkan Nia yang menyembunyikan ini semua dari Ibu. Nia sangat sayang pada Ibu.” Kau pun berusaha tersenyum, sementara malaikat Izrail mungkin tengah mengitarimu.
            “Ibu, apapun yang terjadi pada Nia, Ibu harus mengikhlaskannya, Nia bahagia, Bu. Nia juga ingin agar Ibu tidak lagi tinggal di rumah Ayah, tak ada lagi cinta yang bisa dipertahankan di sana, Bu. Jika sewaktu-waktu terjadi sesuatu pada Nia, Nia sudah minta tolong pada Lia untuk mengizinkan Ibu tinggal di rumahnya. Ibu pahamkan maksud Nia?”
            Tak ada lagi kata yang keluar dari bibir Ibumu, yang ada hanya isak tangisnya yang tak berhenti, sampai lafaz syahadat kau ucapkan. Ia terus terpakur di sampingmu Nia. Aku sendiri tak kuat melepas kepergianmu. Mengapa orang baik, selalu cepat perginya?
            Mayatmu pun di bawa ke rumahku, dimandikan, dikafani dan disholati. Kau tahu, tak ada seorang pun dari keluarga Ayahmu yang datang untuk melayatmu, aku rasa kau pun tak mengharap ke datangan mereka.
            Di perjalanan menuju tempat peristirahatan terakhirmu, ada aroma kasturi yang begitu harum menyinggahi ujung hidung kami. Semua mencari asal aroma itu, namun tak perlu berlama-lama menyadarinya, karena itu keluar dari tubuhmu, di mana sang pemiliknya adalah orang yang sangat mulia akan lakunya di dunia. Selamat jalan sahabatku, kebahagiaan hakiki akan segera menyambutmu.

                                                                                                Medan, 5 September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar