SEJARAH SINGKAT KHULAFAUR RASYIDIN
Khulafaur Rasyidin adalah para
kholifah yang arif bijaksana. Mereka adalah keempat sahabat yang terpilih
menjadi pemimpin kaum muslim setelah Nab Muhammad Rasulullah saw. wafat.
Keempat kholifah tersebut ialah:
- Abu Bakar Ash-Shiddiq ra.;
- Umar bin Kaththab ra.;
- Utsman bin Affan ra.; dan
- Ali bin Abi Thalib ra.
Keempat kholifah itu selain berhasil
melanjutkan perjuangan Rasulullah saw. menegakkan ajaran tauhid, juga sukses
memperluas penyebaran dan mengharumkan nama Islam. Berikut ini kami uraikan
sekelumit riwayat hidup dan jasa keempat kholifah tersebut.
Nama aslinya adalah Abdul Ka’bah.
Lalu Nabi Muhammad saw. mengganti namanya dengan Abdullah. Lengkapnya Abdullah
bin Abi Quhafah at-Tamimi. Ia terlahir dari pasangan Usman (Abu Quhafah) bin
Amir dan Ummu Khoir Salma binti Sakhr, yang berasal dari suku Taim, suku yang
melahirkan tokoh-tokoh terhomat.
Sejak kecil ia terkenal sebagai anak
yang baik. Perilakunya yang lemah-lembut, jujur, dan sabar, membuatnya
disenangi masyarakat. Karena sifat-sifatnya yang mulia itulah sejak masa
remajanya ia sudah bersahabat dengan Nabi Muhammad saw.
Ia dilahirkan dua tahun satu bulan
setelah kelahiran Nabi Muhammad saw. kemudian terkenal dengan julukan Abu
Bakar, sedangkan gelar Shiddiq diberikan oleh para sahabat, karena ia sangat
membenarkan Rosulullah saw. dalam segala hal. Ialah yang menemani Nabi Muhammad
saw. di gua Hira, dan yang pertama kali memeluk Islam dari kalangan orang tua
terhormat. Tentang Abu Bakar ra., Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh orang yang
paling dekat kepadaku persahabatan dan hartanya, ialah Abu Bakar. Andaikata aku
boleh memilih ternan di antara umnatku, rnaka akan kupilih Abu Bakar. Tetapi
kecintaan dan persaudaraan dalarn Islam cukup memadai. Tidak satu pun pintu
dalarn rnasjid yang terbuka kecuali pintu Abu Bakar”. (HR. Bukhori) Sampai saat
ini di masjid Madinah masih ada sebuah pintu yang disebut pintu Abu Bakar ra.
Yakni pintu yang selalu beliau lalui semasa hidupnya jika masuk ke masjid
melalui rumah beliau.
Todaklah mengherankan jika sewaktu
Nabi saw sakit, ia dipercaya oleh para sahabat menjadi Imam sholat. Juga
pantaslah apabila kaum muslimin kemudian memilihnya sebagai kholifah/pemimpin
setelah Rosulullah saw. wafat.
Keagungan kepribadian Abu Bakar
dapat disimak dari penggalan-penggalan pidatonya ketika dilantik menjadi
kholifah, antara lain beliau katakan, “Saya bukan orang yang terbaik di antara
kalian, tetapi saya akan memelihara amanah yang telah kalian serahkan kepada
saya. Kalau saya mengikuti ajaran Allah SWT dan petunjuk Rasul-Nya, maka
ikutilah saya. Sebaliknya jika saya menyimpang, luruskanlah (koreksilah) saya.
Kebenaran adalah kejujuran, dan kebohongan adalah ketidakjujuran. Orang yang
paling kuat dalam pandangan saya, adalah orang-orang yang lemah di antara
kalian oleh sebab itu saya akan menjamin hak-hak mereka. Dan orang-orang yang
paling lemah dalam pandangan saya, adalah orang-orang yang kuat di antara
kalian, dan saya akan mengambil sebagian dari hak-hak mereka (zakatnya).”
Program pertama yang dicanangkan Abu
Bakar setelah ia menjadi kholifah, adalah meredam pemberontakan, memerangi
orang-orang yang membangkang tidak mau membayar zakat, orang-orang murtad yang
saat itu terjadi di mana-mana dan menimbulkan kekacauan. Sepeninggal Muhammad
Rosulullah saw., memang banyak umat Islam yang kembali memeluk agamanya semula.
Mereka merasa berhak berbuat sekehendak hati. Bahkan lebih tragis lagi muncul
orang-orang yang mengaku nabi, antara lain Musallamah Al-Kadzdzab, Tulaiha
Al-Asadi, dan Al Aswad Al Ansi.
Untuk meluruskan akidah orang-orang
murtad tersebut, Abu Bakar mengirim sebelas pasukan perang ke sebelas daerah
tujuan, di antaranya pasukan Kholid b’ Walid ditugaskan menundukan Thulaiha Al
Asadi, Pasukan Amer bin Ash ditugaskan di Qudho’ah, Suwaid bin Muqrim
ditugaskan ke Yaman, dan Kholid bin Said ditugaskan Syam.
Program Abu Bakar selanjutnya,
memproyekkan pengumpulan dan penulisan ayat-ayat Al Qur-an. Progran ini
dicanangkan atas usulan Umar bin Khoththob sedangkan pelaksanaannya di
percayakan kepada Zaid b’ Tsabit.
Pengumpulan dan penulisan ayat-ayat
Al Qur-an itu dilakukan dengan pertimbangan:
- Banyak sahabat yang hafal Al Qur-an gugur dalsm perang penumpasan orang-orang murtad;
- Ayat-ayat Al Qur-an yang ditulis pada kulit-kulit kurma, batu-batu dan kayu-kayu sudah banyak yang rusak sehingga perlu dilakukan usaha penyelamatan;
- Penulisan ayat-ayat Al Qur-an dan membukukannya ini bertujuan agar dapat dijadikan pedoman bagi umat Islam sepanjang zaman.
Semasa pemerintahannya, Abu Bakar
juga berhasil memperluas daerah dakwah Islamiyah, antara lain ke Irak yang
ketika itu termasuk wilayah jajahan Kerajaan Persia, dan ke Syam yang di bawah
jajahan Romawi.
Setelah memerintah selama dua tahun,
Abu Bakar berpulang ke Rahmatullah pada tanggal 23 Jumadil Akhir 13H dalam usia
63 tahun dan dimakamkan dekat makam Rasulullah saw. Beliau dikenal oleh para
sahabat sebagai kholifah yang sangat
taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya serta berbudi luhur.
B. Umar bin Khatthab (13-23
H/634-644 M)
Ia lebih muda tiga belas tahun dari
Nabi Muhammad saw. Sejak kedl ia sudah terkenal cerdas dan pemberani. Tidak
pernah takut menyatakan kebenaran di hadapan siapapun. Tidaklah mengherankan
jika setelah Umar memeluk Islam, barisan kaum muslimin ditakuti oleh orang
kafir Quraisy. Ia yang sebelum memeluk Islam paling berani menentang Islam,
setelah memeluk Islam paling berani menghadapi musuh-musuh Islam. Kemudian
terkenalah Umar sebagai “Singa Padang Pasir” yang sangat disegani.
Umar memiliki kepribadian yang
sangat kuat, dan tegas memperjuangkan kebenaran. Oleh karena itu masyarakat
menggelarinya Al Faruq, artinya yang dengan tegas membedakan yang benar dan
yang salah. Sedemikian gigih Umar dalam menegakkan syari’at Islam, sehingga
Abdullah bin Mas’ud mengatakan, “Sejak Islamnya Umar kami merasa mulia.” (H.R.
Bukhori)
Mengenai kualitas keimanannya,
diungkapkan dalam sebuah hadits. Muhammad Rosulullah saw. bersabda, “Ketika
sedang tidur, aku bermimpi melihat orang-orang yang memakai gamis. Ada yang
gamisnya menutupi dada dan ada pula yang kurang dari itu. Lalu diperlihatkan
kepadaku Umar bin Khoththob mengenakan gamis yang panjang sehingga ia berjalan
dengan menyeretnya.” Seseorang bertanya, “Ya Rosulullah, apakah takwilnya?”
Nabi saw. menerangkan, “Kualitas keimanannya.” (HR. Bukhori dan Muslim dari Abu
Sa’id Al Khudri ra.)
Dalam pidato pelantikannya, Umar
menyampaikan, antara lain: “Saya adalah seorang pengikut Sunnah Rasul, bukan
seorang yang berbuat bid’ah. Ketahuilah, bahwa kalian berhak menuntut saya
tentang tiga hal selain Kitab Allah dan Sunnah Nabi, yakni:
- Mengikuti apa yang telah dilakukan oleh orang sebelum saya dalam masalah yang telah kalian sepakati dan telah kalian tradisikan;
- Membuat kebiasaan baru yang baik bagi ahli kebajik dalam masalah yang belum kalian jadikan kebiasa dan
- Mencegah saya bertindak atas kalian kecuali dalam hal hal yang kalian sendiri penyebabnya.
Pada masa pemerintahan Khalifah
Umar, wilayah Islam semakin meluas sampai ke Mesir, Irak, Syam, dan
negeri-negeri Persia lainnya. Umarlah yang pertama kali membentuk badan
kehakiman dan menyempurnakan pemerintahan. Juga meneruskan usaha Abu Bakar
dalam membukukan Al Qur-an.
Kholifah Umar wafat pada usia 63
tahun setelah memerintah selama sepuluh tahun enam bulan. Ia wafat oleh tikaman
pedang Abu Lu’lu’ah, seorang budak milik Al-Mughiroh bin Syu’bah saat sholat
subuh. Ia diimakamkan di rumah ‘Aisyah, dekat makam Abu Bakar. Ia dikenang oleh
umat Islam sebagai pahlawan yang sangat sederhana, sportif, dan menyayangi rakyat
kecil. Kata katanya yang sangat terkenal, “Siapa yang melihat pada diriku
membelok, maka hendaklah ia meluruskannya.”
Jasa-jasa Umar sewaktu menjadi
Kholifah, antara lain :
- Penetapan tahun Hijriyah sebagai tahun resmi;
- Bea cukai sebagai pendapatan negara;
- Tunjangan sosial bagi orang-orang miskin di kalangan Yahudi dan Kristen;
- Pembangunan kota-kota dan saluran air untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya;
- Pemberian gaji bagi imam dan muazin;
- Penghapusan perbudakan;
- Pembangunan sekolah-sekolah;
- Kodifikasi Al-Quran;
- Tradisi sholat tarawih berjamaah;
C. Utsman bin Affan ra. (23-35
H/644-656 M)
Ia seorang saudagar kaya-raya, dan
salah seorang penulis wahyu yang terkenal. Usianya lima tahun lebih muda dari
Nabi Muhammad saw. Sejak muda Utsman dikenal sebagai seorang pendiam, dan
memiliki budi pekerti yang terpuji. lalah yang membeli sumur Roumah untuk
dijadikan sumur umum. Sedemikian banyak amal kebajikannya, sehingga masyarakat
menggelarinya “Ghoniyyun Syakir” (orang kaya yang banyak bersyukur kepada Allah
SWT)
Abdurrohman bin Samuroh ra.
mengungkapkan, Utsman bin Affan datang menemui Rosulullah saw. dengan membawa
uang sebanyak seribu dinar yang dibungkus pakaiannya. Kala itu beliau sedang
mempersiapkan u’sroh (Pasukan dalam Perang Tabuk). Usai menerima sumbangan dari
Ustman bin Affan ra. untuk jihad fisabilillah, Rasulullah saw. bersabda, “Tidak
ada yang merugikan ibnu Affan atas apa yang dilakukannya setelah hari ini.”
Beliau mengulangi ucapan tersebut beberapa kali. (HR. Ahmad, dan Tirmidzi)
Sekalipun kaya-raya, Utsman tidak
pernah menjaga jarak dengan masyarakat kelas bawah, bahkan ia tidak
segan-segann untuk turut serta berperang. Karena kebaikannya itulah, ia
dinikahkan dengan putri Nabi bernama Ruqoyyah. Setelah Ruqoiyah meninggal
dunia, ia dikawinkan dengan putri Nabi lagi bernama Ummu Kultsum. Oleh sebab
itu masyarakat menggelarinya “Dzun Nurain” (yang mempunyai dua cahaya)
Langkah-langkah yang dilakukan oleh
Khalifah Utsman ra., adalah mengganti gubernur-gubernur negara taklukan Islam
yang ingin memisahkan diri setelah Umar wafat. Kemudian Ia memperbanyak naskah
Al Qur-an yan sudah dibukukan menjadi tujuh eksemplar yang antara lain dikirim
ke Syam, Yaman, Bahrain, Basroh, dan Kufah.
Utsman wafat pada usia 82 tahun,
setelah memerintah selama 12 tahun. Ia menemui ajal saat membaca Al Quran oleh
tikaman pedang Humron bin Sudan. Jasa Utsman terbesar adalah memelihara Al
Qur-an sebagaimana yang tersebar sekarang ini.
D. Ali bin Abu Tholib ra. (35-40
H/656-661 M)
Ia adalah putra Abu Tholib, paman
Nabi Muhammad saw. Sebagai sepupu yang usianya 32 tahun lebih muda,
memungkinkan Ali diasuh langsung oleh Nabi Muhammad saw. Tidaklah megherankan
jika dari golongan anak-anak yang pertama memeluk Islam adalah Ali. Pantaslah
jika pengetahuan Ali tentang Islam sangat luas, dan sangat teguh memegang
ajaran Islam.
Sejak masa pemerintahan Khalifah Ali
inilah, Islam mulai mengalami kemunduran. Bermula dari banyaknya pihak yang
menuntut dendam atas terbunuhnya Utsman bin Affan ra., terutama dari golongan
Bani Umaiyyah dari kelompok ‘Aisyah ra., janda Nabi Muhammad saw. Suasana
tersebut semakin memanas dengan adanya kebijaksanaan Khalifah Ali mengganti
sebagian besar pejabat pemerintah yang telah diangkat oleh Utsman.
Setelah usaha menenangkan banyak
golongan yang menuntut balas atas kematian Utsman dengan jalan damai tidak
berhasil, maka ditempuhlah dengan peperangan. Pertama terjadilah Perang
Waq’atul Jamali (penamaan tersebut karena ‘Aisyah bersama pasukannya
mengendarai unta) atau peperangan unta. Kedua, Perang Shiffin atau peperangan
unta antara pasukan Khalifah Ali dan pasukan ‘Aisyah. Perang saudara ini
terjadi pada tahun 36 H/657 M, akibat hasutan Abdullah bin Saba. Perang ini
dimenangkan oleh pasukan Ali. Setelah diberi penjelasan tentang duduk perkara
yang sebenarnya, ‘Aisyah dikembalikan
Salman Al-Farisi
( Pencari Kebenaran )
Dari Persi datangnya pahlawan kali ini. Dan dari
Persi pula Agama Islam nanti dianut oleh orang-orang Mu’min yang tidak sedikit
jumlahnya, dari kalangan mereka muncul pribadi-pribadi istimewa yang tiada
taranya, baik dalam bidang kedalam ilmu pengetahuan dan ilmuan dan keagamaan,
maupun keduniaan.
Dan memang, salah satu dari keistimewaan dan
kebesaran al-Islam ialah, setiap ia memasuki suatu negeri dari negeri-negeri
Allah, maka dengan keajaiban luar biasa dibangkitkannya setiap keahlian,
digerakkannya segala kemampuan serta digalinya bakat-bakat terpendam dari warga
dan penduduk negeri itu, hingga bermunculanlah filosof-filosof Islam,
dokter-dokter Islam, ahli-ahli falak Islam, ahli-ahli fiqih Islam, ahli-ahli
ilmu pasti Islam dan penemu-penemu mutiara Islam .
Ternyata bahwa pentolan-pentolan itu berasal dari
setiap penjuru dan muncul dari setiap bangsa, hingga masa-masa pertama
perkembangan Islam penuh dengan tokoh-tokoh luar biasa dalam segala lapangan,
baik cita maupun karsa, yang berlainan tanah air dan suku bangsanya, tetapi
satu Agama. Dan perkembangan yang penuh berkah dari Agama ini telah lebih dulu
dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan beliau telah
menerima janji yang benar dari Tuhannya Yang Maha Besar lagi Maha Mengetahui.
Pada suatu hari diangkatlah baginya jarak pemisah dari tempat dan waktu, hingga
disaksikannyalah dengan mata kepala panji-panji Islam berkibar di kota-kota di
muka bumi, serta di istana dan mahligai-mahligai para penduduknya.
Salman radhiyallahu ‘anhu sendiri turut
menvaksikan hal tersebut, karena ia memang terlibat dan mempunyai hubungan erat
dengan kejadian itu. Peristiwa itu terjadi waktu perang Khandaq, yaitu pada
tahun kelima Hijrah. Beberapa orang pemuka Yahudi pergi ke Mekah menghasut
orang-orang musyrik dan golongan-golongan kuffar agar bersekutu menghadapi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Kaum Muslimin, serta mereka
berjanji akan memberikan bantuan dalam perang penentuan vang akan menumbangkan
serta mencabut urat akar Agama baru ini.
Siasat dan taktik perang pun diaturlah secara
licik, bahwa tentara Quraisy dan Ghathfan akan menyerang kota Madinah dari
luar, sementara Bani Quraidlah (Yahudi) akan menyerang-nya dari dalam — yaitu
dari belakang barisan Kaum Muslimim sehingga mereka akan terjepit dari dua
arah, karenanya mereka akan hancur lumat dan hanya tinggal nama belaka.
Demikianlah pada suatu hari Kaum Muslimin
tiba-tiba melihat datangnya pasukan tentara yang besar mendekati kota Madinah,
membawa perbekalan banyak dan persenjataan lengkap untuk menghancurkan. Kaum
Muslimin panik dan mereka bagaikan kehilangan akal melihat hal yang tidak
diduga-duga itu. Keadaan mereka dilukiskan oleh al-Quran sebagai berikut:
Ketika mereka datang dari sebelah atas dan dari
arah bawahmu, dan tatkala pandangan matamu telah berputar liar, seolah-olah
hatimu telah nakh sampai kerongkongan, dan kamu menaruh sangkaan yang
bukan-bukan terhadap Allah. (Q.S. 33 al-Ahzab:l0)
Dua puluh empat ribu orang prajurit di bawah
pimpinan Abu Sufyan dan Uyainah bin Hishn menghampiri kota Madinah dengan
maksud hendak mengepung dan melepaskan pukulan menentukan yang akan menghabisi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, Agama serta para shahabatnya.
Pasukan tentara ini tidak saja terdiri dari
orang-orang Quraisy, tetapi juga dari berbagai kabilah atau suku yang
menganggap Islam sebagai lawan yang membahayakan mereka. Dan peristiwa ini
merupakan percobaan akhir dan menentukan dari fihak musuh-musuh Islam, baik
dari perorangan, maupun dari suku dan golongan.
Kaum Muslimin menginsafi keadaan mereka yang
gawat ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-pun mengumpulkan para
shahabatnya untuk bermusyawarah. Dan tentu saja mereka semua setuju untuk
bertahan dan mengangkat senjata, tetapi apa yang harus mereka lakukan untuk
bertahan itu?
Ketika itulah tampil seorang yang tinggi jangkung
dan berambut lebat, seorang yang disayangi dan amat dihormati oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam Itulah dia Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu!’
Dari tempat ketinggian ia melayangkan pandang meninjau sekitar Madinah, dan
sebagai telah dikenalnya juga didapatinya kota itu di lingkung gunung dan
bukit-bukit batu yang tak ubah bagai benteng juga layaknya. Hanya di sana
terdapat pula daerah terbuka, luas dan terbentang panjang, hingga dengan mudah
akan dapat diserbu musuh untuk memasuki benteng pertahanan.
Di negerinya Persi, Salman radhiyallahu ‘anhu
telah mempunyai pengalaman luas tentang teknik dan sarana perang, begitu pun
tentang siasat dan liku-likunya. Maka tampillah ia mengajukan suatu usul kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu suatu rencana yang belum pernah
dikenal oleh orang-orang Arab dalam peperangan mereka selama ini. Rencana itu
berupa penggalian khandaq atau parit perlindungan sepanjang daerah terbuka
keliling kota.
Dan hanya Allah yang lebih mengetahui apa yang
akan dialami Kaum Muslimin dalam peperangan itu seandainya mereka tidak
menggali parit atau usul Salman radhiyallahu ‘anhu tersebut.
Demi Quraisy menyaksikan parit terbentang di
hadapannya, mereka merasa terpukul melihat hal yang tidak disangka-sangka itu,
hingga tidak kurang sebulan lamanya kekuatan mereka bagai terpaku di
kemah-kemah karena tidak berdaya menerobos kota.
Dan akhirnya pada suatu malam Allah Ta’ala
mengirim angin topan yang menerbangkan kemah-kemah dan memporak-porandakan
tentara mereka. Abu Sufyan pun menyerukan kepada anak buahnya agar kembali
pulang ke kampung mereka … dalam keadaan kecewa dan berputus asa serta
menderita kekalahan pahit …
Sewaktu menggali parit, Salman radhiyallahu ‘anhu
tidak ketinggalan bekerja bersama Kaum Muslimin yang sibuk menggali tanah. Juga
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ikut membawa tembilang dan membelah
batu. Kebetulan di tempat penggalian Salman radhiyallahu ‘anhu bersama
kawan-kawannya, tembilang mereka terbentur pada sebuah batu besar.
Salman radhiyallahu ‘anhu seorang yang
berperawakan kukuh dan bertenaga besar. Sekali ayun dari lengannya yang kuat
akan dapat membelah batu dan memecahnya menjadi pecahan-pecahan kecil. Tetapi
menghadapi batu besar ini ia tak berdaya, sedang bantuan dari teman-temannya
hanya menghasilkan kegagalan belaka.
Salman radhiyallahu ‘anhu pergi mendapatkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan minta idzin mengalihkan jalur parit
dari garis semula, untuk menghindari batu besar yang tak tergoyahkan itu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun pergi bersama Salman radhiyallahu
‘anhu untuk melihat sendiri keadaan tempat dan batu besar tadi. Dan setelah
menyaksikannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminta sebuah
tembilang dan menyuruh para shahabat mundur dan menghindarkan diri dari
pecahan-pecahan batu itu nanti….
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu
membaca basmalah dan mengangkat kedua tangannya yang mulia yang sedang memegang
erat tembilang itu, dan dengan sekuat tenaga dihunjamkannya ke batu besar itu.
Kiranya batu itu terbelah dan dari celah belahannya yang besar keluar lambaian
api yang tinggi dan menerangi. “Saya lihat lambaian api itu menerangi pinggiran
kota Madinah”, kata Salman radhiyallahu ‘anhu, sementara Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam mengucapkan takbir, sabdanya:
Allah Maha Besar! Ahu telah dikaruniai
hunci-kunci istana negeri Persi, dan dari lambaian api tadi nampak olehku
dengan nyata istana-istana kerajaan Hirah begitu pun kota-kota maharaja Persi
dan bahwa ummatku akan menguasai semua itu.
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
mengangkat tembilang itu kembali dan memukulkannya ke batu untuk kedua kalinya.
Maka tampaklah seperti semula tadi. Pecahan batu besar itu menyemburkan
lambaian api yang tinggi dan menerangi, sementara Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bertakbir sabdanya:
Allah Maha Besar! Ahu telah dikaruniai
kunci-kunci negeri Romawi, dan tampak nyata olehku istana-istana merahnya, dan
bahwa ummatku akan menguasainya.
Kemudian dipukulkannya untuk ketiga kali, dan
batu besar itu pun menyerah pecah berderai, sementara sinar yang terpancar
daripadanya amat nyala dan terang temarang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam pun mengucapkan la ilaha illallah diikuti dengan gemuruh oleh kaum
Muslimin. Lalu diceritakanlah oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bahwa beliau sekarang melihat istana-istana dan mahligai-mahligai di Syria
maupun Shan’a, begitu pun di daerah-daerah lain yang suatu ketika nanti akan
berada di bawah naungan bendera Allah yang berkibar. Maka dengan keimanan penuh
Kaum Muslimin pun serentak berseru:
Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya …. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.
Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya …. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.
Salman radhiyallahu ‘anhu adalah orang yang mengajukan
saran untuk membuat parit. Dan dia pulalah penemu batu yang telah memancarkan
rahasia-rahasia dan ramalan-ramalan ghaib, yakni ketika ia meminta tolong
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Ia berdiri di samping Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam menyaksikan cahaya dan mendengar berita gembira
itu. Dan dia masih hidup ketika ramalan itu menjadi kenyataan, dilihat bahkan
dialami dan dirasakannya sendiri. Dilihatnya kota-kota di Persi dan Romawi, dan
dilihatnya mahligai istana di Shan’a, di Mesir, di Syria dan di Irak. Pendeknya
disaksikan dengan mata kepalanya bahwa seluruh permukaan bumi seakan berguncang
keras, karena seruan mempesona penuh berkah yang berkumandang dari puncak
menara-menara tinggi di setiap pelosok, memancarkan sinar hidayah Allah ….Nah,
itulah dia sedang duduk di bawah naungan sebatang pohon yang rindang berdaun
rimbun, di muka rumahnya di kota Madain; sedang menceriterakan kepada
shahabat-shahabatnya perjuangan berat yang dialaminya demi mencari kebenaran,
dan mengisahkan kepada mereka bagaimana ia meninggalkan agama nenek moyangnya
bangsa Persi, masuk ke dalam agama Nashrani dan dari sana pindah ke dalam Agama
Islam. Betapa ia telah meninggalkan kekayaan berlimpah dari orang tuanya dan
menjatuhkan dirinya ke dalam lembah kemiskinan demi kebebasan fikiran dan
jiwanya .. .! Betapa ia dijual di pasar budak dalam mencari kebenaran itu,
bagaimana ia berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan iman
kepadanya …!
Marilah kita dekati majlisnya yang mulia dan kita
dengarkan kisah menakjubkan yang diceriterakannya!
“Aku berasal dari Isfahan, warga suatu desa yang bernama “Ji”. Bapakku seorang bupati di daerah itu, dan aku merupakan makhluq Allah yang paling disayanginya. Aku membaktikan diri dalam agama majusi, hingga diserahi tugas sebagai penjaga api yang bertanggung jawab atas nyalanya dan tidak membiarkannya padam.
“Aku berasal dari Isfahan, warga suatu desa yang bernama “Ji”. Bapakku seorang bupati di daerah itu, dan aku merupakan makhluq Allah yang paling disayanginya. Aku membaktikan diri dalam agama majusi, hingga diserahi tugas sebagai penjaga api yang bertanggung jawab atas nyalanya dan tidak membiarkannya padam.
Bapakku memiliki sebidang tanah, dan pada suatu
hari aku disuruhnya ke sana. Dalam perjalanan ke tempat tujuan, aku lewat di
sebuah gereja milik kaum Nashrani. Kudengar mereka sedang sembahyang, maka aku
masuk ke dalam untuk melihat apa yang mereka lakukan. Aku kagum melihat cara
mereka sembahyang, dan kataku dalam hati: “Ini lebih baik dari apa yang aku
anut selama ini!” Aku tidak beranjak dari tempat itu sampai matahari terbenam,
dan tidak jadi pergi ke tanah milik bapakku serta tidak pula kembali pulang,
hingga bapak mengirim orang untuk menyusulku.
Karena agama mereka menarik perhatianku,
kutanyakan kepada orang-orang Nashrani dari mana asal-usul agama mereka. “Dari
Syria”,ujar mereka.
Ketika telah berada di hadapan bapakku, kukatakan
kepadanya: “Aku lewat pada suatu kaum yang sedang melakukan upacara sembahyang
di gereja. Upacara mereka amat mengagumkanku. Kulihat pula agama mereka lebih
baik dari agama kita”. Kami pun bersoal-jawab melakukan diskusi dengan bapakku
dan berakhir dengan dirantainya kakiku dan dipenjarakannya diriku ….
Kepada orang-orang Nashrani kukirim berita bahwa
aku telah menganut agama mereka. Kuminta pula agar bila datang rombongan dari
Syria, supaya aku diberi tahu sebelum mereka kembali, karena aku akan ikut
bersama mereka ke sana. Permintaanku itu mereka kabulkan, maka kuputuskan
rantai. Lalu meloloskan diri dari penjara dan menggabungkan diri kepada
rombongan itu menuju Syria.
Sesampainya di sana kutanyakan seorang ahli dalam
agama itu, dijawabnya bahwa ia adalah uskup pemilik gereja. Maka datanglah aku
kepadanya, kuceriterakan keadaanku. Akhirnya tinggallah aku bersamanya sebagai
pelayan, melaksanakan ajaran mereka dan belajar, Sayang uskup ini seorang yang
tidak baik beragamanya, karena dikumpulkannya sedekah dari orang-orang dengan
alasan untuk dibagikan, ternyata disimpan untuk dirinya pribadi. Kemudian uskup
itu wafat ….dan mereka mengangkat orang lain sebagai gantinya. Dan kulihat tak
seorang pun yang lebih baik beragamanya dari uskup baru ini. Aku pun
mencintainya demikian rupa, sehingga hatiku merasa tak seorang pun yang lebih
kucintai sebelum itu dari padanya.
Dan tatkala ajalnya telah dekat, tanyaku padanya:
“Sebagai anda maklumi, telah dekat saat berlakunya taqdir Allah atas diri anda.
Maka apakah yang harus kuperbuat, dan siapakah sebaiknya yang harus kuhubungi.
“Anakku!”, ujamya: “tak seorang pun menurut pengetahuanku yang sama langkahnya
dengan aku, kecuali seorang pemimpin yang tinggal di Mosul”.
Lalu tatkala ia wafat aku pun berangkat ke Mosul
dan menghubungi pendeta yang disebutkannya itu. Kuceriterakan kepadanya pesan
dari uskup tadi dan aku tinggal bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah.
Kemudian tatkala ajalnya telah dekat pula,
kutanyakan kepadanya siapa yang harus kuturuti. Ditunjukkannyalah orang shalih
yang tinggal di Nasibin. Aku datang kepadanya dan ku ceriterakan perihalku,
lalu tinggal bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah pula.
Tatkala ia hendak meninggal, kubertanya pula
kepadanya. Maka disuruhnya aku menghubungi seorang pemimpin yang tinggal di
‘Amuria, suatu kota yang termasuk wilayah Romawi.
Aku berangkat ke sana dan tinggal bersamanya,
sedang sebagai bekal hidup aku berternak sapi dan kambing beberapa ekor
banyaknya.
Kemudian dekatlah pula ajalnya dan kutanyakan
padanya kepada siapa aku dipercayakannya. Ujarnya: “Anakku.’ Tak seorang pun
yang kukenal serupa dengan kita keadaannya dan dapat kupercayakan engkau
padanya. Tetapi sekarang telah dekat datangnya masa kebangkitan seorang Nabi
yang mengikuti agama Ibrahim secara murni. la nanti akan hijrah he suatu tempat
yang ditumbuhi kurma dan terletak di antara dua bidang tanah berbatu-batu
hitam. Seandainya kamu dapat pergi ke sana, temuilah dia, la mempunyai
tanda-tanda yang jelas dan gamblang: ia tidak mau makan shadaqah, sebaliknya
bersedia menerima hadiah dan di pundaknya ada cap kenabian yang bila kau
melihatnya, segeralah kau mengenalinya’:
Kebetulan pada suatu hari lewatlah suatu rombongan
berkendaraan, lalu kutanyakan dari mana mereka datang. Tahulah aku bahwa mereka
dari jazirah Arab, maka kataku kepada mereka: “Maukah kalian membawaku ke
negeri kalian, dan sebagai imbalannya kuberikan kepada kalian sapi-sapi dan
kambing-kambingku ini?” “Baiklah”, ujar mereka.
Demikianlah mereka membawaku serta dalam
perjalanan hingga sampai di suatu negeri yang bernama Wadil Qura. Di sana aku
mengalami penganiayaan, mereka menjualku kepada seorang yahudi. Ketika tampak
olehku banyak pohon kurma, aku berharap kiranya negeri ini yang disebutkan
pendeta kepadaku dulu, yakni yang akan menjadi tempat hijrah Nabi yang
ditunggu. Ternyata dugaanku meleset.
Mulai saat itu aku tinggal bersama orang yang
membeliku, hingga pada suatu hari datang seorang yahudi Bani Quraizhah yang
membeliku pula daripadanya. Aku dibawanya ke Madinah, dan demi Allah baru saja
kulihat negeri itu, aku pun yakin itulah negeri yang disebutkan dulu.
Aku tinggal bersama yahudi itu dan bekerja di
perkebunan kurma milik Bani Quraizhah, hingga datang saat dibangkitkannya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang datang ke Madinah dan singgah pada
Bani ‘Amar bin ‘Auf di Quba.
Pada suatu hari, ketika aku berada di puncak
pohon kurma sedang majikanku lagi duduk di bawahnya, tiba-tiba datang seorang
yahudi saudara sepupunya yang mengatakan padanya:
“Bani Qilah celaka! Mereka berkerumun
mengelilingi seorang laki-laki di Quba yang datang dari Mekah dan mengaku
sebagai Nabi Demi Allah, baru saja ia mengucapkan kata-kata itu, tubuhku-pun
bergetar keras hingga pohon kurma itu bagai bergoncang dan hampir saja aku
jatuh menimpa majikanku. Aku segera turun dan kataku kepada orang tadi: “Apa
kata anda?” Ada berita apakah?” Majikanku mengangkat tangan lalu meninjuku
sekuatnya, serta bentaknya: “Apa urusanmu dengan ini, ayoh kembali ke
pekerjaanmu!” Maka aku pun kembalilah bekerja …
Setelah hari petang, kukumpulkan segala yang ada
padaku, lalu keluar dan pergi menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
di Quba. Aku masuk kepadanya ketika beliau sedang duduk bersama beberapa orang
anggota rombongan. Lalu kataku kepadanya: “Tuan-tuan adalah perantau yang
sedang dalam kebutuhan. Kebetulan aku mempunyai persediaan makanan yang telah
kujanjikan untuk sedeqah. Dan setelah mendengar keadaan tuan-tuan, maka menurut
hematku, tuan-tuanlah yang lebih layak menerimanya, dan makanan itu kubawa ke
sini”. Lalu makanan itu kutaruh di hadapannya.
“Makanlah dengan nama Allah”. sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para shahabatnya, tetapi beliau tak sedikit
pun mengulurkan tangannya menjamah makanan itu. “Nah, demi Allah!” kataku dalam
hati, inilah satu dari tanda-tandanya … bahwa ia tah mau memakan harta
sedeqah’:
Aku kembali pulang, tetapi pagi-pagi keesokan
harinya aku kembali menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sambil
membawa makanan, serta kataku kepadanya: “Kulihat tuan tak hendak makan
sedeqah, tetapi aku mempunyai sesuatu yang ingin kuserahkan kepada tuan sebagai
hadiah”, lalu kutaruh makanan di hadapannya. Maka sabdanya kepada shahabatnya:
‘Makanlah dengan menyebut nama Allah ! ‘ Dan beliaupun turut makan bersama
mereka. “Demi Allah’: kataku dalam hati, inilah tanda yang kedua, bahwa ia
bersedia menerima hadiah ‘:
Aku kembali pulang dan tinggal di tempatku
beberapa lama. Kemudian kupergi mencari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dan kutemui beliau di Baqi’, sedang mengiringkan jenazah dan dikelilingi oleh
shahabat-shahabatnya. Ia memakai dua lembar kain lebar, yang satu dipakainya
untuk sarung dan yang satu lagi sebagai baju.
Kuucapkan salam kepadanya dan kutolehkan
pandangan hendak melihatnya. Rupanya ia mengerti akan maksudku, maka
disingkapkannya kain burdah dari lehernya hingga nampak pada pundaknya tanda
yang kucari, yaitu cap henabian sebagai disebutkan oleh pendeta dulu.
Melihat itu aku meratap dan menciuminya sambil
menangis. Lalu aku dipanggil menghadap oleh Rasulullah. Aku duduk di
hadapannya, lalu kuceriterakan kisahku kepadanya sebagai yang telah
kuceriterakan tadi.
Kemudian aku masuk Islam, dan perbudakan menjadi
penghalang bagiku untuk menyertai perang Badar dan Uhud. Lalu pada suatu hari
Rasulullah menitahkan padaku:’Mintalah pada majihanmu agar ia bersedia
membebashanmu dengan menerima uang tebusan.”
Maka kumintalah kepada majikanku sebagaimana
dititahkan Rasulullah, sementara Rasulullah menyuruh para shahabat untuk
membantuku dalam soal keuangan.
Demikianlah aku dimerdekakan oleh Allah, dan
hidup sebagai seorang Muslim yang bebas merdeka, serta mengambil bagian bersama
Rasulullah dalam perang Khandaq dan peperangan lainnya.
Dengan kalimat-kalimat yang jelas dan manis,
Salman radhiyallahu ‘anhu menceriterakan kepada kita usaha keras dan perjuangan
besar serta mulia untuk mencari hakikat keagamaan, yang akhirnya dapat sampai
kepada Allah Ta’ala dan membekas sebagai jalan hidup yang harus ditempuhnya ….
Corak manusia ulung manakah orang ini? Dan
keunggulan besar manakah yang mendesak jiwanya yang agung dan melecut
kemauannya yang keras untuk mengatasi segala kesulitan dan membuatnya mungkin
barang yang kelihatan mustahil? Kehausan dan kegandrungan terhadap kebenaran
manakah yang telah menyebabkan pemiliknya rela meninggalkan kampung halaman
berikut harta benda dan segala macam kesenangan, lalu pergi menempuh daerah
yang belum dikenal — dengan segala halangan dan beban penderitaan — pindah dari
satu daerah ke daerah lain, dari satu negeri ke negeri lain, tak kenal letih
atau lelah, di samping tak lupa beribadah secara tekun …?
Sementara pandangannya yang tajam selalu
mengawasi manusia, menyelidiki kehidupan dan aliran mereka yang berbeda, sedang
tujuannya yang utama tak pernah beranjak dari semula, yang tiada lain hanya
mencari kebenaran. Begitu pun pengurbanan mulia yang dibaktikannya demi
mencapai hidayah Allah, sampai ia diperjual belikan sebagai budak belian …Dan
akhirnya ia diberi Allah ganjaran setimpal hingga dipertemukan dengan al-Haq
dan dipersuakan dengan Rasul-Nya, lalu dikaruniai usia lanjut, hingga ia dapat
menyaksikan dengan kedua matanya bagaimana panji-panji Allah berkibaran di
seluruh pelosok dunia, sementara ummat Islam mengisi ruangan dan sudut-sudutnya
dengan hidayah dan petunjuk Allah, dengan kemakmuran dan keadilan.. .!
Bagaimana akhir kesudahan yang dapat kita
harapkan dari seorang tokoh yang tulus hati dan keras kemauannya demikian rupa?
Sungguh, keislaman Salman radhiyallahu ‘anhu adalah keislamannya orang-orang
utama dan taqwa. Dan dalam kecerdasan, kesahajaan dan kebebasan dari pengaruh
dunia, maka keadaannya mirip sekali dengan Umar bin Khatthab.
Ia pernah tinggal bersama Abu Darda di sebuah
rumah beberapa hari lamanya. Sedang kebiasaan Abu Darda beribadah di waktu
malam dan shaum di waktu siang. Salman radhiyallahu ‘anhu melarangnya
berlebih-lebihan dalam beribadah seperti itu.
Pada suatu hari Salman radhiyallahu ‘anhu
bermaksud hendak mematahkan niat Abu Darda untuk shaum sunnat esok hari. Dia
menyalahkannya: “Apakah engkau hendak melarangku shaum dan shalat karena
Allah?” Maka jawab Salman radhiyallahu ‘anhu: “Sesungguhnya kedua matamu
mempunyai hak atas dirimu, demikian pula keluargamu mempunyai hak atas dirimu.
Di samping engkau shaum, berbukalah; dan di samping melakukan shalat,
tidurlah!”
Peristiwa itu sampai ke telinga Rasulullah, maka
sabdanya: Sungguh Salman radhiyallahu ‘anhu telah dipenuhi dengan ilmu. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri sering memuji kecerdasan Salman
radhiyallahu ‘anhu serta ketinggian ilmunya, sebagaimana beliau memuji Agama
dan budi pekertinya yang luhur. Di waktu perang Khandaq, kaum Anshar sama
berdiri dan berkata: “Salman radhiyallahu ‘anhu dari golongan kami”. Bangkitlah
pula kaum Muhajirin, kata mereka: “Tidak, ia dari golongan kami!” Mereka pun
dipanggil oleh Rasurullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan sabdanya: Salman
adalah golongan kami, ahlul Bait.
Dan memang selayaknyalah jika Salman radhiyallahu
‘anhu mendapat kehormatan seperti itu …!
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menggelari Salman radhiyallahu ‘anhu dengan “Luqmanul Hakim”. Dan sewaktu ditanya mengenai Salman, yang ketika itu telah wafat, maka jawabnya: “Ia adalah seorang yang datang dari kami dan kembali kepada kami Ahlul Bait. Siapa pula di antara kalian yang akan dapat menyamai Luqmanul Hakim. Ia telah beroleh ilmu yang pertama begitu pula ilmu yang terakhir. Dan telah dibacanya kitab yang pertama dan juga kitab yang terakhir. Tak ubahnya ia bagai lautan yang airnya tak pernah kering”.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menggelari Salman radhiyallahu ‘anhu dengan “Luqmanul Hakim”. Dan sewaktu ditanya mengenai Salman, yang ketika itu telah wafat, maka jawabnya: “Ia adalah seorang yang datang dari kami dan kembali kepada kami Ahlul Bait. Siapa pula di antara kalian yang akan dapat menyamai Luqmanul Hakim. Ia telah beroleh ilmu yang pertama begitu pula ilmu yang terakhir. Dan telah dibacanya kitab yang pertama dan juga kitab yang terakhir. Tak ubahnya ia bagai lautan yang airnya tak pernah kering”.
Dalam kalbu para shahabat umumnya, pribadii
Salman radhiyallahu ‘anhu telah mendapat kedudukan mulia dan derajat utama. Di
masa pemerintahan Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu ia datang berkunjung ke
Madinah. Maka Umar melakukan penyambutan yang setahu kita belum penah
dilakukannya kepada siapa pun juga. Dikumpulkannya para shahabat dan mengajak
mereka: “Marilah kita pergi menyambut Salman radhiyallahu ‘anhu!” Lalu ia
keluar bersama mereka menuju pinggiran kota Madinah untuk menyambutnya …
Semenjak bertemu dengan Rasulullah dan iman
kepadanya, Salman radhiyallahu ‘anhu hidup sebagai seorang Muslim yang merdeka,
sebagai pejuang dan selalu berbakti. Ia pun mengalami kehidupan masa Khalifah
Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu; kemudian di masa Amirul Mu’minin Umar
radhiyallahu ‘anhu; lalu di masa Khalifah Utsman radhiyallahu ‘anhu, di waktu
mana ia kembali ke hadlirat Tuhannya.
Di tahun-tahun kejayaan ummat Islam, panji-panji
Islam telah berkibar di seluruh penjuru, harta benda yang tak sedikit jumlahnya
mengalir ke Madinah sebagai pusat pemerintahan baik sebagai upeti ataupun pajak
untuk kemudian diatur pembagiannya menurut ketentuan Islam, hingga negara mampu
memberikan gaji dan tunjangan tetap. Sebagai akibatnya banyaklah timbul masalah
pertanggungjawaban secara hukum mengenai perimbangan dan cara pembagian itu,
hingga pekerjaan pun bertumpuk dan jabatan tambah meningkat.
Maka dalam gundukan harta negara yang berlimpah
ruah itu, di manakah kita dapat menemukan Salman radhiyallahu ‘anhu? Di manakah
kita dapat menjumpainya di saat kekayaan dan kejayaan, kesenangan dan
kemakmuran itu …?
Bukalah mata anda dengan baik! Tampaklah oleh
anda seorang tua berwibawa duduk di sana di bawah naungan pohon, sedang asyik
memanfaatkan sisa waktunya di samping berbakti untuk negara, menganyam dan
menjalin daun kurma untuk dijadikan bakul atau keranjang.
Nah, itulah dia Salman radhiyallahu ‘anhu
Perhatikanlah lagi dengan cermat! Lihatlah kainnya yang pendek, karena amat
pendeknya sampai terbuka kedua lututnya. Padahal ia seorang tua yang berwibawa,
mampu dan tidak berkekurangan. Tunjangan yang diperolehnya tidak sedikit,
antara empat sampai enam ribu setahun. Tapi semua itu disumbangkannya habis,
satu dirham pun tak diambil untuk dirinya. Katanya: “Untuk bahannya kubeli daun
satu dirham, lalu kuperbuat dan kujual tiga dirham.
Yang satu dirham kuambil untuk modal, satu dirham
lagi untuk nafkah keluargaku, sedang satu dirham sisanya untuk shadaqah.
Seandainya Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu melarangku berbuat demikian,
sekali-kali tiadalah akan kuhentikan!”
Lalu bagaimana wahai ummat Rasulullah? Betapa
wahai peri kemanusiaan, di mana saja dan kapan saja? Ketika mendengar sebagian
shahabat dan kehidupannya yang amat bersahaja, seperti Abu Bakar, Umar, Abu
Dzar radhiyallahu ‘anhum dan lain-lain; sebagian kita menyangka bahwa itu
disebabkan suasana lingkungan padang pasir, di mana seorang Arab hanya dapat
menutupi keperluan dirinya secara bersahaja.
Tetapi sekarang kita berhadapan dengan seorang
putera Persi, suatu negeri yang terkenal dengan kemewahan dan kesenangan serta
hidup boros, sedang ia bukan dari golongan miskin atau bawahan, tapi dari
golongan berpunya dan kelas tinggi. Kenapa ia sekarang menolak harta, kekayaan
dan kesenangan; bertahan dengan kehidupan bersahaja, tiada lebih dari satu
dirham tiap harinya, yang diperoleh dari hasil jerih payahnya sendiri.. .?
kenapa ditolaknya pangkat dan tak bersedia menerimanya?
Katanya: “Seandainya kamu masih mampu makan tanah
asal tak membawahi dua orang manusia –, maka lakukanlah!” Kenapa ia menolak
pangkat dan jabatan, kecuali jika mengepalai sepasukan tentara yang pergi
menuju medan perang? Atau dalam suasana tiada seorang pun yang mampu memikul
tanggung jawab kecuali dia, hingga terpaksa ia melakukannya dengan hati murung
dan jiwa merintih? Lalu kenapa ketika memegang jabatan yang mesti dipikulnya,
ia tidak mau menerima tunjangan yang diberikan padanya secara halal?
Diriwayatkan eleh Hisyam bin Hisan dari Hasan:
“Tunjangan Salman radhiyallahu ‘anhu sebanyak lima ribu setahun, (gambaran
kesederhanaannya) ketika ia berpidato di hadapan tigapuluh ribu orang separuh
baju luarnya (aba’ah) dijadikan alas duduknya dan separoh lagi menutupi
badannya. Jika tunjangan keluar, maka dibagi-bagikannya sampai habis, sedang
untuk nafqahnya dari hasil usaha kedua tangannya”.
Kenapa ia melakukan perbuatan seperti itu dan
amat zuhud kepada dunia, padahal ia seorang putera Persi yang biasa tenggelam
dalam kesenangan dan dipengaruhi arus kemajuan? Marilah kita dengar jawaban
yang diberikannya ketika berada di atas pembaringan menjelang ajalnya, sewaktu
ruhnya yang mulia telah bersiap-siap untuk kembali menemui Tuhannya Yang Maha
Tinggi lagi Maha Pengasih.
Sa’ad bin Abi Waqqash datang menjenguknya, lalu
Salman radhiyallahu ‘anhu menangis. “Apa yang anda tangiskan, wahai Abu
Abdillah”,’) tanya Sa’ad, “padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
wafat dalam keadaan ridla kepada anda?” “Demi Allah, ujar Salman radhiyallahu
‘anhu, “daku menangis bukanlah karena takut mati ataupun mengharap kemewahan
dunia, hanya Rasulullah telah menyampaikan suatu pesan kepada kita, sabdanya:
Hendaklah bagian masing-masingmu dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorang pengendara, padahal harta milikku begini banyaknya”
Hendaklah bagian masing-masingmu dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorang pengendara, padahal harta milikku begini banyaknya”
Kata Sa’ad: “Saya perhatikan, tak ada yang tampak
di sekelilingku kecuali satu piring dan sebuah baskom. Lalu kataku padanya:
“Wahai Abu Abdillah, berilah kami suatu pesan yang akan kami ingat selalu
darimu!” Maka ujamya: “Wahai Sa’ad!
Ingatlah Allah di kala dukamu, sedang kau derita.
Dan pada putusanmu jika kamu menghukumi.
Dan pada saat tanganmu melakukan pembagian”.
Dan pada saat tanganmu melakukan pembagian”.
Rupanya inilah yang telah mengisi kalbu Salman
radhiyallahu ‘anhu mengenai kekayaan dan kepuasan. Ia telah memenuhinya dengan
zuhud terhadap dunia dan segala harta, pangkat dengan pengaruhnya; yaitu pesan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepadanya dan kepada semua shahabatnya,
agar mereha tidak dikuasai oleh dunia dan tidak mengambil bagian daripadanya,
kecuali sekedar bekal seorang pengendara.
Salman radhiyallahu ‘anhu telah memenuhi pesan
itu sebaik-baiknya, namun air matanya masih jatuh berderai ketika ruhnya telah
siap untuk berangkat; khawatir kalau-kalau ia telah melampaui batas yang
ditetapkan. Tak terdapat di ruangannya kecuali sebuah piring wadah makannya dan
sebuah baskom untuk tempat minum dan wudlu .:., tetapi walau demikian ia
menganggap dirinya telah berlaku boros …. Nah, bukankah telah kami ceritakan
kepada anda bahwa ia mirip sekali dengan Umar?
Pada hari-hari ia bertugas sebagai Amir atau
kepala daerah di Madain, keadaannya tak sedikit pun berubah. Sebagai telah kita
ketahui, ia menolak untuk menerima gaji sebagai amir, satu dirham sekalipun. Ia
tetap mengambil nafkahnya dari hasil menganyam daun kurma, sedang pakaiannya
tidak lebih dari sehelai baju luar, dalam kesederhanaan dan kesahajaannya tak
berbeda dengan baju usangnya.
Pada suatu hari, ketika sedang berjalan di suatu
jalan raya, ia didatangi seorang laki-laki dari Syria yang membawa sepikul buah
tin dan kurma. Rupanya beban itu amat berat, hingga melelahkannya. Demi dilihat
olehnya seorang laki-laki yang tampak sebagai orang biasa dan dari golongan tak
berpunya, terpikirlah hendak menyuruh laki-laki itu membawa buah-buahan dengan
diberi imbalan atas jerih payahnya bila telah sampai ke tempat tujuan. Ia
memberi isyarat supaya datang kepadanya, dan Salman radhiyallahu ‘anhu menurut
dengan patuh. “Tolong bawakan barangku ini!”, kata orang dari Syria itu. Maka
barang itu pun dipikullah oleh Salman radhiyallahu ‘anhu, lalu berdua mereka
berjalan bersama-sama.
Di tengah perjalanan mereka berpapasan dengan
satu rombongan. Salman radhiyallahu ‘anhu memberi salam kepada mereka, yang
dijawabnya sambil berhenti: “Juga kepada amir, kami ucapkan salam” “Juga kepada
amir?” Amir mana yang mereka maksudkan?” tanya orang Syria itu dalam hati.
Keheranannya kian bertambah ketika dilihatnya sebagian dari anggota rombongan
segera menuju beban yang dipikul oleh Salman radhiyallahu ‘anhu dengan maksud
hendak menggantikannya, kata mereka: “Berikanlah kepada kami wahai amir!”
Sekarang mengertilah orang Syria itu bahwa
kulinya tiada lain Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, amir dari kota Madain.
Orang itu pun menjadi gugup, kata-kata penyesalan dan permintaan maaf bagai
mengalir dari bibirnya. Ia mendekat hendak menarik beban itu dari tangannya,
tetapi Salman radhiyallahu ‘anhu menolak, dan berkata sambil menggelengkan
kepala: “Tidak, sebelum kuantarkan sampai ke rumahmu!
Suatu ketika Salman radhiyallahu ‘anhu pernah
ditanyai orang: Apa sebabnya anda tidak menyukai jabatan sebagai amir?
Jawabnya: “Karena manis wahtu memegangnya tapi pahit waktu melepaskannya!”
Pada waktu yang lain, seorang shahabat memasuki
rumah Salman radhiyallahu ‘anhu, didapatinya ia sedang duduk menggodok tepung,
maka tanya shahabat itu: Ke mana pelayan? Ujarnya: “Saya suruh untuk suatu
keperluan, maka saya tak ingin ia harus melakukan dua pekerjaan sekaligus”
Apa sebenarnya yang kita sebut “rumah” itu?
Baiklah kita ceritakan bagaimana keadaan rumah itu yang sebenamya. Ketika
hendak mendirikan bangunan yang berlebihan disebut sebagai “rumah” itu, Salman
radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada tukangnya: “Bagaimana corak rumah yang
hendak anda dirikan?” Kebetulan tukang bangunan ini seorang ‘arif bijaksana,
mengetahui kesederhanaan Salman radhiyallahu ‘anhu dan sifatnya yang tak suka
bermewah mewah. Maka ujarnya: “Jangan anda khawatir! rumah itu merupakan
bangunan yang dapat digunakan bernaung di waktu panas dan tempat berteduh di
waktu hujan. Andainya anda berdiri, maka kepala anda akan sampai pada langit-langitnya;
dan jika anda berbaring, maka kaki anda akan terantuk pada dindingnya”.
“Benar”, ujar Salman radhiyallahu ‘anhu, “seperti itulah seharusnya rumah yang
akan anda bangun!”
Tak satu pun barang berharga dalam kehidupan
dunia ini yang digemari atau diutamakan oleh Salman radhiyallahu ‘anhu sedikit
pun, kecuali suatu barang yang memang amat diharapkan dan dipentingkannya,
bahkan telah dititipkan kepada isterinya untuk disimpan di tempat yang
tersembunyi dan aman.
Ketika dalam sakit yang membawa ajalnya, yaitu
pada pagi hari kepergiannya, dipanggillah isterinya untuk mengambil titipannya
dahulu. Kiranya hanyalah seikat kesturi yang diperolehnya waktu pembebasan
Jalula dahulu. Barang itu sengaja disimpan untuk wangi-wangian di hari
wafatnya. Kemudian sang isteri disuruhnya mengambil secangkir air, ditaburinya
dengan kesturi yang dikacau dengan tangannya, lalu kata Salman radhiyallahu
‘anhu kepada isterinya: “Percikkanlah air ini ke sekelilingku … Sekarang telah
hadir di hadapanku makhluq Allah’) yang tiada dapat makan, hanyalah gemar
wangi-wangian Setelah selesai, ia berkata kepada isterinya: “Tutupkanlah pintu
dan turunlah!” Perintah itu pun diturut oleh isterinya.
Dan tak lama antaranya isterinya kembali masuk,
didapatinya ruh yang beroleh barkah telah meninggalkan dunia dan berpisah dari
jasadnya … Ia telah mencapai alam tinggi, dibawa terbang oleh sayap kerinduan;
rindu memenuhi janjinya, untuk bertemu lagi dengan Rasulullah Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam dan dengan kedua shahabatnya Abu Bakar dan Umar,
serta tokoh-tolroh mulia lainnya dari golongan syuhada dan orang-orang utama ….
Salman radhiyallahu ‘anhu …. Lamalah sudah
terobati hati rindunya Terasa puas, hapus haus hilang dahaga. Semoga Ridla dan
Rahmat Allah menyertainya.
1) yang dimaksud makhluq Allah di sini, Malaikat.
dikutip dari: www.alsofwah.or.id